Ini sudah menjadi mimpi buruk. Atau mungkin bunga tidur yang cukup ampuh. Ampuh dalam membangunkan diri yang sukar bangun tatkala adzan shubuh berkumandang. Ada yang ingin mencobanya? Insya Allah dijamin tak akan terlambat lagi shubuhnya


Ibuku, seperti ibu pada kebanyakan di Aceh. Terkadang keras, terkadang lembutnya subhanallah. Ah, mana ada ibu yang tidak sayang kepada anaknya. Tapi, terkadang, ibu tak selalu bisa mengerti keinginan sang anak. Atau, bisa jadi sang anaklah yang tidak mengerti keinginan sang ibu. Ungkapan menjadi anak yang baik, sering sekali di artikan berbeda dalam dua sudut pandang. Atau, malah tak pernah ada pengertian sama sekali. Aku masih ingat, saat ibu memasukkanku ke sebuah SMPN dekat rumah. Tak ada pesantren, tidak ada madrasah Tsanawiyah. Semuanya cukup di Taman Pendidikan Al`quran saja. tidak boleh lebih. Secukupnya saja. Sekarang saatnya mengejar prestasi dunia. Menjadi anak yang baik.



“sudah siap belum? Bentar lagi jam 7.30 Bang!” ibuku berteriak dari dapur. Sibuk, hari itu benar-benar sibuk. Hari itu adalah hari pertama aku masuk SMPN. Jadi, tidak boleh terlambat. Perlihatkan kesan yang baik. Begitu kata ayahku. Karena seterusnya akan mudah di nilai oleh orang lain. Kalau di pikir-pikir kenapa pesan ayahku itu mirip iklan produk minyak wangi yang cewek-ceweknya merelakan diri kepada si pemakai minyak wangi tersebut ya? Jangan-jangan, ini adalah rumusnya ketika dia masih remaja dulu?hmm...



Ayah, yang sibuk dengan mencukur jenggotnya hanya tersenyum melihatku yang tak juga berubah. Berubah dalam jadwal bangun tidur. Sehabis shubuh ya tidur lagi. Kan, pepatah bilang, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ya begitulah, ayah tidak banyak ambil pusing bila melihat tingkah lakuku.


“bang, jangan macam-macam di sekolah ya?!” kali ini ibu kembali mewanti-wantiku, sesaat sebelum aku mencium punggung tangannya. Aku hanya tersenyum. Mungkin karena track record masa sekolah dasarku yang cukup melelahkan ibuku. Sepatu yang pecah, celana yang robek atau, bisa-bisa pulang dalam keadaan basah kuyup. Atau, dasi yang hanyut dibawa air selokan, atau buku-buku yang menjadi rancang bangun pesawat pak Habibie. Adakah yang lebih indah menjadi murid bandel semasa sekolah dasar? Aku rasa tidak!



“iya bang, jangan macam-macam. Tapi satu macam aja ya?” Ayah nyeletuk dari balik pintu. Aku terkikik. Wajah ibu merah padam. Sembari mencubit genit pinggang ayahku. Lalu ia mengangkat telunjuknya kearahku. Awas ya!



Begitulah, aku dan ayah yang selalu menjadi bahan kekesalan ibuku. Kekesalan karena rasa cintanya. Adakah tandingan cinta yang lebih indah dari cinta seorang ibu kepada anaknya? Rasa kasih dan sayang yang tiada tara. Berbalut rasa sendu dan tangis yang mengharu biru. Bukankah itu indah. Menurutku, kecemburuan ibu alasannya tepat. Mengingat ayahku memang sedikit bermasalah. Bermasalah dalam beberapa hal. Ini mengingatkanku akan sebuah ulasan sederhana dari buku LUPUS. Novel kesukaanku ketika itu. Seorang pemuda SMP yang sedang menikmati masa puberitasnya. Dan, inilah yang terjadi di hari pertama aku masuk SMPN.


Hari yang mungkin akan sangat bersejarah bagi sebagian anak laki lajang yang baru menginjak remaja. Bertemu dengan dunia baru. Dengan pola pikir baru. Tata cara bergaul yang berbeda. Dan yang terpenting adalah bertemu dengan teman wanita baru. Uhuy! Ini adalah the best part bagi mereka yang menginjakkan kaki di SMPN. Sebenarnya, aku tak begitu menyesali keadaan karena tidak jadi masuk pesantren. Mungkin, inilah kenapa ibu mengirimku ke SMPN dekat rumah. Walaupun sebenarnya aku tidak yakin akan persepsi yang aku ciptakan sendiri.



“Bu, kenapa abang nggak boleh sekolah di SMPN 1 aja sih?” tanyaku suatu ketika kepada ibu.



“he? Mau masuk SMP 1? Perutmu dah bener belum? Masih suka bocor nggak dicelana? Kalau nggak bocor lagi, abang boleh sekolah dimanapun yang abang mau.” Glek! Itu kan perihal TK dan SD ku, aku sudah tidak buang air lagi di celana. Walaupun kadang-kadang ada sih. Ya, maklum saja, mau buang air yang menjadi prioritas utama di pagi hari, sekolah jarang tersedia air. Akhirnya? Ya tebak saja sendiri apa yang terjadi bila keadaan sudah mulai memasuki masa-masa darurat! Ups



“kamu itu, kalau sekolah jauh-jauh ntar gimana kalau sakit perut lagi? Apa mau buang air di celana lagi? Makanya Ibu sekolahin kamu dekat rumah aja. Jadi kalau sakit perut dan di sekolah nggak air lagi. Apa mau buang di celana lagi? Sudah berapa lusin celana yang kamu terbangkan ke sungai belakang rumah ha? Ibu ternyata serius dengan niatnya. Sekolah dekat rumah sampai aku SMU kelak. Ya, ibu menang satu kosong.



Hari pertama berlalu dengan mudah. Semudah menjentikan jari. Tas selempang, sepatu kets hitam, tak ada lagi dasi. Hanya memakai celana pendek biru dan baju putih. Rambut sisir samping ala Stephen Chow. Pandang kiri pandang kanan. Pemandangan baru. Benar-benar baru. Dari bangunan gedung sampai dewan gurunya. Dari siswa yang tinggal kelas bertahun-tahun sampai pemandangan seger siswi barunya.



Satu persatu nama dipanggil melalui pengeras suara. Sebagai tanda penunjukkan kelas baruku. Keadaan hening. Setiap siswa baru mendengarkan dengan seksama. Ada juga yang tertunduk lesu ketika mendapatkan kelas yang dipenuhi orang-orang yang bermuka sangar. Wanitanya pun sangar-sangar. Seperti atlet angkat besi!



Ada yang tersenyum bangga. Maklum, mendapatkan kelas istimewa. Bisa istimewa karena isinya adalah orang-orang pinter. Dan, kalau beruntung ditambah satu plus lagi, yaitu siswinya cantik-cantik. Aku, termasuk kelas yang dengan plus kedua. Unggulan dan dipenuhi siswi-siswi cantik. Alhamdulillah ya Allah atas nikmatMU ini. Lho?! Tapi apa salahnya? Bukankah itu juga bagian dari sesuatu yang patut disyukuri. Modal tampang ngepas, kantong cekak, pulang naik sepeda butut. Tapi bisa duduk satu kelas dengan calon selebriti SMP. Ah, pagi itu benar-benar menyeruakkan keindahan dalam kehangatan sinarnya.



“Bang gimana sekolahnya? Udah belajar apa saja tadi di kelas? Satu berapa? Kelas inti atau bukan?” ibuku mencecarku dengan begitu banyak pertanyaan. Seperti ada yang ingin ditangkap olehnya. Persis seperti polisi reserse menangkap seorang pencuri barang-barang berharga di jemuran baju belakang rumah tetangga. Belum selesai aku membuka sepatu dan kaus kaki. Belum juga kering keringatku. Siang semakin gerah. Aku baru saja pulang sekolah dan disambut dengan cecaran pertanyaan ibunda tersayang. Kala itu, aku bertanya dalam hati, beginikah seorang ibu? Anaknya yang sekolah malah dia yang khawatir?



“sekolahnya baik-baik saja kok bu. Bangunannya masih bagus. Masih tetap disitu kan” Nyengir.

“masya Allah ini anak ya?! Ditanyain baik-baik malah ngawur” ibu mengelus dada. Aku hanya nyengir lagi.


“iya iya iya..maaf. baik-baik aja kok bu. Cuma masih dalam masa perkenalan dengan seluruh teman-teman sekelas. Abang satu inti Alhamdulillah.”

“terus…” ibuku masih tak puas dengan jawaban singkatkku.


“terus, ceweknya cantik-cantik bu he he he” aku terkekeh seperti keledai jantan melihat keledai betina. Dengan gigi penuh kotoran dan sedikit ingus di lubang hidung. Klop!



“He?? Awas ya! Awas aja kalau berani macam-macam. Awas aja kalau kamu lulus SMP nya sama seperti ayahmu ya! Nggak ada pacar-pacaran! Nggak ada sibuk sama inong (perempuan)! Sekolah yang benar, atau ibu patahkan kakimu!” ibuku muntaz. Marahnya meluap. Mukanya seperti sambal balado yang dihiasi cabai giling dan tomat Aceh merah. Sempurna merah. Tinggal meledak saja. Dari kejauhan ayah hanya tertawa cekikikan. Sesekali nyeletuk dalam setiap petuah panjang ibuku. Cok nyan pajoh Bang! (ambil tuh, makan tuh Bang!). setiap kali ibu melirik ke ayah, setiap kali itu pula ayah diam dan menahan tawa. Ah, hari pertamaku kenapa jadi berantakan seperti ini. Wajah-wajah siswi cantik di ruangan kelas tiba-tiba redup. Alamat saban hari ditanyain ibu mengenai sekolahku. Fyuuh, nasib setipe dengan ayahku.




####




“Pelajaran moral no tujuh : Ternyata rahasia menarik perhatian seorang gadis adalah kita harus menjadi pelari yang gesit”. What?! Benarkah? Penggalan kalimat yang terdapat dalam bukunya Andrea Hirata. Aku tersontak kaget sekaligus tertawa lepas. Ah, benar juga. Dulu aku suka memacu sepeda motor bututku dengan cukup kencang. Terkadang, aku juga belajar dari Eki, seorang sahabat yang kini telah hilang ditelan lautan Banda. Bahwa, ada banyak cara mencari perhatian dari lawan jenis.



Aku sempat tersenyum nyengir layaknya seorang playboy konyol yang tak mendapat mangsa, atau lebih tepatnya salah sasaran. Ya! Salah sasaran. “ jika ingin menjadi keren maka sering-seringlah nebeng ama orang yang paling keren si SMU lu.” Aku masih ingat kalimat konyol ini. Sebuah petikan di novel LUPUS karangan BOIM L. Dan, salah satu hal itulah yang menyebabkan aku dekat dengan Eki. Dia adalah salah seorang siswa yang keren di SMU dulunya. Aku adalah teman sebangkunya. Kapan lagi? Setali tiga uang pikirku. Kenapa harus di sia-siakan?



Tapi, semua itu lagi harus disuramkan oleh wajah sambal balado ibuku. Yang sembari mengancung-ngancungkan centong nasi ke arah wajahku. Syukur-syukur tidak ada nasi panas yang terlepas dari centong tersebut. Bila ada bagaimana? Semuanya lagi-lagi menjadi gelap. Ketika kalimat itu kembali mencuat tajam dari sisi alam sadar. Sekolah, atau ibu patahkan kakimu!



Sekolah, dan terus sekolah. Sampai akhirnya aku kembali bertanya dalam hati. Kenapa aku harus terus menerus sekolah. Tak adakah jeda untuk berhenti sejenak. Menikmati keadaan sekitar. Melihat-lihat wajah sekitar. Siapa tahu kan? Tapi lagi-lagi centong nasi itu mengacungkan kearah wajahku. Sekolah, atau ibu patahkan kakimu! Hayyah… ini sudah menjadi mimpi buruk. Atau mungkin bunga tidur yang cukup ampuh. Ampuh dalam membangunkan diri yang sukar bangun tatkala adzan shubuh berkumandang. Ada yang ingin mencobanya? Insya Allah dijamin tak akan terlambat lagi shubuhnya. Di kejar centong nasi dan wajah semerah sambal balado. Benar-benar mimpi indah!











Nb : oktober, 16, 2009

YR


# I`M miss u bunda#