Bertandang ke Banda Aceh
-Suatu Senja di Pantai Lampuuk-

Banda Aceh hanya sebuah kota kecil. Luasnya sekitar 61.36 KM2, tidak lebih luas dari kota-kota besar lainnya yang berada dalam satu pulau. Kendati kecil, Banda Aceh memiliki tempat wisata yang terpusat di tengah kota. Jadi, mudah bagi saya untuk melakukan jelajah wisata di kota ini. Tinggal mengunjugi pusat kota, bisa langsung mendapati banyak tempat wisata. Sebut saja Masjid Raya Baiturrahman, Taman Krueng Aceh, Taman Sari, Museum Tsunami, Museum Aceh, Pendopo Gubernur, Makam Sultan Iskandar Muda, Tugu Pesawat RI 001, dan masih banyak lainnya.
Gunongan

Taman Cinta Puteri Pahang

Jika di India ada Taj Mahal, Prasat Hin Phimai di Thailand, dan Inggris punya Kastil Stratford, maka di Aceh ada Gunongan, sebuah bangunan yang di dominasi warna putih. Bentuknya berundak-undak seperti pyramid. Bersegi sepuluh, dan diatasnya terlihat seperti sebuah kelopak bunga mekar. Seperti mekarnya cinta sang Sultan kepada permaisurinya.

Ketika hendak memasuki Gunongan, saya harus sedikit menunduk karena langit-langitnya sedikit rendah. Filosofi pintu ini sebagai wujud rasa hormat sang tamu apabila hendak bertamu. Tak hanya pintu, dinding antar ruangan pun sempit sehingga hanya bisa dilalui oleh satu orang saja. Setelah menaiki anak tangga, sampailah saya di atas, hingga akhirnya bisa melihat seluruh isi taman Gunongan.

Gunongan dibangun atas nama cinta yang begitu indah. Tanda cinta Sultan Iskandar Muda kepada Putri Kamaliah atau yang lebih dikenal dengan Putroe Phang (Putri Pahang) dari kerajaan Pahang. Seusai pernikahan, sang putri di boyong oleh Sultan ke Aceh. Namun, kerinduan sang putri akan negerinya membuat Sultan sedih. Akhirnya, Sultan memerintahkan kepada punggawa istana untuk membuatkan sebuah taman yang cantik, lengkap dengan gunungan yang kemudian disebut Gunongan dans ungai yang mengalir sejauh 20 kilometer dari sumber mata airnya.

tempat putri membilas rambutnya
Bangunan Gunongan terlihat begitu kokoh. Temboknya tebal, mirip bangunan benteng pertahanan ala Portugis. Kondisinya pun terawat, rapi dan bersih. Tsunami dan gempa Aceh lalu, tidak berhasil menggoyahkannya. Menurut kabar yang beredar, bangunan bermotif-motif bunga mekar di setiap sisinya, dibangun tanpa menggunakan campuran semen, melainkan dengan campuran putih telur dan tanah liat.

Dari puncak Gunongan, terlihat jelas liku-liku Krueng Daroy dan Pintoe Khop. Pintoe Khop sendiri merupakan sebuah pintu gerbang yang pernah menghubungkan Istana Darrud Donya dengan Taman Gairah (komplek tamanyang didalamnya ada Gunongan, Taman sari, dan Pintoe Khop). Jadi,monumenPintoe Khop ini sebenarnya berada satu taman dengan Taman Gunongan dan Taman sari. 

Namun, seiring perkembangan jaman, pembangunan jalan memisahkan bangunan-bangunan bersejarah tersebut.Sejenak, saya membayangkan keindahan taman ini pada tahun 1620-an. Masa ketika para dayang-dayang istana menemani putri cantik yang berlogat melayu membasuh rambutnya. Masa dimana air Krueng Daroy mengalir seperti sungai yang mengalir di Venesia sana. Jernih, segar, dan ikan-ikan menari didalamnya. 
Jembatan Harapan 

Museum Tsunami

Tak jauh dari taman Gunongan, ke arah barat, terdapat Museum Tsunami. Bangunan modern tersebut terlihat begitu kontras karena terletak di tengah-tengah situs kuno dan sejarah kota Banda Aceh.Diantaranya,Kerkhoff Peutjut, makam militer terbesar yang terletak di tengah kota, serta lapangan Blang Padang yang dilengkapi dengan monument Pesawat RI 001.

Museum Tsunami merupakan karya walikota Bandung, Ridwan Kamil. Bangunannya megah, dindingnya seperti dilapisi sulaman rotan. Bentuknya yang unik membuatnya menjadi sebuah primadona baru ditengah bangunan-bangunan kuno yang menawan.

Untuk masuk Museum Tsunami pengunjung tidak dikenakan biaya. Setelah menitipkan tas dan barang bawaan, saya mulai masuk melalui sebuah lorong sempit, gelap, dan hanya ada gemuruh air.Lorong Tsunami Space Of Fear namanya.Di lorong gelap ini terdengar suara gemericik air. Sesekali, percikan air itu mengenai wajah saya. 

Ketinggian lorong mencapai sekitar 19-23 meter, melambangkan ketinggian air tsunami kala itu.Sebuah lorong dengan sensasi yang tak biasa. Sengaja dibuat demikian agar setiap pengunjung yang datang bisa tahu seperti apa rasanya di gulung tsunami. Air yang hitam pekat, sesekali setitik cahaya datang, sesekali gelap menghampiri.

Penelurusan saya lanjutkan ke sebuah ruang yang di sebut Sumur Doa. Dalam ruangan sumur doa ini saya kembali mendengar lantunan ayat-ayat suci Al Quran. Di sebut Sumur Doa karena ruangan ini mirip sumur dengan bagian atapnya berupa sebuah cerobong kapal uap. Di bagian ujungnya ada lafazh Allah. Disetiap sisi dinding yang berbentuk lingkaran ini, tertera begitu banyak papan nama. Nama para korban tsunami.

Sumur Doa 
Dari sumur doa, saya kembali berjalan menuju Lorong Cerobong (Space of Confuse). Melewati lorong yang didesain berkelok dan lantai yang tak rata sebagai filosofi dari perasaan para korban tsunami. Lorong ini terus mengular berputar sampai ke atas, semakin ke atas semakin terang. Melambangkan bahwa sehabis gelap, terbitlah terang. Dimana, sebuah harapan selalu ada setelah musibah datang.

Di ujung lorong, saya mendapati Space Of Hope (Jembatan Harapan),sebuah jembatan terbentang melintang menghubungkan ke lantai selanjutnya. Di bagian atas tergantung banyak bendera dari negara-negara yang telah membantu Aceh kembali bangkit dari musibah gempa dan tsunami aceh. 

Museum ini terdiri dari empat lantai. Di lantai selanjutnya terdapat ruang pamer, ruang simulasi tsunami dan ruang audio visual. Sayangnya hari itu lantai paling atas tidak di dibuka untuk pengunjung. Saya hanya bisa sampai lantai tiga, melihat-lihat miniatur kota Banda Aceh sesaat setelah stunami, foto-foto tsunami, replika kejadian tsunami dan lainnya.

Saya menitikkan air mata kala melihat foto-foto yang ditampilkan melalui monitor yang ada diruang Memorial Hall. 

Sunset Pantai Lampuuk

Hari semakin sore, warna langit perlahan berubah menjadi jingga. Deburan ombak mengalun pelan. Sesekali camar laut menukik tajam untuk memancing ikan. Senja di pantai Lampuuk Aceh besar, adalah satu dari sekian banyak hal menarik yang bisa dijumpai kala berkunjung ke Banda Aceh. 

Dari pusat kota Banda Aceh, saya menempuh waktu sekitar 30 menit berkendara, sekitar 15 kilometer ke arah barat. Sebenarnya, lokasi pantai Lampuuk tidak lagi termasuk dalam wilayah kota Banda Aceh, melainkan Aceh Besar. Namun, karena letaknya yang tidak terlalu jauh, sayang rasanya bila sudah ke Banda Aceh tidak menyambanginya.

miniatur masjid Lampuuk ketika terkena tsunami 
Ketika tsunami dan gempa Aceh 2004 lalu, Desa Lampuuk mendadak terkenal seantero dunia melalui sebuah foto masjid berkubah putih yang masih berdiri gagah, padahal daerah sekitarnya hancur lebur. Sedangkan saat itu, tidak ada satupun lagi kehidupan manusia.

Butiran pasir putih, terhampar memanjang dari utara ke selatan. Di ujung utara pantai, sebuah tebing menjulang tinggi dan terjal. Perpaduan yang begitu eksotis. Biru laut, hijaunya nyiur dan cemara, dibatasi oleh tebing yang tinggi. Sementara, matahari terus turun ke ujung cakrawala. 

Langit yang bersih, membuat matahari senja terlihat sempurna. Cahaya jingga keemasan menyemburat di langit luas. Angin semakin sejuk.Matahari pun tenggelam perlahan. Sinarnya yang memerah mewarnai butiran pasir putih di kaki saya. Riuh rendah suara tawa para pengunjung perlahan turut tenggelam. Beberapa kegiatan pantai, seperti berenang, surfing, ataupun banana boat, mulai dihentikan. Sebab tak lama lagi adzan magrib berkumandang.

Banda Aceh seolah tidak pernah hancur lebur. Sepertinya tak ada lagi rasa perih yang dulu menghampiri. Semuanya, kini hanya senyum yang tergambar, membuncah dari dalam diri. Mewarnai langit layaknya sinar matahari senja di pantai Lampuuk sore itu. YR

Senja di Pantai Lampuuk


Di muat dalam Koran Kedaulatan Rakyat Jogja edisi Sabtu, 11 April 2015 dalam rubrik Pariwisata. ( tentunya dengan beberapa pengubahan yang di anggap perlu oleh redaktur koran tersebut)
Suatu Senja di Pantai Lampuuk