suasana yang tenang di pinggir Sungai desa Neuheun



Berlibur, memang menyenangkan. Akan tetapi kalau berlibur dengan dana yang terbatas, waktu yang mepet, sepertinya bukan berlibur yang seru. Melainkan berlibur yang dipaksakan! Entahlah, anggap saja saya ini lagi galau karena isi dompet mulai dihiasi oleh lembaran foto kapten Pattimura. Alamak, serasa semuanya yang dilakukan menjadi serba salah.

Tapi, saya butuh Piknik! Karena tanpa piknik, hidup ini menjadi garing kan? Setelah menimbang dan menimang-nimang, akhirnya saya memutuskan untuk mengunjungi sesuatu desa yang lumayan jauh jaraknya dari kota Banda Aceh. Tempatnya di Kampung Neuheun (tambak) Aceh besar. Awalnya, hanya iseng, karena bila duduk santai di pantai Ulee lheue itu sudah terlalu biasa. Apalagi kalau hanya menikmati cemilan bakso bakar di pantai desa Alue Naga juga terkesan membosankan.

Niat awalnya, saya, istri dan anak-anak hendak mencari kepiting bakau. Walaupun kolesterol sudah diambang normal, akan tetapi kelezatan kepiting bakau berpadu dengan mie Aceh menjadi sebuah pernikahan makanan yang lezat sekaligus menggoyahkan iman diet ketat. Cuaca mendukung, jalanlah kami naik ke arah Pantai Krueng Raya yang terkenal dengan berbagai keindahan pasir putihnya. Sekitar 20 menit, tibalah di sebuah desa yang terkenal dengan kampong Jackie Chan ini.

Alamak! Saya baru sadar. Kalau sekarang sedang musim angin barat. Mana ada kepiting yang bagus di seputaran desa yang terdapat begitu banyak tambak-tambak ini. Dari atas jembatan, saya hanya melongo bodoh. Mirip kambing bandot yang melihat pasangannya di curi kambing kampong sebelah. Saya bengong, serasa mati kutu. Bingung mau berbuat apa. Meneruskan perjalanan ke arah Krueng Raya atau Pantai Ujong Batee, bensin motor sekarat. Balik pulang, seperti kalah sebelum berperang.

“bang, ikutan nyari kerang yok?” tiba-tiba istri nyeletuk sambil menunjuk sekumpulan ibu-ibu yang berendam di tengah sungai yang berair tenang. Tak jauh dari pinggir jembatan rangka baja tempat saya bengong ini. Ah iya! Kenapa tidak! Kan saya butuh piknik! Kepiting di ganti kerang, kan sama saja. Sama-sama kolesterol kuliner kan? Ok! Sip! Kita cari kerang!

siapa yang berani ajak Ziyad pulang kalau sudah seru begini? @_@
Motor butut saya parkirkan di sebuah warung yang ada pinggir jalan. Lalu saya mengendong kedua anak yang sudah menggeliat kesenangan seperti bebek melihat genangan air. “hore.. abang mandi sungai”

Jalan diatas pematang tambak dengan anak dua dipangkuan, bukanlah sebuah hal yang patut ditiru. Tapi mau bagaimana lagi? Saya harus berjalan sejauh 300 meter dari tempat awal memarkirkan sepeda motor tadi untuk bisa duduk berendam bersama ibu-ibu yang serius menggali-gali tanah dasar sungai.

Sejurus kemudian, anak-anak sudah mulai melepas pakaian kebangsaannya. Saya menyingsingkan celana dan lengan baju. Emaknya memilih maju pantang menyerah dengan seluruh atribut yang dipakainya. Hanya kantong plastic yang melekat ditangan. Ini untuk masukin kerang, begitu katanya. Ah suka hati kau sajalah dek. Abang sudah pusing.

Gali dengan tangan kosong, beberapa kerang cina mulai bermunculan. Satu persatu di tangkap oleh anak-anak. Mereka bergembira. Bisa main air sekaligus main tanah sekalian. Ayahnya? Ya jadi tukang kawal yang bijaksana. Siapa tahu ada ular yang lewat kan? Emaknya? Ah sama saja. Sebelas dua belas sama anak-anak.

ini dia kerangnya.. dan ternyata nggak cukup untuk dimakan sekeluarga #__#
Dua jam berlalu, sekantong plastic kerang cina yang bercangkang putih licin ini terkumpulkan. Cuaca semakin mendung, arus sungai sudah mulai pasang karena laut juga sudah mulai pasang. Maklum, sungai ini terlalu dekat dengan muara.

Jom kita pulang! Kita masak kerang ini dengan cara di rebus, lalu menumisnya dengan mie Aceh Tumis. Hmm.. liur saya sudah menetes. Tak sabar rasanya untuk segera sampai dirumah. Perut lapar, mata berair karena haru. Ah, betapa piknik itu tak perlu jauh. Yang penting, happy!


Bna, 23/07/15 YR