View kota Takengon pukul 8 pagi
Aroma kopi khas dataran dingin berhasil menetralisir bau lembab di kamar yang saya inapi selama dua malam ini.  Suhu udara yang terus tak menentu memaksa saya harus bergulung di dalam selimut. Matikan Ac-nya? Bagaimana caranya ingin mematikan Ac bila tak ada pendingin ruangan di dalam kamar ini? Malam semakin larut, tapi tak jelas sudah jam berapa. Beginilah Kota Takengon ini, tak pernah jelas waktu menunjukkan pukul berapa. Siang tak panas, malam dan shubuh sulit dibedakan. Karena suhu dibawah 17 derajat celcius.

Sekian lama sudah tak kesini, mungkin sekitar 5 tahun. Kota kini sedikit berubah, tidak sedingin dulu lagi. Tapi, tunggu, bukankah kali ini saya lagi-lagi berada dipuncak musim penghujan untuk sebuah kota yang sudah cukup dingin dan terkenal akan kopi arabikanya yang kaya aroma dan rasa? Walah, lagi-lagi saya salah waktu untuk berkunjung ke kota dingin ini. Kenapa? Karena bila musim penghujan tiba, maka kota yang berada di lembah pengunungan Bukit Barisan dan Redelong ini berubah menjadi slow motion. Yups, Anda akan menikmati Slow Motion Vacation.


Suasana Takengon pukul 10 pagi
Handphone berdering di pagi yang masih begitu dingin. Jangan, jangan tanya kepada saya, saat ini sudah jam berapa dan kenapa masih saja dingin. Karena begitulah kota Takengon di musim hujan. Dari layar Handphone tak pintar saya, datang sebuah tawaran. “Ngopi Yuks yud, jam 10 pagi ini ya” ah ternyata si toke Havennoer yang meng-sms. Ok! Ini waktunya mencoba mandi untuk terakhir kalinya di hotel yang tanpa pendingin ruangan ini. Karena sore nanti, saya akan kembali ke Banda Aceh.

Kabut masih menyelemuti lembah-lembah bukit. Langit sedikit mendung. Tak ada langit biru seperti dipinggir bibir pantai. Semuanya sedikit kelabu. Anak-anak berlarian di seputaran masjid Raya Takengon. Sedangkan ibunya, sedang asyik menikmati dinginnya lantai masjid. Anak beranak itu terus saja bermain bersama. Saya? Saya masih menggerutui diri sendiri yang lupa membawa jam tangan, jam tangan yang baru saya beli di sebuah online shop beberapa waktu lalu.

Suasana Takengon masih berkabut padahal sudah pukul 12 Siang
Bang Sayid, sudah mengomel diseberang handphone. Saya sedikit terkesan tak tepat waktu. Padahal, jam tangan saya ketinggalan. Menentukan waktu dengan suhu matahari seperti yang biasa saya lakukan di pesisir? Nihil! Ini takengon Kawan! Ingin menentukan waktu melalui bayangan diri yang disinari oleh sinar mentari? Bablas! Matahari muncul tak jelas di balik kabut.

“Maaf bang, Saya lupa kalau kita janjinya jam 10 pagi, sebentar, saya kesana sekarang” membalas pesan singkat sembari berkemas-kemas perkakas bocah-bocah. Ini saatnya kembali ke hotel. Sepanjang jalan menuju Bayu Hill Hotel, saya masih tak henti-hentinya menepuk jidat sendiri. Bagaimana mungkin jam tangan itu bisa tertinggal dikamar ya? Ah mungkin karena bentuknya yang sedikit kecil kali ya. Jadinya, saya susah merasakannya.
Pasar Takengon pukul 15 siang

Sedari dulu, saya sangat menyenangi jam tangan. Bukan, bukan demi gaya, tapi lebih kepada “Tahu Diri-nya”. Di beberapa kota di Aceh, menjadi ontime itu adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Kenapa? Karena orang Aceh sedikit terkenal jago Ngaret. Dan, saya tak ingin di cap seperti itu. Jadilah sewaktu saya berhasil “pecah telor” dari ngeblog, mencoba mengalokasikan sedikit dana untuk membeli sebuah jam tangan baru.

Jam tangan yang saya beli bukan yang mahal, sebangsa Alexander Christie, atau rolex. Hanya Casio. Sebuah jam tangan yang baterainya bergaransi 10 tahun, tahan air, dan juga tahan banting. Done! Tidak bergaya, malah cendurung seperti jam anak-anak. Tapi, ini adalah salah satu jam impian masa kecil saya. Satunya lagi, saya berharap suatu hari bisa membeli jam tangan merek Expedition. Bentuknya lumayan besar, jadi dengan demikian saya bisa menjadi lebih “merasakan” feeling jam dilengan saya. Tidak seperti sekarang ini.

biasanya make yang bisa berubah jadi bima x sih hehehe
Harganya? Hmm.. sedikit maknyus bila ingin dibandingkan dengan harga jam tangan merek casio saya. Tapi setelah saya melihat koleksi jam tangan di zalora, saya bisa merasa sedikit lega karena harganya tidak mahal-mahal amat. Paling tidak, saya bisa menabung lagi dari hasil “ngeblog” lalu membelinya dengan uang tersebut.  Semoga…

Langkah kaki terus saya percepat, karena janji ngopi sudah bergeser 15 menit dari jadwal. Sebentar lagi? Mungkin tawaran ngopi gratis di tanah tinggi gayo ini akan hilang dan menjadi basi. Hanya karena saya ketinggalan jam tangan baru. Jadi kawan, ada baiknya kalian memakai jam tangan bila ingin berwisata menikmati indahnya Pantai Lut Tawar di Aceh Tengah. Kalau tidak? Tawaran kopi gratis kalian akan terlewatkan begitu saja hanya karena anda tidak menyadari betapa waktu, telah berlalu dari pagi menjadi sore tanpa terasa panasnya sinar mentari di siang hari.