“Mana ini peserta? kok belum pada ngumpul? sudah telat 15 menit dari yang ada di rundown!” suaranya sedikit meninggi. Pria berambut kekinian itu terlihat gusar dan tak senang. Di depan aula yang berada dalam kawasan Asrama Haji kota Banda Aceh, dia terus mengulang hal yang sama. Sesekali, ia berbicara dengan rekan sejawatnya. Sesekali pula, ia menegaskan sembari bertanya dengan nada gusar kepada panitia acara yang duduk manis di meja registrasi.

Tebakan saya, mereka pasti berasal dari daerah yang sama dan sepertinya belum pernah ke Aceh atau belum mengetahui kalau matahari sedikit berbeda dengan Jakarta. Seolah, se-iya sekata, merekapun mulai gusar. Peserta dari acara nasional nan hebat belum berkumpul sesuai dengan jadwal yang disusun oleh panitia.

Lima menit sebelumnya, adzan Ashar baru saja berkumandang. Mengisi relung-relung ruang kosong dari setiap sudut kota banda Aceh. Dan, entah mengapa, mungkin mereka lupa kalau lima menit kemudian, sebagian dari peserta yang sebagian beragama muslim, pasti sedang shalat Ashar. Terutama mereka yang berasal dari Aceh. 

Nada-nada gusar mengenai telatnya para peserta Lawatan Sejarah Nasional 2018 yang diadakan di Aceh membuat saya tak nyaman. 

“Bu, di Aceh, shalat ashar itu jam 4 sore, shalat magrib jam 7 malam, isya jam 8, shubuh jam 5.15, serta shalat dhuhur di jam satu siang. Mungkin sebagian peserta sedang shalat, bu” Saya menimpali obrolan si pria dan ibu-ibu pada meja registrasi.

di Aceh, matahari seperti ini baru ada di jam 10 pagi 
Hati sudah mulai panas, tapi saya pikir, wajar saja kalau mereka tidak paham perihal ini, walaupun sebagian besar pasti muslim. Toh, bisa jadi mereka baru pertama kali ke Aceh dan malas cari tahu tentang local wisdom Aceh yang cukup menjaga waktu-waktu shalat. 

“oh berarti jam gue salah ya? Minta lihat jam yang sesuai dengan waktu di Aceh dong!” sergah pria sepatu merah, dan memegang DJI Osmo MObille itu sembari menyodorkan jamnya kepada saya. 

“Aceh masih WIB, sama seperti Jakarta, yang berbeda hanya waktu shalatnya saja” tutup saya sambil memasukkan isi goody bag ke dalam ransel serta bersiap-siap menuju kamar penginapan seperti yang diarahkan oleh ibu-ibu di meja registrasi tadi. 

Saya hanya bergumam dalam hati, semoga ini bukan pertanda buruk. Melepaskan acara sekaliber nasional di Aceh kepada mereka yang tak paham mengenai hal-hal sepele seperti waktu shalat di Aceh. Ah, mungkin saya terlalu berpikir picik. Aceh sudah damai, menyingkirkan semua prasangka adalah kewajiban semua pihak, bukan?

Dari kejauhan, pria yang saya ketahui bernama Asep dari Komunitas Historia Indonesia itu masih sibuk menanti peserta yang satu persatu mulai memasuki ruangan. Walaupun sebagian lainnya belum sampai dari provinsi asal mereka. Ah entahlah, mungkin dia lupa, kalau naik si raja singa, pasti akan sering delay. Wallahu’alam.

***
Jam lima pagi di hari Sabtu, sebagian peserta yang berasal dari Aceh dan daerahnya yang terkena tsunami, hampir lari terbirit-birit dari kamar penginapan Asrama Haji kota Banda Aceh! Pasalnya sederhana, panitia yang bertugas membangunkan peserta menggunakan sirine yang ada pada TOA! Dengan sedikit terbingung-bingung, Khairul bercerita, kalau dia sempat bingung dan sedikit panik. Asrama haji ini, merupakan salah satu bangunan yang terkena efek tsunami 2004 dengan cukup parah. 

Pertanyaannya sekarang, apakah mereka melupakan sejarah Gempa dan Tsunami Aceh? Ataukah sebenarnya mereka-lagi-lagi-tak paham mengenai betapa trauma dan takutnya orang-orang di Aceh dengan bunyi sirine di waktu-waktu tertentu? Atau mungkin, mereka juga tak paham mengenai perihal waktu terbit matahari di Aceh yang berbeda hampir satu jam dengan kota Jakarta, tempat sebagian besar panitia Lasenas 2018 ini berasal. 


suasana di Benteng Iskandar Muda yang terletak tak jauh dari Benteng Indra Patra

Benteng Indra Patra tersenyum tatkala melihat langkah gontai sebagian peserta. Matahari begitu terik. Terlalu panas untuk tidak kena air minum. Ingin lari ke bus yang mengangkat 250 orang peserta, serasa sia-sia. Air mineral botol yang di bagi, tak cukup. Banda Aceh dan Aceh besar begitu panas, jatah air setiap peserta seolah hanya di jatah 600 ml per orang. Lagi-lagi saya berpikir sama. Ah, mungkin mereka tak paham kalau Aceh punya cuaca yang saingan dengan Riau atau Pontianak. 

Adzan dhuhur sudah berkumandang beberapa jam yang lalu. Pak Yondri, guru pendamping dari Sumatra barat mulai gelisah di dalam Bus yang membawa kami dari Benteng Indra Patra ke Gunongan (jarak kedua tempat ini sekitar 1 jam bila naik bus). Saya mencoba menenangkan beliau, kalau beliau bisa mengambil jamak atau qasar saja. Mengingat beliau terhitung musafir atau travelers. Sehingga ada keringanan untuk menggabungkan dua shalat menjadi satu waktu. 

Beliau kembali duduk di sudut bus. Hingga akhirnya bus berhenti di Gunongan yang merupakan tanda bukti cinta Sultan Iskandar Muda kepada istrinya yang berasal dari Negeri Pahang ini, pak Yondri berjalan tergopoh-gopoh mencari tempat shalat dalam kawasan cagar alam tersebut. 

Tak lama, Wanti, Ella, Risna, Yelli, Ayu, dan beberapa teman-teman lainnya mulai menyuarakan hal yang sama. Mengapa begitu sulit shalat di tanah serambi mekkah ini? Saya hanya tersenyum. Sembari terus mencari solusi dan jawaban. Menurut pengakuan Wanti, mereka sudah bertanya dan mengkomplain mengenai waktu shalat yang tak leluasa kepada panitia. Lalu jawaban mereka?



“ teeeet... teeeeet..teeeeeeeet....” suara nyaring keluar dari TOA yang dibawa oleh pemandu acara yang keduanya bernama Asep. 


“Adik-adik peserta Lasenas! waktu kalian hanya 10 menit lagi! Kita harus berangkat ke tujuan selanjutnya. Siap-siap, jangan terlalu lama!” peserta yang baru saja mendengarkan penjelasan dari nara sumber mengenai Gunongan dan Kandang Taman Ghairah, terpaksa turun dan berlarian untuk mengambil wudhu. Yang baru selesai shalat, hanya bisa meringis kalau akhirnya mereka tak akan dapat cerita berharga mengenai gunongan langsung di tempatnya. Ah, masih ada wikipedia kan?

***


Waktu terus bergulir. Cerita demi cerita sumbang terus terdengar. Sebagian kecil teratasi, sebagian lainnya malah semakin parah. Satu persatu peserta mengeluhkan keadaan. Para pembimbing mulai mencari tahu ada apa sebenarnya yang terjadi dibalik buruknya manajemen acara dan susunan rundown yang sedikit aneh serta sangat tak fleksibelnya panitia pusat. 

“Pak Yudi, Saya Mohon Maaf Ya, Saya Pikir Aceh Itu Serambi Mekkah, setiap perhelatan acara akan menyediakan waktu shalat. Tapi ini kok malah kebalikannya ya?! Inikan acara nasional dan di Aceh pula lagi. Mengapa pak Yudi tidak sampaikan kepada panitia daerah? Mana bisa begini. Buruk sekali manajemen acara di Aceh ini!”. Seorang pendamping siswa yang berasal dari tanah Sunda mencoba mengeluarkan kegalauannya selama 5 hari 4 malam belakang. 

Sakit, perih, nyeri sampai ke ulu hati. Orang lain yang makan nangka, Aceh yang kena getahnya. Akhirnya, hal yang saya khawatirkan terjadi. Aceh kembali menjadi si buruk rupa dari Indonesia. Negeri yang kaya dengan sejarahnya ini. 

Pendamping dari Kalimantan, tak mau ketinggalan. Dari Papua dan Bali senasib sepenanggungan. Mereka masih berusaha menenangkan murid didiknya yang menangis karena pada acara penutupan tak jadi tampil. Latihan panjang seolah tak ada kesan manis di sanubari. Semua hikayat sedih ini seperti paduan suara yang bercampur dengan stagnasi suara mesin kapal Ekspres Bahari yang melaju menuju kota Banda Aceh.

ketika Aldo menghiasi tangan temannya untuk bersiap-siap tampil, tapi semuanya hanya jadi cerita!
Ingin rasanya saya mengatakan kepada mereka, kalau ada rasa sedih yang berkalut-kalut di hati ini. Saat semalam tadi, saya mendengar dengan kuping sendiri kalau seorang panitia pusat dengan lantang sembari mengebrak-gebrak meja mengatakan “Wong Aceh iki Memang Gendeng! Nggak paham apa-apa! Dibilangin malah nggak ngerti!”.

Salah saja kami-orang Aceh-dimata penduduk negeri Indonesia ini. Jika ada yang tak beres dari negeri ini, pasti orang Aceh biang keroknya. Pasti Aceh yang menjadi pemberontaknya. Jika ada hukum rimba nan primitif maka Aceh adalah tempatnya. 

Jika orang dari luar Aceh kesulitan untuk melaksanakan ibadah Shalat, maka orang Aceh-lah biang keroknya. Jika acara tak lancar sesuai rencana, maka orang Aceh-lah penyebabnya! Semua ini, pasti salah orang Aceh. Karena orang Aceh bukanlah orang yang berteriak, “Saya Indonesia, Saya Pancasila!”

Orang Aceh, memang bukan orang yang pintar dalam bertutur kata, tapi kami tak pernah mengkhianati republik ini! Kami hanya paham memberikan dengan tulus tatkala diminta membelikan pesawat agar Indonesia berdiri dan Pancasila ditegakkan. 

Kami, orang Aceh, yang katanya tak cinta republik ini, hanya paham bila dengan mendirikan radio Rimba Raya, lalu memberikan biaya dan fasilitas agar Menteri Muda H Agus Salim melawat ke beberapa negara dunia hanya untuk mengabarkan bahwa Indonesia masih ada.

tadinya berpikir kalau gambar ini bisa bikin senang, ternyata malah bikin baper

Aceh, yang katanya negeri orang gila ini, pernah menjadi ibukota republik Indonesia selama 1 minggu dengan seluruh biaya perpindahan itu ditanggung oleh nenek-nenek dan kakek-kakek saya dulu. Orang Aceh mereka, orang Aceh yang kalian katakan mereka adalah orang-orang Gendeng!


Ada banyak rentetan rasa kecewa, sedih, dan malu. Kami orang Aceh harus menanggung diri menjadi si buruk rupa hanya karena sesuatu hal yang kami tak lakukan. Menuntut hak atas diri, tak digubris lalu dikatakan gila. Menuntut keadilan dan persamaan perlakuan, kami orang Aceh dikatakan tak paham aturan. 


Maybe we are stupid but we are not that stupid!



Bila engkau berbicara sejarah apalagi sampai membawa nama lembaga yang berbau sejarah, maka engkau pasti paham ada local wisdom yang harus di jaga. Ada norma-norma yang harus diikuti. Jadi, Bijaklah kawan!

Tulisan ini semoga menjadi catatan terbuka untuk seorang bapak yang berasal dari kementerian Pendidikan dan Budaya bagian Direktorat Jendral Sejarah; hati-hati berbicara Gendeng, dan dua orang pria bernama Asep dari Komunitas Historia Indonesia. Ingatlah satu hal; di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung? Semoga menjadi pelajaran kita bersama!


ini Indonesia,  lantas perjuangan seperti apa yang harus dilakukan agar dianggap waras?