sumber foto : kompasiana.com

Hai bungoeng kapreh dilee
Bahgia ka troeh watee
Wahai bunga sabarlah dahulu
Bahagiamu sudah akan tiba waktunya

Hantom ta com bee
Cit ka meuhue salah
Tidak pernah tercium aroma
Sudah terlihat bahwa ada yang salah

Begitulah. Cerita demi cerita mengalir mengisi malam. Seringai dari seringai. Senandung demi senandung. Wahai teungku raja. Disini pemuda mengaliri jiwa dengan senandung syair. Dari ujung negeri.


Tentang cut putroe yang selalu menjadi dinda meutuwah. Dalam dinginnya salju. Dari sejuknya hembusan angin malam. Dengan lembutnya belaian sinar rembulan.

Wahee teungku raja
Lalee lalee geutanyoe lalee
Aneuk ka ditateh, umue ka tuha
Puteh ngen janggoet, kuneng ngen miseh
Wahai tuan Raja yang mulia
Lalai lalai kita masih saja lalai
Anak sudah besar, umur sudah menua
Putih dengan jenggot, kuning dengan kumis

Cut putroe memanggil Cudaraja dengan senandung. Bersyair mengiringi kesunyian malam. Sesaat lagi ramadhan. Bukankah demikian wahai cut Da?


Adak di hatee lon pula bungoeng
Hiasan taman keu hayeup mata
Lon harap bungoeng rayeuk beurejang
Lon dodo sayang lah sayang ngen ie mata
Andaikan di hati aku menyemai bunga
perhiasan taman penyejuk mata
Ku berharap bunga tumbuh mekar
ku timang sayang dengan air mata

Begitukah rasa yang dinamai cinta? Bersalut jilbab biru. Mendendangkan syair-syair berbait rindu. Dengan lantunan rapai. Dengan alunan seruling kale. Bergemerincing ulee ceumara dikepala. Terselip diantara jilbab dan melati. Sesekali harum semerbak jeumpa. Tersambut seulanga diujung jalan. Benar, sesaat lagi ramadhan wahai Cut intan boh hatee.

Rajutlah. Mimpi dan rindu. Bersatu mengalbu dari biru. Menjelma selendang dalam untaian benang senja. Lalu terbang perlahan dengan auarora dari langit utara. Tanyakan. Tanyakan kepada langit. Bahwa cerita ini memang begini. Langit dengan barisan warna. Pelangi dengan si penawar rasa. Adalah rindu itu menuntun hati menuju ke langit wahai Cut Putroe?

[Tulisan lawas, sisa-sisa dari blog multiply era tahun 2005 lalu]