Subuh masih,
adzan dalam remang fajar masih bersahut-sahutan. Mata dan kepala saya masih
berat untuk diajak berteman. Semalaman, harus bergadang. Bukan, karena malam
tahun baru. Tapi lebih karena keadaan yang mengharuskan.
“Bang, pagi ini kita ke desa wisata lubok yoks?” sebuah sms masuk. Terbaca dari seorang sahabat yang mengisiasi
terbentuknya blog safariku.com.
Subuh, tidur kurang, masih tahun baru, dan sebuah teknologi awal 2000an. Ini
kawan maunya apa ya? Di kala orang lain sudah memakai aplikasi canggih, dia
masih tetap gayanya yang tak jelas. Tapi, ide yang dilontarkan olehnya,
menarik.
“Ok, tolong jemput ke rumah ya”
Beruntungnya,
angin masih bertiup dari arah timur. Cuaca yang sedari sedikit mendung berubah
cerah. Mentari cukup hangat. Terlebih lagi, gunung Seulawah yang berada di
ujung timur Banda Aceh terlihat sempurna. Berhiaskan selendang awan putih,
tepat di puncaknya. Langit begitu biru,
sempurna. Sebuah langkah awal memulai tahun yang baik.
Dari Banda Aceh,
motor scooter yang kami kendarai
mengarah ke arah jalan Banda-Aceh Medan. Sekitar 20 km, Makmur harus berbelok
ke arah kiri. menyusuri jembatan panjang yang menghubungkan jalan Banda Aceh-Medan,
ke desa Lubok. Di Aceh Besar, beberapa jembatan panjang seperti yang terdapat
di desa lubok ini, akan sering kita jumpai. Menurut cerita, jembatan ini adalah
mega proyek Indonesia melalui gubernur Aceh Ibrahim Hasan untuk memutuskan mata
rantai “Rakit Sungai”. Kanal-kanal krueng Aceh dibangun untuk mengantisipasi
datangnya banjir ke kota Banda Aceh.
Di sudut
jembatan desa Lubok, sebuah warung kopi sederhana berdiri. Tak banyak pria
dewasa yang duduk dan bercengkrama. Tidak terlihat seperti desa-desa di Aceh
pada umumnya. Kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Sembari mencoba
mencari-cari informasi mengenai desa ini lebih jauh. Tapi, aroma kue Pulot dan
Timphan yang tersaji di depan mata memaksa saya untuk melahapnya lebih dulu.
Teh manis
hangat, timphan yang terbuat dari
tepung ketan, dibalut daun pisang dan di isi dengan adonan srikaya khas Aceh.
Belum lagi aroma khas dari daun pisang muda yang dipanggang angin-angin di atas
bara dengan ketan di dalamnya. Kue Pulot. Salah satu penganan wajib khas
Aceh yang masih mudah ditemukan di
daerah pedesaan seperti Desa Wisata
Lubok Ini.
“nyoe musem blang dek, maka jih hana ureung “ Ini musim ke sawah dek. Makanya tidak ramai orang di warung kopi.
Seorang bapak
yang duduk di samping kami, menyeletuk untuk menjelaskan rasa penasaran saya
tentang keadaan desa yang begitu sunyi. Ini sudah pagi, pukul 9 pagi. Kenapa
begitu sepi? Ternyata mereka sudah ke sawah untuk bersiap menanam padi.
“wah menarik! Yoks bang kita ke sawah” Makmur dengan segera menghabiskan teh-nya lalu memaksa saya menelan
segera kue pulot terakhir dari piring di atas meja.
Desa Lubok Aceh Besar,
Walaupun namanya sudah sering malang melintang di telinga saya, tapi baru kali
ini saya benar-benar mengunjunginya. Sebuah desa yang tersusun cukup rapi
dengan rumah mayoritas masih rumah khas Aceh, Rumoh Panggong. Desa ini, resmi diluncurkan sebagai desa
wisata pada tahun 2013 lalu. Dan saya baru sekarang ke sini? Ah dari pada tidak
sama sekali?
Jalanan desa
yang tersusun rapi dengan pagar rumah penduduk hampir rata-rata dari tanaman English ivy, menjadi sebuah pemandangan
yang begitu menyejukkan. Beberapa penduduk terlihat sedang bercengkrama di
bawah rumah panggung, sebagian lainnya sedang menjemur belimbing wuluh yang
akan dijadikan bahan asam sunti
nantinya. Dan sebagian lainnya, ada yang sudah di sawah.
Kami, terus
menyusuri jalanan desa untuk mencari areal persawahan. Makmur sibuk melirik
kiri-kanan jalan. Sedangkan saya? Sibuk mencari makam tua. Siapa tahu, ada
cerita menarik dari makam tua yang berusia ratusan tahun di Aceh.
Hari semakin
siang, sedangkan areal persawahan yang kami tuju ternyata tak sesuai harapan.
Beberapa sawah sudah terisi sempurna. Raut muka makmur berubah tak semangat.
Seolah tak ada cerita akan bisa kami tulis dari perjalanan kali ini.
Lari Ke Desa Atong,
“Mur, kita ke desa Atong aja. Di sana, kita duduk
ditengah-tengah sawah yang mirip dengan seperti Tampak Siring. Nggak jauh dari
sini. Mau?” saya mencoba memberikan solusi lain
dari sebuah perjalanan kali ini. Sebenarnya, saya masih penasaran dengan view
aslinya bila keadaan secerah ini. Tahun
lalu, saya pernah ke desa Atong dalam trip menjelajah lamteuba. Sayangnya, waktu itu
cuaca tak mendukung. Sehingga masih ada rasa ingin melihat keadaan desa
tersebut ketika musim tanam tiba dan cuaca yang cerah.
Desa Atong, atau
desa Ateung ini sebenarnya sangat tidak dikenal oleh sebagian besar warga
kabupaten Aceh Besar. Ia terletak terjepit di antara sekian banyak desa di
kecamatan montasik Aceh Besar. Asal muasal dari nama atong atau ateung sendiri
masih tumpang tindih. Ada yang mengatakan bahwa nama itu berasal dari kata
Ateung Blang (pematang sawah) karena
di lihat dari peta, bentuknya menjorok lurus ke dalam. Persis sebuah pematang
yang membatasi setiap areal sawah. Dan mungkin, hanya sekedar penamaan saja.
Dari desa lubok,
sebenarnya saya harus memutar. Sedikit sulit dideskripsikan. Tapi satu hal,
bila masuk ke kecamatan Montasik, tanyalah kepada warga sekitar dari mana arah
masuk ke jalan desa Atong ini. Tak berselang lama, lima belas menit kemudian,
Makmur yang tadi sedikit murung kembali ceria.
Sebuah pemandangan
yang sangat langka bila di kota-kota besar kembali tersaji sempurna. Masyarakat
kampung bergotong royong menanam padi di sawah. Dalam satu areal sawah bisa 5
sampai 10 orang bahu membahu menanam padi. Bergulut lumpur, tangan-tangan
mereka cekatan memasukkan satu persatu batang padi yang nantinya akan menjadi
penghasil padi kemudian menjadi beras.
Saya, dan
Makmur, duduk di tepi jalan sembari terus memotret. Menikmati setiap tingkah
laku para petani yang berjibaku dengan waktu dan tanah lumpur. Sesekali, mereka
bertanya, apakah kami berdua dari media massa ataukah dari pihak peninjau
lapangan. Saya hanya tersenyum. Karena, bila saya katakan saya adalah blogger
dan senang meliput tak jelas. Maka bisa dipastikan raut muka para petani ini
akan bingung. Ceritanya di sini ( jangan nikahi gadis Aceh, bila jadi blogger)
Susunan sawah
yang sedikit berundak memberikan sebuah sensasi pemandangan hijau yang begitu
menyenangkan mata. Perilaku masyarakat desa yang sudah semakin langka menjadi
pelepas rindu kala saya, harus merindukan masa kecil yang sering main di sawah
nenek. Yang kini, sawah itu sudah menjadi komplek perumahan elit di Banda Aceh.
Dari sudut
kampung Atong ini, saya berharap, penggerusan lahan persawahan yang semakin
meningkat sejak tsunami lalu, bisa berhenti sejenak. Karena, pemamdangan sawah
nan hijau, berundak-undak kecil, lalu senyum para petani baik wanita ataupun
pria, menjadi sesuatu yang akan sangat mahal nantinya.
Saya masih
tersenyum ketika melihat tingkah polah makmur yang semakin menjadi. Setiap sisi
di fotonya. Setiap ada pria tua yang mengenderai sepeda motor tua, lalu
mengangkut padi di foto olehnya. Dan mulutnya terus-terusan berujar. Ini menarik.
Ini langka. Ini keren.
Ah, andaikata, masih banyak pemuda seperti makmur yang selalu melihat sisi menarik dari keseharian penduduk kampung, tentu kampung seperti ini bisa bertahan atas tuntutan jaman menjadi sebuah destinasi wisata seperti desa lubok. Andai…
Comments
Di Usi Dayah dan kampung lain Pidie Jaya sekarang lagi musim sawah nih Yudi. Pemandangan hijau dengan angin dan matahari adalah nikmat bagi mata. Tapi..Kebayang capeknya petani puasa2 ngerjain sawah.
ReplyDeleteKakaaaak.. Kenapa bahas mereudu.. Kami juga kangen pulang ke saana.. Main di daerah beuracan huhu
DeleteRumah bu cut masih utuh dgn isinya, tp perawatan rumah aceh berat.. suasana kampung.a asik plus adem, apalagi nenek2.a ramah2.. hehe
ReplyDeleteSerius?? Wah berarti saya harus ke sana sekali lagi hehe
DeleteCobain makan di salah satu rumah di sana juga, Bang. Enakliiii...
ReplyDeleteIya dek cit saya paham.. Makan pre itu memanb enak #eh
DeleteSayangnya hari itu g ada kenduri cit hiks
beberapa malam yang lalu saya baru saja lewat lubuk sukun, dan beberapa tahun yang lalu juga pernah ke atong, btw.... montasik dan blang bintang itu dulu jajahan saya hahahah..... cukup indah
ReplyDeleteeh? malam2?? luar biasa! ternyata memang di sana aman ya Ihan klo malam2 bagi wanita :)
DeleteWah, montasikk.. itu gampong sayeu..
ReplyDeleteAceh Besar the amazing place in the world
iyalaaah yang punya kampung montasik :D
Deletenenek saya pun orang montasik loh bang hahaha
Indah sekali suasana di Atong, sudah hampir setengah tahun yang lalu. Bagaimana ya Ramadhan di sana? Sayangnya sudah mau habis 😀
ReplyDeleteah iya yah.. kenapa g terpikirkan untuk melakukan aktifitas di bulan ramadhan di sana ya.. telat tat
DeleteAceh ya :' duuuh belum pernah kesana sih, tapi Aceh adalah salah satu daerah yang aku kagumi :' entah kenapa, dari SD malah :D
ReplyDeletewaaah terima kasih.. semoga mas Febri bisa ke aceh suatu hari nanti.. dan betah di sini :)
Deletewah, cerita yang menarik pak :D
ReplyDeletewah ada nyamuk ganteng.. kapan kita ngopi nih :D
DeleteSuasana desa yang tenang dan indah. Nyaman lihatnya. Seolah ritme kehidupan jadi seperti begitu lambat berjalan...
ReplyDeleteiya Rien.. saking damainya susah kali mau move On dari desa tersebut :)
DeleteHai... Terima Kasih sudah membaca blog ini. Yuks ikut berkontribusi dengan meninggalkan komentar di sini 😉