Penumpang Kapal yang berlabuh ke Pulau Nasi dari Pelabuhan Lamteng
Angin timur bertiup kasar. Lautan yang tadinya biru, seketika berubah menjadi putih. “bakat ka raya! Yang ragu-ragu pulang!” sang pawang boat “Tuah Raseuki” berteriak ketika para penumpang masih sibuk mencari posisi duduk. Kapal penumpang dari kayu itu mulai oleng ke kiri dan ke kanan. Anehnya, tak seorangpun yang berwajah pucat. Tuah raseuki tetap berlayar. Pantang menyerah bila layar terkembang. Luar biasa perjuangan masyarakat pulo Aceh ini. Ombak meninggi pun bukan menjadi halangan mereka pulang.

Penumpang berdesakan dari pelabuhan Ulee Lheue hendak Ke Pulau Nasi. 
Ziyad duduk di tepi dermaga, bersanding dua dengan Bilqis adiknya. Mereka dengan sabar menanti giliran. Muka Ziyad masih awas melihat gerak gerik penumpang yang hilir mudik dihadapannya. “Yah, jadi kita ke pulo Aceh” Ia mulai tak sabar. Kala melihat semakin ramai penumpang menyesaki kapal kayu yang mulai terlihat oleng.  

Ziyad Dan Biliqis setia menunggu giliran, walaupun akhirnya batal 
“Kita berangkat besok pagi saja ya Bang” Saya terpaksa menunda keberangkatan hari itu dan mengantinya di hari selanjutnya. Di mana laut lebih tenang karena berangkat lebih pagi. Saya menempati janji. Dan akhirnya, kami mendapatkan tempat duduk dan kondisi kapal jauh lebih lega dibandingkan kapal sebelumnya.

Kapal KM Satria Baroe menjadi primadona bagi Ziyad dan Bilqis. Mereka bisa dengan leluasa menikmati perjalanan hari itu. Perjalanan laut selama satu jam setengah hanya membuatnya semakin bersemangat. Ia dan sang adik, untuk pertama kalinya mengunjungi pulau “terbuang” di sisi terbarat Indonesia. Kepulauan Pulo Aceh. Pulau breuh sebagai pulau berpenduduk terbarat Indonesia. Dan pulau nasi, sebagai sahabat penduduk pulau breuh tersebut.

Angin timur, air pasang, cuaca yang mulai memendungkan diri, menjadi kata-kata sambutan dari Pulau Nasi hari ini. Saya, Ziyad, Bilqis dan Istri, akhirnya berhasil menginjakkan kaki ke pulau Nasi. Tak ada yang istimewa dari pulau ini. Perjalanan mengarungi samudera hindia dengan boat kayu, tak ada rumah makan, tak ada penginapan, tak ada angkutan umum. Hanya beberapa warung kopi yang terdapat setiap 5 km di sepanjang sisi pantai.

Sesekali, burung perkutut yang terbang bebas bernyanyi di sepanjang sisi kanan jalan yang masih berhutan lebat. Merdu sekali. Hujan yang mulai turun gerimis, menimbulkan sensasi baru dengan sesuara dengung kodok yang bernyanyi merayu kekasih hatinya. Dan, dentuman ombak laut yang berdetum keras menjadi pelengkap alunan irama alam persembahan dari Pulau Nasi.
***** 
Tidak ada sunset sore itu. Hanya mendung yang terus menebal dan menghitam. Sisi barat dan sisi timur pulau kecil ini bernasib tak beda. Gelap. Beberapa pemuda kampong Deudap hanya menghabiskan waktu duduk bersama di warung kopi di persimpangan jalan menuju pelabuhan Desa Deudap.  Senyum simpul dan tipis terlempar ke arah Saya dan keluarga. Terkesan ramah dan santun yang luar biasa kepada para pendatang.
Taraa.. Pelabuhan Desa Deudap, Pulau Nasi
Walaupun langit mendung dan gerimis turun sesekali, rasanya sayang bila sudah jauh-jauh ke pulau untuk mencari ketenangan, hanya dihabiskan di rumah sewa saja. Iya, saya akhirnya menyewa salah satu rumah warga yang secara kebetulan, pemiliknya masih berasal dari kampong yang sama dengan saya. Di ambang sore, saya akhirnya memutuskan untuk tetap berkeliling pulau Nasi. Mengajak serta anak dan istri. Pakaian hujan, helm, topi, jaket, beres! Motor tua, saya pacu sejadi-jadinya. Jalanan naik turun, berkelok dan menukik sejadinya. Licin tak terperi, berbatu dan sedikit berpasir. Ditambah lagi hujan yang terus mengguyur perlahan, menjadikan jalanan beraspal ini layaknya papan seluncuran. Sedikit saja lalai, Bam!

Akhirnya, setelah berkeliling pulau, Saya memutuskan untuk duduk menikmati hempasan angin timur di tepi pelabuhan desa Deudap.

Sisi kanan Pelabuhan Desa Deudap Pulau Nasi
Pelabuhan penyeberangan ke Banda Aceh di Pulau Nasi ada dua pelabuhan, Pelabuhan Lamteng dan Pelabuhan Deudap. Setiap pelabuhan memberikan kesan menggoda tersendiri. Lamteng misalnya, pelabuhan ini tersembunyi di dalam teluk Lamteng. Di sisi kiri pelabuhan ditumbuhin batang bakau dengan pohon besar-besar dan akar yang mencuat dari dasar tanah. Persis seperti belati yang di tanam menghadap ke atas. Di sisi kanan, ada dua dermaga kecil yang digunakan oleh masyarakat untuk melansir penumpang dari boat kayu ataupun hasil tangkapan ikan.

Ikan-ikan bermain di sisi pelabuhan Lamteng
Sedangkan pelabuhan Deudap, pelabuhan ini juga terletak tersembunyi. Bedanya, ia tersembunyi di balik himpitan pulau. Secara geografis, desa deudap atau pelabuhan deudap berhadapan langsung dengan pulau Bunta dan Pulau Batee. Dua pulau ini, terkenal sebagai penghasil arus laut yang cukup mengerikan. Pelabuhan deudap sendiri, hanya digunakan untuk bongkar muat barang dan penumpang. Sesekali, hanya beberapa nelayan yang melansir hasil tangkapan ikannya di sini. Bentuknya memanjang, dari ujung timur sampai ke ujung barat. Tidak berteluk, sehingga membutuhkan kemampuan khusus untuk melabuhkan kapal dengan arus laut yang luar biasa.

pagi di Pelabuhan Desa Deudap Pulau Nasi

Teman terbaik sepanjang perjalanan hidup 5 tahun ini. ehem ehem :D
Pasir putih, dengan laut yang sedikit buram karena angin timur, membuyarkan minat anak-anak untuk bermain air sore itu. Mereka hanya asyik mengikuti ibundanya yang senang memilih keong. Saya sendiri, lebih tertarik mencermati sampah laut. Sesekali, ada botol minuman dari Thailand, Malaysia, dan tak jarang dalam negeri. Sampah bongkol kayu terdapat disetiap sisi pantai. Terkesan sedikit kotor. Masyarakat pulau nasi, sebenarnya sudah mengeluarkan larangan untuk tidak mengotori laut, hanya saja, mereka yang tidak doyan mengunjungi laut layiknya masyarakat kota, membuat laut mereka yang indah menjadi terbengkalai begitu saja.

Saya mencoba membayangkan, bila mentari pagi cerah merona, angin barat bertiup tenang, gradasi warna hijau toska diselingi biru muda dan sedikit hitam ketika terlihat karang di kejauhan. Ah, betapa indahnya pantai deudap ini. Di hadapan pantai ada gugusan pulau yang menghijau, beberapa nyiur terlihat melambai perlahan. Hasrat hati yang menggebu ingin sekali rasanya menjelajahi pulau tak bertuan itu. Tapi, angin timur menghalangi semua langkah hati.

touch down! they did't
Sedikit kecewa memang, ketika berlibur di pinggir pantai tapi cuaca tak bersahabat seperti ini. Di sisi lain, “Alhamdulillah hujan juga akhirnya, sayang sekali padi kami di sawah sudah hampir sebulan tidak hujan” kata Kak Ti si ibu empunya rumah sewa yang saya tinggali. Begitulah, selalu saja hujan itu membawa cerita yang berbeda. Bak pisau yang bermata dua. Menikam ke atas sekaligus ke bawah. Musibah bagi saya, tapi bagi masyarakat pulau Nasi, hujan menjadi sebuah satu bab cerita kesenangan mereka atas berkah dari langit.

coba cerah.. hiks..

Akhirnya, tekat hati berjanji untuk kembali semakin menguat, walau harus menantang angin timur atau menunggu angin barat kembali, Pulau Nasi, wait for me again!