Kesenian Rapai Daboh khas dari Pulo Aceh yang kini kian tenggelam
Pulo Aceh, anak Aceh mana yang tak tahu letaknya? Sungguh ia menjadi anak Aceh yang keterlaluan bila sampai tak tahu dimana Pulo Aceh itu!.  Secara georgrafis, Pulo Aceh adalah kumpulan pulau paling barat Indonesia. Sebuah negeri yang kaya akan pemandangan alam yang menakjubkan.

“Jinoe ka hayeu Dun, ka jeut ke kecamatan, dilee? Brat that” kata pak Ismuha salah satu pemuka kampong Meulingge, Pulau Breuh. Sebuah gugusan pulau paling besar dalam Kecamatan pulo Aceh. Sekarang, mereka mensyukuri keadaan Pulo Aceh yang telah menjadi sebuah kecamatan. Sedangkan dahulu, mereka hanyalah kumpulan desa-desa yang disebut Mukim Pulo Aceh. Dahulu, Pulo Aceh hanyalah bahagian dari Kecamatan Peukan Bada. Bayangkan, hanya bahagian! Padahal, letaknya tak lebih dari 2 jam perjalanan laut dari ibukota Provinsi Aceh yang terkenal dengan Kota Madani-nya.


Saya mencoba mengerti keadaan para penduduk kampong yang saya temui selama bermain di pulau terbarat Indonesia ini. Bukan, bukan Pulau Weh dengan Tugu Nol Kilometernya yang menjadi pulau terbarat Indonesia. Secara geografis, Pulau weh itu adalah pulau paling utara. Bukan paling barat.

Perlahan, pelabuhan ini mulai digunakan 
Setiap penduduk, sesekali menceritakan keseharian mereka selama hidupnya di pulau ini. Ada yang bertani, ada yang melaut, dan ada yang berkebun. Tak sedikit juga yang menjadi pegawai negeri atau pedagang. Sepintas, tak ada yang berbeda. Sampai akhirnya saya baru sadar, bahwa disini, pendidikannya masih cukup jauh tertinggal dibandingkan dengan Aceh daratan.
***
Penjajah Belanda, pertama kali mencoba membangun Pulau Breuh dan Pulau Nasi sebagai salah satu basis pertahanan, sekaligus sebagai pelabuhan bebas milik mereka. Saat itu, beberapa pekerja belanda di utus untuk mensiasati pulau elok tersebut menjadi pelabuhan bebas.

Dari ujung ke ujung, dari sudut ke sudut, mereka akhirnya menyerah. Pulau ini memang paling barat Indonesia, walaupun secara geografis sangat menguntungkan akan tetapi, pada masa itu, pulau ini tak cocok untuk dijadikan pelabuhan bebas. Akhirnya, Belanda memilih Pulau Weh sebagai salah satu pulau penunjang ekonomi pemerintahan penjajah Belanda kala itu.

Alasannya cukup sederhana, Pulau Breuh, tidak memiliki stock air bersih yang cukup untuk kebutuhan kapal-kapal niaga masa itu. Belanda, hanya membangun sebuah mercusuar yang berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi kapal-kapal yang hendak merapat ke Aceh.
Miris memang, pulau yang seharusnya maju dan kaya tapi akhirnya menjadi pulau miskin dan tak berkembang. Pulo Aceh hanya berfungsi sebagai penunjuk arah. Tak lebih.

ini adalah salah satu bangunan peninggalan belanda yang kini terbengkalai mengerikan
Lain Belanda, lain pula negeri ini. Setelah merdeka, Pulo Aceh tetaplah Pulo Aceh. tidak ada yang berubah. Karena dianggap tak berpotensi, maka terbengkalailah pulau yang memiliki keindahan alam yang luar biasa ini. Dia, masih tetap menjadi pulau singgahan sementara.

Sebelum tsunami, dan ketika konflik masih mendera provinsi Aceh, pulau ini sempat menjadi pulau Ganja. Issue yang beredar demikian. Penduduk kampong, pengedar ganja, banyak yang membuka lahan di sini. Alasannya sederhana, tanahnya subur dan tak ada yang mau ke pulau ini. Kalian boleh tak percaya, dan menganggap hal ini hanyalah dongeng pengantar tidur belaka. Tapi ini semua saya dengar dari salah seorang tetua kampong di pulau Nasi.

Semasa perjanjian damai antara GAM dan RI, pulau ini kembali seperti pulau pada umumnya. Sepi, tenang, tidak ada aktifitas yang menyibukkan penduduknya. Tidak ada lagi lahan ganja puluhan hektar di sini. Mereka, kembali menjadi petani dan pelaut seperti sedia kala.

Rumah Sakit tak ada di sini, hanya pukesmas yang sering tak ada dokternya. Pun senasib dengan pak camatnya. Sesekali, hanya beberapa orang guru yang memiliki niat hati untuk tetap mengajar di pulau terluar Indonesia ini. Pemerintah masih terkesan sedikit malas untuk memolesnya. Anak-anak di pulau ini, hanya mendapatkan pendidikan secukupnya. Tidak lebih.

Pulo Aceh, bukan hanya tertinggal dari segi pendidikan, akan tetapi juga tertinggal dari segi sinyal telepon. Listrik pun baru beberapa tahun belakangan ini masuk. Itupun karena jasa tsunami yang meluluh-lantakkan Aceh tahun 2004 lalu. Mereka, akhirnya kebagian listrik. Indahnya.


Di malam terakhir petualangan saya di pulau ini, saya mencoba mengitari pulau secara perlahan. Tapi sepertinya tidak memungkinkan. Jalanan yang begitu terjal dan licin menjadi penghalang. Belum lagi tak ada penerangan malam layaknya lampu yang kerlap kerlip di seberang pulau. Lampu yang indah bermain dengan temaran air laut itu, berasal dari ibukota Provinsi, Banda Aceh.  Iya, dari pantai Deumit Pulau Nasi, bila malam hari, kalian akan bisa lihat pemandangan malam kota Banda Aceh. Dan bayangkan, puluhan tahun nun di seberang itu selalu bermegahan dengan lampu yang rupawan, sedangkan di sini, di pulau Nasi dan Pulau Breuh, mereka hanya menyalakan Panyoet (lampu minyak).
selamat Datang di Pulau Nasi

Pulo Aceh, masih merupakan provinsi Aceh, masih merupakan bagian dari Negara Indonesia. Saya mencoba memahami, bahwa bukan hanya Pulo Aceh satu-satunya pulau terluar yang tertinggal dalam segala hal, akan tetapi, masih banyak pulau terluar Indonesia yang lainnya mengalami nasib tak jauh berbeda.