“Aceh ini, begitu kaya akan motif-motif khas. Yang mungkin, jaman sekarang nggak semua orang bisa membuatnya lagi, Yud”

Ungkapnya di suatu sore yang cukup cerah. Diorama rumah yang sekaligus menjadi workshop kerjanya terkesan begitu klop dengan obrolan kami. Bang khairul, owner dari Ija Kroeng ini masih terlihat begitu semangat sebagaimana saya mengenalnya beberapa tahun silam.

Di sela-sela obrolan kami, bang Khairul memperlihatkan kepada saya sebuah buku yang cukup tebal. Buku Perhiasan Tradisional Aceh, begitulah judulnya. Dalam setiap halamanya, terdapat berbagai macam jenis perhiasan kuno yang pernah ada di Aceh. Menariknya, di buku ini juga memperlihatkan berbagai motif-motif yang cukup unik dan bisa dikatakan cukup “acehnesse”. Terbuktilah, apa yang dikatakan olehnya bukanlah khalayan semata. Melainkan ada bukti otentik yang hampir semua motif tersebut berasal dari jaman Kesultanan Aceh Darussalam.

Dan, buku yang sangat tebal ini pula yang menjadi salah satu sumber inspirasi bang Khairul dalam setiap desain motif yang ada pada kain sarung ciptaannya. 

Kain sarung? Iya, kain sarung atau Ija Kroeng dalam bahasa Aceh, sebenarnya merupakan fashion yang melekat sekaligus kebanggaan orang melayu, dan orang Aceh tentunya. Sejarah yang panjang akan kain sarung di Aceh dapat ditemukan dalam beberapa catatan dan foto-foto di museum Belanda.  


Orang-orang aceh telah mengenakan sarung semenjak abad ke 17 tepatnya pada era kesultanan Aceh Darussalam (atau mungkin sejak Samudra Pasai?). Kala itu, sarung bagi orang Aceh bukan hanya sebagai sebuah kain atau pakaian pelengkap, melainkan sebuah entitas budaya yang melekat sekaligus menjadi ciri khas orang Aceh dalam kesehariannya. 

Lain dahulu, lain sekarang. Sarung kini hanya menjadi sebuah pakaian yang dianggap cukup kelas bawah. Tak begitu ramai lagi pria muda Aceh yang mengenakan sarung sebagai entitas budaya keacehan mereka. Kecuali bagi anak-anak pesantren tradisional di Aceh. 

Kecenderungan ini semakin diperparah dengan buta khasanah budaya dikalangan kawula muda Aceh. sehingga hal ini mendorong bang Khairul untuk terus memberikan edukasi budaya melalui kain sarungnya. “Sekarang, kalau bukan kita yang mengenalkan ke anak-anak muda Aceh, siapa lagi Yud? Kapan mereka bisa bangga pakai sarung asli Aceh dengan corak-corak asli Aceh? dan yang terpenting, Tujuan saya adalah untuk mengedukasi anak muda Aceh, jika motif Aceh itu Keren!”

Dari Kerawang Gayo Ke Cap Sikureung


Ija Kroeng edisi Kerawang Gayo 
foto : Makmur Dimila www.safariku.com

Masih berbekas dengan sempurna pertemuan kami pada media tahun 2016 lalu. Kala itu, Ija Kroeng baru saja meluncurkan sarung bermotif Kerawang Gayo. Sebuah sarung dengan warna tunggal Hitam atau putih, hanya dilengkapi dengan les pita berwarna Emas, dan di sisi depannya terlukis Kerawang Gayo yang berwarna hijau, merah, kuning. Khas sekali. Begitu etnik. 

Dan kini, ia kembali meluncurkan produk Ija Kroeng yang berupa baju koko dengan motif Cap Sikureung. Saya sempat merasa takjub sekaligus mengernyitkan jidat. Serius ini Cap SIkureung? apa motif tersebut bisa klop dengan gaya anak muda masa kini? Dipakai untuk lebaran pula.

Jadi, Cap Sikureung, (Melayu: Cap Halilintar) adalah nama dari stempel sultan-sultan Aceh Darussalam yang mulai dipakai pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (1607-1636 M) dengan bentuk menyerupai stempel Kerajaan Monghul, India pada masa Jahangir Khan (1619 M). Disebut Cap Sikureueng karena stempel tersebut berbentuk 9 (sembilan) lingkaran di mana tertera nama-nama sultan Aceh Darussalam, baik yang sedang berkuasa maupun nama-nama sultan sebelumnya. (disadur dari tulisan pak Drs. H. Nurdin AR, M.Hum)

“Begini Yud, mungkin akan banyak orang yang tak setuju dengan ide ini. Tapi tujuan saya adalah membangkitkan lagi ghairah kecintaan akan tradisi, budaya, dan lambang-lambang sejarah Aceh di mata anak muda jaman sekarang. Dan bisa dipastikan tak semuanya mereka akan peduli tentang budaya negerinya. Jadi, inilah salah satu cara yang terpikirkan oleh saya untuk memberikan edukasi kepada mereka.” 

Apa yang dikatakannya tak salah. Saya harus menganggukkan kepala. Persis seperti mainan kucing yang ada di dashboard mobil. Tak banyak lagi anak aceh ataupun anak-anak di nusantara ini yang bangga akan kedaerahannya. Bagi kids jaman now blazer ala korea jauh lebih keren. Atau jaket ala Dilan jauh lebih memikat hati para gadis. Padahal dia lupa, kalau harga emas itu semakin berat. 



Hari semakin sore, magrib tak ayal lagi akan datang menyapa. Ada banyak hal yang lagi-lagi saya dapatkan dari obrolan kami. Setidaknya, saya bisa memahami, bahwa masih banyak pemuda Aceh dan di Nusantara ini yang ingin menjaga tradisi budaya serta khasanah sejarah daerahnya. Ada banyak cara kreatif yang ditampilkan oleh mereka. Dan, itu semua hanya demi lestarinya nilai kebanggaan akan negeri sendiri. 

Ah iya, kini, Ija Kroeng tidak hanya sarung, namun telah merambah ke baju, celana sarung, goodie bag dan syal. Jadi, jangan bingung kala disebutkan merek Ija Kroeng, namun yang dipakai bukan sarung melainkan syal. 

“Intinya Yud, ide kreatif itu jangan berhenti di meja diskusi. Akan tetapi dia harus dieksekusi. Mungkin ini terlihat ketinggalan jaman, tapi saya yakin, motif-motif aceh masa lalu akan kembali mendunia bersama dengan ija Kroeng didalamnya.” Ungkap bang Khairul kepada saya sesaat setelah kami membubarkan diri dari meja diskusi dengan diiringi oleh adzan magrib yang berkumandang. 



Ija Kroeng;
Alamat Workshop : Jl.Teuku Umar Lr.Mahya No.51 Setui 
(jln stlh RS Harapan Bunda) B.Aceh
No Tlp : +6285320910099
instagram : @ijakroeng