“Kalau kami umat Hindu di Aceh melakukan acara Deepawali,
bukan nyepi seperti di Bali” bang Rada menjelaskan
dengan penuh semangat. Tubuhnya yang sedikit gempal, hitam, dengan rambutnya
ikal yang lebat seolah menjadi pemandangan yang unik. Di dalam sebuah kuil
kecil dibilangan kota Banda Aceh, sosoknya menjadi kontras di tengah
warna-warni patung dan ornament dalam kuil.
Sesekali ia
berdiri, berkacak pinggang lalu kembali melontarkan cerita-ceritanya dengan
penuh semangat. Giginya yang putih terlihat begitu mencolok. Perutnya yang
sedikit bulat menyembul keluar setiap kali ia menarik nafas atau nada suaranya
meninggi. Bila sedikit diperhatikan, logat bicaranya bercampur antara logat
Aceh, Medan, dan india. Ia berbicara cepat. Sesekali menggelengkan kepalanya.
Sore itu, saya
berhasil menjejakkan kaki ke sebuah kuil Hindu satu-satunya (sepertinya) di
Banda Aceh. Dahulu, sebelum tsunami, ada dua kuil Hindu di Banda Aceh.
keduanya, terletak berdekatan. Masih pada satu desa yang sama. Desa keudah
namanya. Untuk menjejakkan kaki ke desa keudah tak sulit, dari masjid Raya
Baiturrahman, cukup arahkan kaki anda ke arah barat masjid. Hanya berselang
menit, kuil ini pun akan dapat anda jumpai.
Dewa Murugan |
Kuil ini
terhimpit antara bangunan besar bertingkat dengan banyak jendela di sisi
kanannya. Belakangan, saya baru tahu, kalau itu adalah sebuah penginapan. Sisi
kiri, sebuah bengkel yang sedikit kumuh berdiri lengkap dengan deruan sesuara
motor yang diperbaikinya. Tumpahan oli, dan spare bekas terlihat sedikit
berserakan di lantai bengkel motor itu.
Atap yang
berundak-undak dan mengecil dibagian atasnya, terlihat begitu mencolok ketika
setiap tingkatan atap mempunyai warna yang berbeda-beda. Sepasang burung merak
saling berhadapan menjadi ornament pada tingkatan atap pertama. Lalu, pada
tingkatan selanjutnya, sepasang kipas berjejer sampai ke puncak atap. Pintu
kuil yang berwarna hijau terang terlihat tertutup rapat. Tak ada aktifitas yang
mencolok di sore itu. Sampai akhirnya, pintu itu, di buka oleh bang Rada.
Nama lengkapnya
Rada Krisna. Walaupun namanya begitu “Hindu”, tapi ia lahir dan besar di Banda
Aceh. Kota yang mayoritas penduduknya
adalah muslim. Ia telah menjadi Pandita semenjak awal kuil ini didirikan
kembali pada tahun 2012 lalu. Kuil ini bernama Kuil Palani Andawer 1934, sebenarnya telah ada sejak tahun 1934.
Jauh sebelum Indonesia merdeka. Kala itu, Aceh masih bergejolak melawan kaphe Belanda. Menurut cerita bang Rada,
Dahulu, neneknya datang ke Aceh dalam
rangka berdagang pada tahun 1934. Tapi entah berdagang seperti apa, Ia tak
menjelaskan lebih detail.
Kuil Palani
termasuk salah satu bangunan yang tak luput dari terjangan tsunami. Letaknya
yang tak jauh dari muara, membuat bangunan ini hancur tak bersisa. Begitupun
keluarga besar Bang Rada. Semuanya habis di terjang gelombang maha dahsyat
tersebut. Hanya tinggal ia dan abang kandungnya yang kini telah menetap di Kota
Medan, Sumatera Utara.
Sebelum Tsunami,
umat Hindu di Aceh berkisar sampai seribuan orang. Semuanya tersebar di seluruh
Banda Aceh. dengan desa Keudah sebagai pusat kegiatan mereka. Kini jumlah
mereka hanya sekitar Seratus lima puluhan lagi.
“paling-paling dalam sehari yang datang sembahyang
hanya sekitar 15 orang, Yud” tutur bang Rada ketika
saya tanyakan, berapa banyak umat Hindu di Aceh yang sering melakukan
sembahyang dalam seharinya.
Bang Rada sedang menyiapkan puja |
Jadwal umat Hindu
sembahyang di Banda Aceh dimulai dari pukul 6 pagi sampai pukul 10 pagi. Lalu,
kuil tutup. Di sambung lagi pukul 6 sore sampai pukul 8 malam. Dan, tutup lagi.
Sore itu saya
tak beruntung, niat awalnya, saya ingin menyaksikan secara langsung prosesi
sembahyang umat Hindu di Banda Aceh. Selama ini, saya hanya melihatnya di
televisi. Hanya bang Rada yang membunyikan lonceng dan membaca doa-doa dalam
bahasa yang tak saya mengerti. Menurut
bang rada, sesekali umat hindu di Banda Aceh akan sembahyang ketika malam
menjelang. Sehabis mereka selesai beraktifitas. Kalau beruntung, maka di jam 6
sore akan ada umat yang datang untuk sembahyang.
Patung dewa Murugan dan miniatur Bendera |
Wangi-wangian
dari dupa menyeruak ke seluruh ruangan. Sesuara biduan Hindustan terdengar
menyanyi dengan merdu dari tape recorder
yang terletak sudut ruangan Seketika itu, saya merasa tak lagi di Banda Aceh.
Seakan terlempar jauh ke negeri Hindustan yang di tengahnya mengalir sungai
Gangga. Ornament-ornamen patung Dewa Murugan yang terpahat di dinding bagian
dalam kuil seolah hidup. Dari dinding-dinding itu, digambarkan kisah awal mula
Dewa Murugan, dewa sesembahan umat Hindu di Banda Aceh itu, dari kecil, sampai
dewasa.
Dalam pemahaman Hindu,
Murugan adalah dewa yang berparas muda dan mengenderai burung merak, serta
bersenjatakan tombak. Dewa ini, sangat terkenal dikalangan orang-orang Tamil.
Jadi, tak heran bila umat Hindu di Banda Aceh, yang sebagian besar adalah
keturunan India Tamil, menyembah dewa yang bernama lain Kartikeya ini.
Di sisi kiri
atas dinding dalam kuil, terpampang sebuah ukiran patung dewa Shiwa lengkap
dengan keluarganya. Ada seekor sapi, tikus, dan burung merak. Dewa Shiwa,
diyakini sebagai ayah dari dewa Murugan. Ibunya yang bernawa Parwati, dan
kakaknya yang bernama dewa Ganesha.(koreksi kalau saya salah)
Menurut tutur
bang rada, Dewa Murugan adalah Dewa Pembersih. “kami tidak boleh merokok dan makan daging di dalam kuil ini bang Yud”
Bang rada sudah hampir 5 tahun menjadi seorang vegetarian. Karena salah satu
syarat menjadi seorang Pandita di kuil Dewa Murugan adalah tidak memakan
makanan yang berdarah.
Sore semakin
larut, arca dewa Shiwa, Dewa Murugan, burung Merak, dan tiang bendera seakan menyala
terang. Warna-warna patung dalam kuil semakin menyala. Aroma dupa semakin kuat.
Matahari mulai masuk ke peristirahatannya. Sesuara orang mengaji yang
dinyalakan dari tape recorder masjid yang terletak selemparan batu dari Kuil Palani
mulai terdengar jelas. Merembet masuk dari selah-selah lambang swastika yang
menutupi pagar Kuil.
Arca Merak kenderaan Dewa Murugan
|
Saya, istri, dan
Bilqis, harus segera pamit pulang. Menyalami tangan bang Rada yang Hitam dan
besar, tak terasa seperti menyalami tangan seorang musuh atau sesuatu yang
ditakuti. Senyumnya yang ramah, perawakannya yang semangat, Pandita yang hanya
tamatan SMA ini memiliki cerita yang luar biasa.
Darinya, saya
memahami satu hal, kalau berbeda itu tidaklah selamanya menyakitkan. Justru
dengan saling mengenal satu dan lainnya, kita akan bisa saling menghargai.
Walaupun saya masih bisa melihat tatapan nanarnya terhadap bangunan di sisi
kanan yang tinggi menjulang melewati atap kuilnya. Bagaimana mungkin? Sebuah
penginapan umum bisa diberikan ijin untuk diberdirikan tepat bersisian dengan
rumah ibadah?
“Coba bang, bayangkan, di samping masjid ada tempat
penginapan umum seperti ini? Kita tidak tahu tamunya ngapain di dalamnya kan?
Lalu, apa bedanya masjid dengan kuil tempat saya beribadah ini?” sebuah tanya yang terlontar sedari awal ia menceritakan tentang
kehidupan umat hindu di Banda Aceh yang sampai detik ini, saya tak tahu harus
menjawab apa. Haruskah keberagaman yang terpupuk puluhan tahun ini hilang
begitu saja hanya karena sebuah penginapan yang bertingkat-tingkat, yang
terletak persisi bersisian dengan rumah ibadah?
Saya hanya diam
dan melempar senyum kepada Bang Rada, sembari berjanji, akan menemuinya lagi di
hari yang lain lagi. Untuk berbagi kisah, untuk berbagi cerita.
Kiri, Bengkel, kanan, Penginapan |
Sepintas, tak ada yang menarik bukan? |
Thx to : Bang Arie Yamani yang sudah mengenalkan saya kepada ban Rada Krisna
Comments
Mantap sekali cerita bang yudi ini, hana lawan emang dalam berhikayat banda.
ReplyDeletesaya sering lewat keudah, tapi hampir gak perhatian sama kuil ini.. mantap..
Alhamdulillah.. Makasih bang Tunis. Mohon koreksi kalau saya salah2 dalam menulis.. Bek segan2 beh
DeleteBaru tau lho kalau ada kuil hindu di Banda Aceh. Pas ke sini lihatnya cuma gereja aja di samping sungai Krueng, tak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman. Senang kalo melihat Aceh ternyata lebih 'berwarna' daripada yang sering diberitakan media.
ReplyDeleteIya bang.. Sebenarnya di banda aceh rumah ibadah cukukp lengkap. Hindu. Budha. Khonghucu, dan gereja ada. Sayangnya tak semua orang berani masuk dan meliput hehe
DeleteAceh itu berwarna ya bg yud, saya cuma pernah lwat aja, akhirnya bisa.bava ctitanya di postingan ini
ReplyDeleteIya Kak Tia. Hal2 kecil itu selalu terkesan viasa saja. Padahal selalu ada hal menarik ketika kita ingin mengenalnya lebih jauh lagi
Deleteseperti biasa, tulisan om yud keren banget. Inilah Aceh. Yang udh sejak lama banget tuh damai aja antara mereka yg beda agama. Ga sempurna memang, ada satu dua konflik yg terjadi, tapi itupun biasanya dipicu orang luar.
ReplyDeleteAlhamdulillah makasih ya Arin.. Ya begitulah, media sering melewatkan hal2 yang sederhana
DeleteMampir juga di blog Arin ya:
ReplyDeletehttp://www.arinadhamayanti.blogspot.co.id/2016/01/imah.html
Iya iya hehehe
DeleteSebelumnya saya penasaran dengan kuil ini. Beberapa kali lewat hanya bisa membayangkan bagaimana suasana didalamnya. Alhamdulillah bisa lihat dari postingan ini. Memang agak aneh dengan bangunan di sebelahnya. Kuil umat Hindu ini jadi terkesan terjepit dan tidak seperti rumah ibadah lain yang biasanya punya halaman lebih luas.
ReplyDeleteIya Kak Lia.. Terkadang miris juga rasanya. Mungkin kalau ada waktu. Kaka boleh main2 ke sini
DeleteUnik dan menarik. Saya baru tahu do Aceh agama ini kentara sekali dan tentu saja kemudahan mereka beribadah menjadi poin tersendiri dr SI.
ReplyDeleteTerima kasih bang Bai. Bang bai. Bagaimana dengan meulaboh sendiri?
Deletemini tapi semoga tak minimalis :)
ReplyDeleteInsya Allah lengkap bang
DeleteAceh adalah Indonesia yang tak mungkin bisa hidup tanpa berdampingan ya Yudi. Gelaran Serambi Mekah bukan untuk mengklaim kan diri jadi eksklusif. Bangga jadi rakkyat Indonesia :)
ReplyDeleteNaah itu dia Kak.. Itu dia yang sebenarnya pengen yudi tulis. Tapi minim bahasa sayanya hehe
DeleteMakasih ya ka
Kangen Aceh.... Trutama Bika Ambon nya. Loh itu Medan yak? *Push up dipojokan* :))
ReplyDeleteEhem.. Ini kangen aceh atau gadis aceh yg di medan?? Ckck
DeleteWaahhhh
ReplyDeleteWeeeeh
DeleteTernyata ada kuil juga ya di Aceh. Kirain cuma ada masjid di sana mas. Kasian tempat ibadahnya nyempil gitu
ReplyDeleteSebenarnya sebelum tsunami mereka punya dua kuil, tapi satunya lagi di jual kepada pihak pemerintah biar mereka punya dana utk bangun kuil yg sekarang.
DeleteMantap..baru tau ada kuil di aceh..
ReplyDeleteloh?? masa??
DeleteIni Hindunya India banget ya mas? mungkin belum tercampur budaya lokal?
ReplyDeletehttp://www.idiotraveler.com
iya.. dan mereka masih keturunan india asli :)
DeleteLw kejam banget, bilang bangrada tingi besardan hitam macam seoarang musuh ihik ihik
ReplyDeletehayyah.... itu hanya perumpamaan ha.. #logatcina :D
DeleteHai... Terima Kasih sudah membaca blog ini. Yuks ikut berkontribusi dengan meninggalkan komentar di sini 😉