Aceh, dalam berbagai literature sejarah di dunia mengatakan, kalau Ia adalah salah satu negeri bawah angin kesultanan Turki Ottoman terbesar pada abad ke 16 Masehi. Namun, bila kamu bertanya, dimanakah bukti kebesaran dari kerajaan Islam Aceh kini?
Daerah kekuasaan kerajaan kala era Kesultanan Islam Aceh meliputi sebagian semenanjung Melayu Malaysia, yaitu Pahang dan Kedah. Di pesisir barat Sumatra, Kesultanan sempat menaklukkan kerajaan Padang. Sedangkan di pesisir timur Sumatra, Aceh berhasil menjadikan Kesultanan Riau, menjadi daerah jajahannya. Begitu luasnya kawasan jajahan Aceh saat itu, sebenarnya cukup memberikan bukti, bahwa Aceh sangat wajar disebut sebagai Pusat Penyebaran Agama Islam Di Nusantara.

Bahkan, Aceh, berhasil menjadikan kawasan barat Jawa sebagai daerah yang ikut dikomandoi oleh Aceh. Walaupun mungkin seperti system Negara Serikat. Begitulah, bangsa begitu besar ini, seiring perkembangannya Aceh menyusut menjadi hanya seperti yang dikenal hari ini. Kembali ke pertanyaan awal, dimanakah bukti kebesarannya kini?

Batu nisan dihadapannya adalah batu nisan anak-anak pada kerajaan lamuri
Kala Belanda berhasil mengalahkan kerajaan yang dipimpin Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun 1874-1903. Seluruh bukti yang menunjukkan kebesaran Aceh dihapuskan. Masjid raya baiturrahman dibakar. Lalu diubah dengan model Khas Eropa dan India (Taj Mahal) ala Belanda. Bahkan tak tanggung-tanggung, bangunan kerajaan dibakar sampai ke pondasinya. Lalu, dibangunlah pendopo khas Netherlands. Ini belum lagi ketika berbicara perihal jilbab Cut Nyak Dhien.


Jadi, wajar bila akhirnya tak banyak yang mengenal Aceh dengan baik. Bahkan beberapa anak Aceh sendiri tak paham kalau Aceh dahulu begitu besar dimasanya.

Beberapa hari lalu, saya berkesempatan mengenal Aceh melalui batu nisan para pendiri negeri ini. Batu Nisan? Iya, batu nisan. Menurut bang Muhajir yang menjadi guide di museum Aceh tempat dimana pameran temporer Batu Nisan berlangsung, mengatakan, kalau batu nisan Aceh begitu banyak cerita dan menjadi salah satu bukti kebesaran Aceh masa lalu. Sekaligus bukti kuat kalau Aceh adalah tempat dimana Islam pertama kali masuk ke Indonesia.

Pria yang berperawakan khas Aceh dengan muka sedikit ke arab-arab dan eropa ini menjelaskan begitu bersemangat. Sesekali mukanya memerah tatkala saya menyinggung perihal penetapan Barus sebagai Titik Nol Islam di Nusantara.


“Bang Yudi, kalau abang tahu, Kerajaan Islam tertua di Asia Tenggara itu adalah kerajaan Islam Samudra Pasai di Aceh Utara. Ada beberapa literature yang berbicara seperti itu.” Matanya berkaca-kaca. Gerak bibirnya tak beraturan, seolah menahan haru tatkala menceritakan kehebatan Aceh masa lalu. Sesekali ia mengajak saya tertawa. Sembari mencoba terus menjelaskan banyak hal tentang batu nisan Aceh.

Ia mengajak saya untuk mengenal nisan yang bertuliskan Batu Nisan Makam Orang Kaya Kapai ( kapal). Banner yang berdiri tepat di sudut sisi kanan museum ini, menjelaskan bahwa ia dikenal sebagai Orangkaya Kapai Laksamana Sri Maharaja Dibangsa Romero. Yang paling menarik dari foto batu nisan itu ykni, Si pemilik batu nisan tersebut adalah seorang PEREMPUAN dari negara Italia.


Muhajir menjelaskan kalau batu nisan era kerajaan Aceh Darussalam bisa membedakan gender. Mana yang Pria, mana yang Perempuan. Sampai di sini, saya tersenyum. Ternyata, lagi-lagi saya mendapatkan bukti kalau Aceh, begitu menghargai seorang Perempuan. Jauh sebelum negera barat menyerukan emansipasi wanita.

“ini baru satu nisan saja, kita sudah mendapatkan sebuah gambaran yang luar biasa, kan bang Yud?” celetuk Muhajir. Menyadarkan saya, kalau saya masih di museum Aceh. Bukan di abad ke 17 masehi. Tempat dimana wanita hebat itu melayarkan kapalnya untuk menghadang laju pasukan Portugis di selat Melaka. 

Saya membayangkan, Perempuan nan gagah ini, berparas begitu anggun namun juga tegas. seorang wanita yang memeluk Islam, dan memilih Aceh sebagai negeri tumpah darahnya. Padahal ia adalah seorang keturunan Italia.


Memang, yang dipamerkan tak banyak. Sebagian besar adalah beberapa nisan yang diselamatkan oleh Masyarakat Pecinta Sejarah Aceh (MAPESA) karena nisan tersebut menjadi korban penggusuran yang mengatasnamakan pembangunan Aceh. Akan tetapi, apa yang diceritakan oleh Muhajir membuat saya enggan untuk melangkahkan kaki menjauh darinya. 

Bahkan sampai museum tutup pun, saya masih meminta ia dan beberapa temannya (termasuk Masykur, pemuda Aceh yang memahami begitu banyak manuskrip kuno Aceh yang akan saya ceritakan terpisah nantinya) untuk terus bercerita tentang kehebatan Aceh di masa lalu melalui penyebaran nisan-nisan Aceh yang mereka temukan.

Nisan Aceh kala itu, sempat menjadi bahan dagangan. Bahkan di ekspor sampai ke Filipina Selatan. Ternate, dan Sulawesi Selatan pun, ada ditemukan nisan-nisan dari Aceh. Maka jika demikian, tak salah kala saya mengatakan kalau Aceh punya hubungan sejarah dengan kerajaan Islam di Ternate dan Tidore.
Baca Juga : Aceh, Tidore, Dan Indonesia
Saya semakin termenung. Mendengarkan mereka bercerita secara bergantian. Sesekali muka mereka begitu serius tatkala membahas betapa sedihnya keadaan Batu Nisan Aceh yang kini tak diperdulikan sama sekali oleh pihak pemerintah Aceh. Tapi, apapun ceritanya, hanya batu nisan itulah salah satu bukti kebesaran Aceh masa lalu.


Memang, karena keadaan dan tempat yang terbatas, pihak museum hanya bisa menampilkan tiga tipilogi batu nisan Aceh. Yaitu Tipologi Nisan Era Samudra Pasai, Tipologi Lamuri, dan Tipologi Kerajaan Aceh Darussalam.


Acara Pameran Kontemporer Mengenal Batu Nisan Aceh yang digelar oleh Museum Aceh yang bekerjasama dengan Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumut-Aceh yang berlangsung pada tanggal 9 hingga 16 Mei 2017 lalu, menyisakan begitu banyak pertanyaan dan menguatkan asa saya untuk terus menyusuri nusantara ini, demi mencari kepingan puzzle sejarah Aceh yang hilang. 
Bang Muhajir, salah satu pemuda aceh yang begitu mencintai sejarah Aceh.