Tugu Aceh daerah Modal ( by Barry Kusuma)

Terawih baru saja selesai, beberapa pemuda masih saja mengalunkan ayat-ayat suci melalui pengeras suara di Meunasah dan Masjid. Mobil yang saya kenderai masih terus memacu kencang menuju sebuah kawasan yang terbilang masih di seputaran kota Banda Aceh. Ulee Kareng. 

Malam itu, saya ada undangan kenduri makan malam dalam rangka meresmikan salah satu rumah makan Khas Aceh. Sepintas tidak ada yang istimewa. Setelah 10 menit berkendara, sampailah di tempat yang di maksud. Alih-alih syukuran peresmian rumah makan baru, ini malah acara yang dilakukan  di sebuah kebun Lembu (Sapi) kosong. Beberapa anak muda sibuk dengan kerjaannya masing-masing. Ada yang menyiangi kambing, ada yang menyiapkan tungku masak, ada yang memotong nangka muda. Boom! Sejurus kemudian semuanya selesai. Berpadu dalam adukan mesra sang koki di atas sebuah belanga hitam besar. 

Beberapa saat kemudian, dia berhenti melenggang. Sekonyong-konyong dia lari kedalam pondok Lembu di dekatnya. Dan, kembali lagi ke belanga hitam legamnya dengan sebuah kantong plastic di tangan kanannya. 

“ka rap tuho ulon tuan, nyoe nyang peuget mangat ka rap hana teu boh” 
(hampir saja lupa saya, ini yang bikin enak hampir saja tidak dimasukkan)

Saya bingung. Apaan?

Baru saja masak, dan siap di santap (dok pribadi)
Dalam semburat cahaya lampu penerang yang remang-remang, berbalut dengan embun malam yang mulai membuat diri menggigil. Isi bungkusan itu berwarna hijau lumut, seperti tepung. Dengan cukup cekatan, di chef langsung menaburnya keseluruh isi belanga. Di aduknya lagi, lagi, dan lagi. 

Sekarang, semuanya sudah lengkap! Air di masukkan, dan api mulai dinyalakan. Dia masih mengaduknya perlahan. Jaga-jaga, jangan sampai dagingnya hancur dan bumbunya “pecah”. Selama kurang lebih satu jam. Masakan khas Aceh Besar ini jadi sempurna. 

Aroma khas timur tengah berpadu Hindustan menyeruak seisi kebun. Semua yang datang, kini antri di pinggir belanga hitam dan panas itu. Sembari membawa piring kosong. Satu persatu mereka di bagikan. 

“bang, yang tadi itu apa?” Tanya saya pada chefnya. Seketika itu juga, beberapa pemuda yang masih ngantri dan chef tertawa sampai terbahak-bahak. Beberapa ada yang menyeringai. 

“nyan keuh bakong Aceh (itulah yang namanya tembakau Aceh). Rugi aja kamu jadi orang Aceh, tapi itu tidak kamu kenali. Sudah, makan saja dulu. Tapi jangan sampai terlalu banyak ya? Bisa tidak bangun nanti sahur” jawabnya dengan terus membagikan kuah untuk tetamu yang hadir malam itu.

Saya tersenyum. Seumur hidup, baru kali ini saya menyaksikan langsung proses pemasakan Gulai kambing Aceh lengkap dengan bumbu rahasianya. Ternyata, itu bukan hanya mitos, melainkan memang pada kenyataannya begitu. 

Tadinya, saya mengira, bahwa gulai kambing pakai ganja itu hanya obrolan para koki yang tersebar di seluruh kota Banda Aceh dan Aceh besar. Ternyata, malam itu tempat 3 tahun lalu, di sebuah kawasan di seputaran kota Banda Aceh, saya masih bisa menyaksikan sebuah “ceremony” khas Aceh dengan bumbu khasnya pula.

Ada rasa gembira, ketika mengetahui budaya ini masih ada yang mempertahankan. Walaupun dengan cara sembunyi-sembunyi. Mengingat ganja kini bukan barang yang halal di negeri ini. Dan, tidak semua orang bisa menakar ganja yang pas untuk di masak. Kalau kelebihan, bisa fatal akibatnya. Kalau kekurangan, maka masakan tersebut akan menjadi berantakan. Begitulah, perjalanan kembali pulang membuat saya sedikit ngantuk. Perut ini kenyang, kepala ini sedikit lelah, dan mata ini mulai berat. Ah, nikmatnya… 

Ehem… jadi pertanyaannya sekarang, bila ada yang ingin menikmatinya, dimana ya kira-kira tempatnya? Nah! Ini masih menjadi teka-teki sampai hari ini. Bila sudah siang menjelang, warung-warung rumah makan khas Aceh besar yang menyajikan gulai ini, akan bungkam seribu bahasa. Tidak ada yang tahu persis, warung mana yang menggunakan ganja, warung mana yang tidak. 

Lalu, bagaimana kita bisa tahu, kalau warung itu pakai ganja atau tidak? Mudah saja, makan saja sampai tiga porsi. Ini pun kalau anda kuat. Setelah itu, tunggulah beberapa saat. Bila rasa kantuk datang menyerang dengan seketika dan terasa begitu kuat, menurut mitos yang beredar, itulah warung yang menggunakan biji ganja dalam campuran gulai kambingnya. Katanya…

Terus, terus, kalau tempat makan gulai kambing yang di rekomendasikan untuk di nikmati bisa di Banda Aceh itu di masa saja? Ah, ada banyak tempat yang-menurut pengalaman saya- yang enak untuk dinikmati. Bilang saja, rumah makan Hasan yang terletak di seputaran jalan Batoh, terus ada rumah makan Awak Awai di seputaran jalan Gedung social, dan terakhir, rumah makan yang terletak di samping jembatan cot Iri desa Ulee Kareng. Atau, bila ingin sedikit jauh dari kota Banda Aceh, rumah makan pak Amad di jalan Banda Aceh – Medan tepatnya di desa Samahani Aceh besar bisa menjadi pilihan.

Tidak ingin jauh? Tenang, di belakang masjid raya Baiturrahman juga ada. Enak kah? Wah itu tergantung selera. He he he…

Oh iya, satu lagi, ka rap tuwoe(hampir lupa), Waktu yang cocok untuk berburu gulai kambing Aceh ini, di sarankan pada hari jumat. Bukan, bukan maksud hati ingin mengajak anda menjadi murtad  dan kaplat dengan tidak melaksanakan shalat jumat. Melainkan, ketika hari jumat, gulai yang satu ini akan terasa lebih enak. Saya sendiri juga bingung kenapa bisa begitu. Entah mungkin karena ganjanya lebih enak (ini ngarang, sumpah he he) , ataukah karena hari jumat menjadi hari yang special bagi orang-orang Aceh. Sehingga kecenderungannya sebagian besar orang Aceh merayakannya dengan makan makanan yang enak.

Yang jelas, sehabis shalat jumat, gulai ini menjadi primadona bagi abang-abang yang baru saja pulang dari masjid. Terlambat sedikit saja, wuss… gulai habis tak bersisa! Jadi, jangan sampai terlambat ya kawan?!


Rumah Makan Awak Awai Di jalan T.Chik Ditiro Banda Aceh

warung makan menjelang shalat jumat, sibuk!

kira-kira 5o ribu itu ya segini


tapi walaupun terkesan sedikit, bisa puas-puasin makan sampai mabok :D

Ket : foto dokumentasi pribadi di ambil ketika hari jumat ^_^
Banda Aceh, 21 Juni 2015, YR