Sunset di Pantai Uluwatu, Bali

Perjalanan ke Bali, identik dengan keromantisan. Begitulah yang ingin saya lakukan, kepada istri tercinta. Pengejawantahan romantisme terbaik adalah, duduk berdua, mesra-mesraan, di tebing, berbatasan dengan laut lepas, menghadap ke barat bumi, lalu menanti. Cahaya semburat yang menjingga. Ah, betapa romantisnya, bukan? 

Tak salah memang, jika banyak yang menghabiskan bulan madunya di pulau Dewata ini. Mulai dari pasangan tua seperti saya dan istri, sampai pasangan muda yang datang langsung dari luar negeri. Beberapa pasangan yang masih penuh gairah cinta terlihat duduk berdekatan. Saling merangkul. Saling mengecup. Saling membelai rambut. Sembari menanti matahari yang turun perlahan. Saya dan istri? Hanya bisa bawa perasaan, alias baper. Pasalnya, sederhana, dua anak kami berlarian ke sana kemari. Berguling-guling tak tahu diri. Seolah tenaga tak ada habisnya.

Namun, cerita keromantisan berhenti hanya sampai di sini. Tak lebih, tak lebih kurang. Manusia hanya bisa membuat rencana, tapi Tuhan jua lah yang menentukan hasil. Saya sadar, jika momen ini, belum tentu terulang lagi. Terbang dari Aceh ke Bali saja, sudah menjadi sebuah perjuangan tersendiri. Apalah lagi, mengejar sunset di pantai Uluwatu yang terkenal se-Indonesia ini.

Dari pesisir Pantai Legian, saya memacu motor sewaan, membonceng dua balita sekaligus emaknya. Melaju dengan penuh ragu. Berkeliling mencari tujuan, meraba penuh hasrat. Rasanya rugi, telah terbang jauh-jauh ke bali, tapi hanya menghabiskan waktu di hotel. Ya sudah, kapan lagi?

Saya harus setuju, ketika dikatakan pantai ini, sedikit sulit untuk dituju. Namun, perjalanan ke Pantai Uluwatu dari kawasan Legian, membutuhkan tenaga yang ekstra memang, tapi, semuanya terbayar tuntas. Tatanan yang bersih, toilet yang wangi dan kering, dan, tentunya pemandangannya!

Deretan anak tangga yang menuntunmu untuk mengunjungi Pura tua Uluwatu, tersusun menanjak. Beberapa ekor macaca terlihat hilir mudik, sesekali menggoda Bilqis dan Ziyad. Suara pengumuman dari para pengurus mengenai harus menjaga barang berharga dan kacamata dari serangan para monyet, membuat saya lebih awas.

Ah, iya, sebelum mengunjungi Pura Uluwatu, terlebih dahulu, saya memutuskan mengajak keluarga kecil ini berkeliling area sisi kiri kawasan. Suasana yang terlihat seperti semak belukar, memicu hasrat diri yang begitu penasaran. Sebenarnya, ada apa sih yang di sajikan oleh kawasan wisata sudah dikenal seantero dunia ini. Dan, hasilnya? Cukup menarik, walaupun lelah dan penat. Sesekali, Bilqis minta di gendong. Sesekali, Ziyad berlindung dibalik tubuh saya. Maklum saja, dia sedikit trauma dengan monyet. Ia pernah dikejar kala bermain di Ubud Forest Monkey ( cerita di sini)

senjanya mulai gagal..
Kawasannya, luas sekali. Hari mulai menjelang senja. Beberapa pasang mata mulai menaruh harap. Berdiri berjejer di pagar pembatas, menunggu matahari turun ke peraduan. Senja, tak lama lagi datang. Saya mencoba merangkul sang istri yang tengah hamil muda. Membiarkan anak-anak bermain sesukanya. Beberapa pengunjung luar negeri menggoda Bilqis yang berambut kriwil. Ah, biarkan saja, toh, saya ingin menikmati senja di Bali! Mungkin, ini sekali seumur hidup.

Perlahan mentari sore kejar-kejaran dengan awan mendung. Bergelayut manja di ufuk barat. Sunset nan syahdu pun gagal! Tinggallah saya dan istri menepuk lelah. Duduk sembari melihat para pengunjung mulai memadati panggung tari Kecak.

Romantisme, untaian puisi, dekapan hangat, yang telah saya rencanakan, gagal sudah! Hanya tertinggal sunset yang bersembunyi di balik awan. Ya sudahlah...basi!


Dari Aceh, ke Bali. Caranya?

Eh, masih penasaran ya? Bagaimana saya bisa ke bali dari Aceh. Jauh kan ya? Naik pesawat apa? Garuda kah? Tidak! Saya tidak naik garuda. Tertawalah sesukamu, kawan. Karena saya, begitu merindukan naik garuda. Maskapai asli ciptaan nenek kakek saya, orang Aceh. Tapi, harga tiket yang luar biasa mahal, memaksa saya untuk berdamai dengan keadaan. Yang penting, ke Bali.

Pilihan maskapai jatuh pada Air Asia dan Lion Air! Iya, saya menggunakan Air Asia kala pergi ke Bali. Dan menggunakan maskapai sejuta umat Indonesia, sang singa. Dan, disinilah musibah mulai terjadi. Tiket pulang, ternyata lebih susah dicari dibandingkan dengan tiket pergi. Memboyong dua bocah yang tak lagi masuk dalam kategori infant adalah sebuah seni sendiri dalam menentukan kocek.


Waktu itu, saya menggunakan aplikasi pegipegi.com untuk mencari tiket pesawat terbang kembali ke tanah rencong di ujung sumatra. Tiket pergi? Saya memutuskan untuk pergi via Kuala Lumpur, selain lebih murah, dan tentunya cepat sih. Ya, konsekuensinya harus pakai pasport. Ke Bali, pakai pasport! haha

Sebenarnya, pilihannya sederhana, banyak diskon dan cenderung lebih murah sih. Dan, tentunya juga mudah. Pegipegi berkomitmen menjadi fun traveling partner kamu dengan memberikan berbagai inspirasi seru dan informasi seputar traveling yang bisa kamu temukan di media sosial, website, serta aplikasi mobilenya.

Saat ini Pegipegi terhubung langsung dengan lebih dari 7000 pilihan hotel, memiliki lebih dari 20.000 rute penerbangan, serta lebih dari 1.60. rute kereta api dan Kereta Api Bandara (Railink) yang dapat kamu pesan melalui website dan aplikasi mobile Pegipegi.


Proses pemesanan juga mudah dengan berbagi promo menarik dan berbagai pilihan metode pembayaran, mulai dari transfer bank, kartu kredit, hingga cicilan 0%. Ini kan yang penting? Mengingat mengejar tiket murah itu tidak mudah. Saya bukanlah blogger keren, hanya blogger kere yang ingin menyenangkan hati keluarga dan bermesraan dengan istri. Begitulah, terkadang, bahagia itu sederhana kan? Murah, meriah, dan mesra!