Saya tak
henti berdecak kagum. Berdiri dihadapan sebuah karya yang begitu luar biasa
ini, membuat saya tampak begitu kecil. Menara ini begitu tinggi menjulang.
Semakin ke atas, semakin kecil. Di ujung atas terlihat ruangan berkaca lengkap
dengan lampu bulat yang bisa berputar. Angin laut yang terus menerus menerpa
wajah bersamaan dengan panasnya mentari siang menjadi sebuah simfoni tersendiri
di hati.
Willem's Toren 1875 Gesticht in oorlogstijd, Den vrede gewyd , Tevens een blijvende eerezuil voor al de dapperen en braven, die ter bereiking van dit doel des vredes hun bloed en leven ten offer gaven(Menara Willem 1875 Didirikan pada masa perang, Sebuah kenangan abadi untuk setiap keberanian dan para pemberani, untuk mencapai tujuan damai ini darah dan nyawa telah dikorbankan)
Begitulah yang tertulis di sebuah plakat
batu marmer yang terletak tepat di atas pintu masuk menara Mercusuar Willem Toren III. Pintu selebar dua orang dewasa ini berkulit baja. Di
baliknya, terdapat pintu berjeruji besi. Perlahan saya melangkah memasuki pintu
baja tersebut. Dalam ruangan bulat sempurna ini
terdapat anak tangga yang terbuat-juga- dari baja tersusun melingkar sesuai
dengan lingkaran bangunan mercusuar.
Menara yang terletak di sudut utara Pulau
Breueh, kecamatan Pulo Aceh ini berdiri gagah. Sekelilingnya hutan belantara
yang masih lebat. Berdiri pada sayap gunung yang bertanjung ke samudera Hindia di
sisi utara dan barat. Di sisi selatannya, bangunan lain berdiri dengan umur
hampir seumuran dengan menara tersebut. Ada rumah-rumah bersusun rapi membentuk
garis melintang lurus mengarah ke hutan. Di sudut bangunan tersebut, ada sebuah
tangga tua yang sudah di renovasi tersusun rapi. Menapak naik ke sebuah
bangunan yang tampak tak terurus.
Bangunan tua yang terlilit oleh semak
belukar dan akar pokok kayu, terlihat mengerikan. Atapnya tak lagi ada, daun
jendela dan daun pintu telah raib entah kemana. Menurut cerita, bangunan
tersebut adalah tempat tinggal sang Jenderal Belanda yang berandil membangun
mercusuar yang fenomenal ini. Sebenarnya, rumah dan bangunan yang terlihat
menakutkan ini adalah pangkalan militer Korps Marinir Belanda.
Saya terus bergerak menyusuri anak
tangga yang mengular sampai ke atas. Pada setiap dua puluhan anak tangga,
diselingi oleh lantai kayu berukuran 2 m2. Permukaan lantai ini
hampir seluruhnya terbuat dari kayu. Ditompangi dengan tiga bilah balok baja
“H”. Lantai ini tetap kuat menopang setiap pengunjung yang datang walaupun
terlihat antik-bila tak ingin mengatakannya tua.
Pada setiap lantai, saya mendapati jendela
yang menghadap ke laut. Ada yang diantaranya menghadap ke bangunan tua yang
mengerikan itu dan ada yang menghadap ke samudera Hindia. Selain berfungsi
untuk menerangi ruangan ternyata bukaan itu juga berfungsi sebagai sirkulasi
udara.
Pulau Weh, di ujung sana |
Di sisi timur, susunan gunung yang
menghijau berbaur dengan laut yang membiru. Berselimut awan putih yang mulai
menyusun mendung. Pulau Weh. Pulau yang akhirnya menjadi pilihan Belanda sebagai
pusat pelabuhan bebas Negara Hindia Belanda masa itu. Melihat belakang, ke arah rimba, tampak jejeran bangunan tua
ada di kaki mercusuar. Bangunan itu lurus menyebar sampai ke tempat tinggal
sang jenderal yang raib di makan oleh belukar.
Ya, dari observation deck inilah saya
dapat menikmati pemandangan 360 derajat tanpa batas. Ujung Negara Indonesia
terlihat jelas. Sesekali, bila beruntung, akan terlihat kapal-kapal besar lalu
lalang memasuki selat malaka. Tapi siang semakin terik, angin semakin kencang,
dan perjalanan yang mengerikan menanti.
*****
“Saleum Neuk.. Dari mana Nak?” sebuah sapaan hangat yang
menyejukkan hati di tengah siang yang terik. Sapaan yang begitu bersahaja dari
seorang tetua kampong Meulingge. Sebuah desa kecil di utara pulau Breuh yang secara administrative adalah desa terakhir di
ujung barat Negara Indonesia.
pantai desa meulingge yang masih alami |
Beberapa rumah panggung khas Aceh masih terlihat satu-satu dari selah-selah batang kuda-kuda yang tumbuh lebat memagari lahan rumah. Selebihnya, adalah rumah-rumah permanen dengan tipe 36 m2 bercat sedikit kuning bercampur putih. Rumah bertipe ini sering saya dapati di sepanjang pesisir laut Aceh yang terkena imbas dari gelombang dahsyat tsunami beberapa tahun silam.
Beberapa pemuda dan tetua desa
terlihat bersantai di bawah Jamboe-saung-
demi menghindar dari sengatan terik mentari siang. Beberapa lainnya berkumpul
di warung kopi yang terletak tepat berhadapan dengan pelabuhan desa.
Angin musim barat masih bertiup kencang. Hal itu pula yang membuat pelabuhan tradisional desa Meulingge ini terlihat sepi dari boat kayu nelayan. Hanya ada satu boat yang terikat di sisi timur dermaga. Perlahan, air laut mulai pasang, gradasi warna sedikit demi sedikit mulai berubah.
Angin musim barat masih bertiup kencang. Hal itu pula yang membuat pelabuhan tradisional desa Meulingge ini terlihat sepi dari boat kayu nelayan. Hanya ada satu boat yang terikat di sisi timur dermaga. Perlahan, air laut mulai pasang, gradasi warna sedikit demi sedikit mulai berubah.
Di sebuah warung yang terletak tepat
berhadapan dengan dermaga desa, saya melepas lelah. Pak Ismuha, bapak tua yang
tadi menyapa saya, masih terus bercerita tentang asal mula pulau Breueh.
Menurutnya, di kawasan mercusuar tadi, ada kerkhof
tempat para serdadu belanda bersemayam.
jalan menunggu menara Williem Toren |
Walaupun siang begitu terik.
Angin bertiup kencang, Saya harus mengakui bahwa saya mencintai tempat yang
luar biasa indah ini. Seperti seorang pemuda kampung yang jatuh cinta pada
pandangan pertama saat melihat cantiknya gadis kota.
Begitulah, sedari awal penyeberangan ke pulau Breuh, lalu masuk ke pelabuhan Lampuyang yang diapit oleh dua tanjung yang berjarak hanya kurang lebih 60 meter. Terkesan seperti hendak masuk ke suatu tempat yang begitu rahasia. Pulau Breueh membuat degup jantung saya tak karuan. Ada desir dan rasa yang mengalir ketika pertama kali disajikan sebuah “Welcoming gift” dari pulau ini.
Begitulah, sedari awal penyeberangan ke pulau Breuh, lalu masuk ke pelabuhan Lampuyang yang diapit oleh dua tanjung yang berjarak hanya kurang lebih 60 meter. Terkesan seperti hendak masuk ke suatu tempat yang begitu rahasia. Pulau Breueh membuat degup jantung saya tak karuan. Ada desir dan rasa yang mengalir ketika pertama kali disajikan sebuah “Welcoming gift” dari pulau ini.
teluk lampuyang, Pulau breuh, Aceh Besar |
Saya masih tertegun tak percaya.
Cita-cita saya untuk menaiki Mercusuar Williams Toren dan menjejakkan kaki di desa meulingge, tercapai.
Pulau yang masih memegang teguh Local
Wisdom Aceh ini terlihat begitu memanjakan. Memaksa diri untuk terus duduk
bersama pak Ismuha dan teman-temannya. Sembari menikmati indahnya teluk
Meulingge. Selayang mata memandang, melepaskan segala rindu. Sebuah rindu, untuk bisa kembali bersua.
Pemandangan dari atas mercusuar. di ujung saja, itu lautan lepas, |
dibalik tanjung tersebut ada pelabuhan tua jaman belanda |
baru saja selesai dipugas dan di cat |
Dermaga nelayan di Desa meulingge |
Comments
Aku mau berenang sampai pulau weh :-)
ReplyDeleteya bener bang???
Deletepake ditemenin sama putri duyung cantik mata biru nggak? :D
Aiih... dari dulu pengen betol kemari. Fotonya keren kali wak...
ReplyDeletehayo... rencanakan bulan madu ke meulingge Nu :D
Deleteterima kasih bang Nu.. :D
Kepingin kesana, dari dulu pingin ke William torrent itu
ReplyDeleteudah saatnya dokter liza meng-agendakan trip keliling aceh.. kan suami sudah di aceh? :D
Deleteralat akun :)
ReplyDeletebahagia that bisa jadi blogger jak-jak. do'akan saya agar bisa banting artikel jadi blogger jak-jak bang :D
hahaha.. alhamdulillah.. bacut2 aduen.. nyan atra buet thon baroesa.. na undangan dinas :D
Deletejangan bang.. bang ompian jangan banting setir. nanti nabrak saya.. ka gadoh job lon haha
entar kalo saya main ke Aceh, entar tolong anterin ke tempat kece kaya gini yaaa... #ngarep
ReplyDeleteHaha boleh bang budi.. Tp ini harus nyeberang lagi 2 jam lebih hehe
DeleteJadi pingin kesini, moga2 ada kesempatan.
ReplyDeleteSudah pernah kah kemari bang?
DeleteIndonesia itu kerrentapi nggak banyak yang tau. Lanjutkan exlpore dan expose keindahan nusantara Om.
ReplyDeleteTerima kasih om.. Saya sepakat
DeleteKalau bahasa anak muda aceh "hana ubat" pas nyampe ke puncak mercusuar. Pengalaman pertama bagi zulfan utk liat pulo rondo. tapi tulisan ini jahat ya, buat orang nyesal karna belum ke lampuyang hiks
ReplyDeleteLoh?? Memangnya pas ke pulau breuh kemaren nggak mutar ke lampuyang?
DeleteAku selalu suka mercusuar.. gara-gara waktu kecil suka baca novel 5 Sekawan. Banyak petualangan mereka yang bermula dari sebuah mercusuar.. :)
ReplyDeleteNovel 5 sekawan?? Masya Allah.. Umur kak umur hahaha
DeleteMantab sekali pemandanganya , butuh keahlian khusus
ReplyDeleteNLP Surabaya
Alhamdulillah.. Terima kasih
DeleteCakep!!
ReplyDeleteUlasannya keren.. sumpah iri kali bisa kesana
Terima kasih kak mira.. Jafi kapan kita kemana kak mira?
DeleteAjak aku kemari ya, nginep 2-3 hari kalau perlu :)
ReplyDeletesiap Mas! kabari bila ke aceh lagi. jadi nanti akan kita setting timing yang cocok :)
DeleteBlog nyoe leupah carong peutaba jak-jak. -____-
ReplyDeletesalah lagi... sabe sabe blog nyoe salah hahaha
Deletepadahai dia tu yang selalu bikin iri dengan postingannya di malay :p
pesona aceh memang gak kalah dr daerah lain :))
ReplyDeletebtw foto@nya cakep
terima kasih mas.. kapan ke aceh mas? :)
DeleteMercu suar mercu suar seperti ini dibangun Belanda dengan perhitungan matang ya. Hampir semuanya seragam menggunakan rangka baja yang tahan lama. Tahan gempuran cuaca. Bayangkan menara-menara seperti ini dibangun sekitar tahun 1800an sekarang sudah berlalu 200 tahun lebih tapi masih berdiri tegak. Di sekitar Kepri pun banyak mercu suar dan rata-rata masih berfungsi.
ReplyDeleteiya kak.. luar biasa perhitungan dalam bidang teknik sipil mereka. apalagi bila kita bandingkan di masa lampau dengan teknolgi yang cukup terbatas.
Deletepemandangan alam di aceh ternyata bagus juga, kapan ya bisa kesana :D hehehe
ReplyDeleteJadi kapan bisa ke aceh? yuks kumpulin duit dari sekarang :D
Deleteair lautnya bening sekali, berenang disana kayaknya enak, belum terlalu ramai ya pengunjungnya
ReplyDeleteSebenarnya malah belum ada. Soalnya utk ke sini masih sedikit sulit
DeleteHai... Terima Kasih sudah membaca blog ini. Yuks ikut berkontribusi dengan meninggalkan komentar di sini 😉