“Yud, Hati-hati, itu Kuburan Lho!” Kak Olive. Saya kaget dibuatnya. Nisan batu ini tersusun begitu rapi. Beberapa symbol terpahat pada lantai batu secara sempurna. Beberapa symbol cukup familiar. Tapi tetap saja ini kuburan! Sial!
Jakarta, kota yang menjadi
ibukota Negara Indonesia ini, selalu menyimpan begitu banyak cerita. Kota yang
terkenal dengan gaya mentropolisnya ini secara literature sejarah, memang
memiliki hubungan cukup erat dengan Aceh. Bilang saja dari hal yang paling
sederhana, penyebaran agama Islam.
Tapi, bukan Jakarta namanya bila tak punya seribu satu sejarah yang mencengangkan. Selain Aceh yang berhasil mengekspor agama Islam ke pulau jawa, secara tak disadari, ternyata Jakarta juga berperan mengekspor agama kristiani ke Aceh. Lima tahun dahulu kuliah di Jakarta hanya membuat saya tak mengenal Jakarta seutuhnya.
Kunjungan saya ke Jakarta (lagi) atas
undangan salah satu OTA kali ini, saya manfaatkan sungguh-sungguh untuk menjadi
“turis”. Mengunjugi kota tua adalah tujuan utamanya. Kak olive, Kang Taufan,
adalah sasaran utama bila saya tak dapat penginapan di Jakarta. Kang taufan jadwalnya
begitu padat, tinggalnya kak Olive yang akhirnya menyarankan saya untuk
berkeliling kota tua, petak Sembilan, tidur di hostel yang dibelakang hostelnya
ternyata tempat pembakaran mayat, dan main ke gereja tertua di Jakarta.
Aha! Gereja! Saya belum pernah
masuk gereja. Serius! Saya tidak bohong. Bukan, bukan di Aceh tidak ada gereja.
Ada banyak gereja di Aceh. Di kota Banda Aceh ada 4 gereja. 1 katolik, 2
protestan, dan 1 metodis. Kalau kamu ke Aceh tenggara, di sana ada 123 gereja! Jadi,
salah besar ketika ada media mengatakan kalau kami, Aceh, anti toleransi agama!
(berhentilah menyebar isu murahan ini!)
Kak Olive adalah orang yang
sangat tepat untuk menyusuri wisata sejarah. Bukannya hanya pecinta sejarah,
tapi coba tanya padanya, perihal kuburan tua jaman kompeni belanda dan sejarah
dibalik kematian si empunya kuburan. Niscaya, wanita yang lahir di Tana Toraja ini
tahu ceritanya!
Bingung? Saya lebih bingung lagi
ketika saya mengetahui kalau kak olive begitu cinta pada sosok pahlawan wanita Aceh.
Laksamana Keumalahayati. Mungkin kamu bisa tidak percaya, tapi ajaklah ia ke
makam pejuang wanita dari Aceh tersebut. Dan lihatlah apa yang terjadi pada Kak
Olive…
Sore menjelang, suasana kota yang
terlalu sibuk ini semakin menjadi. Antrian di station Kereta Kota Tua semakin
menjadi. Klakson demi klakson angkutan umum timbul tenggelam bersamaan dengan
melajunya kenderaan roda empat berwarna biru muda ini dari depan stasiun. Sesekali,
tawaran ojek datang. Saya dan kak Olive tak kendur menolak rayuan. Derap langkah
terus di pacu. Padahal, betis saya rasanya sudah minta di pijat sama cewek bule
yang tidur seruangan di hostel. #halah
Langkah kaki kak Olive semakin
cepat. Pukul sudah menunjukkan pukul 5 sore. Hei, ini masih terlalu sore di Aceh.
Sayangnya tidak di Jakarta. Satu jam lagi, azan magrib akan berkumandang. Kak
olive diam. Jalannya semakin cepat. Saya mulai kewalahan mengimbangi gaya
jalannya yang tidak “wanita banget”.
Gereja Sion, adalah tempat yang
menjadi tujuan kami sore itu. Gereja Tua bergaya khas eropa ini terletak di
sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan Mangga Dua Raya. Biasanya, bila dulu saya
main-main ke stasiun kota untuk mencari compact disk, kini saya mengejar untaian
cerita.
ini dia kuburannya |
Bukan Olyvia Bendon namanya kalau
pantang menyerah. Sejurus kemudian, Pak Tasum sang juru pelihara situs Gereja
Sion akhirnya mengangguk setuju. Tapi dengan syarat.
Pintu belakang gereja mulai di
buka. Saya, masih terpaku dengan nisan dan kuburan yang terletak berjejer rapi
di halaman gereja. Ada 11 makam yang tersusun di areal depan gereja. Sebuah lonceng
tua juga terletak di sisi lain gereja.
“Yud, ayoo nanti tutup!” setelah
sebelumnya kak Olive memperingatkan saya, kalau lantai yang berukir dan
dipagari ini adalah makam tua jaman penjajahan Belanda. Tergopoh-gopoh saya
berlari menyusuri taman. Lalu sekejap. Hap! Saya masuk ke ruangan tempat
berkumpulnya para pendeta. Beberapa kitab asli masih tersimpan. Ada niat hati
ingin membacanya. Bukan, bukan untuk mencari celah agama. Tapi saya lebih
senang mencari teori konspirasi yang tersimpan dibaliknya.
Menurut catatan sejarah, gereja
ini awalnya didirikan oleh kaum portugis. Lalu diperindah oleh pemerintahan
belanda. Beberapa lambing pada makam tua ada lambang VOC, lambang Freemason,
dan beberapa lambang hewan. Lambang yang sama yang saya temukan ketika
mengunjungi Kerkhoft terbesar di luar
belanda, Kerkhoft Banda Aceh.
Plakat Makam dari pencetus Gereja (?) |
Sifat udik saya muncul! Saya kegirangan!
Saya hampir saja lupa kalau sedang dalam rumah ibadah umat kristiani. Sebuah organ
seruling raksasa berdiri bak dinding coklat menutupi hampir seluruh bagian
dinding depan mimbar bergaya Barok ini.
“kak seruling itu mirip seperti
di film Spiderman kan” Pak Tasum misuh-misuh. Kak Olive menahan tawa. Aceh Pungo!
Norak!
Sayup-sayup suara orang mengaji
melantun syahdu. Lamat-lamat merambat di
dinding-dinding kuno gereja. Cerita demi cerita mulai tersusun rapi. Gereja Protestan
ini, memang secara tak langsung memberikan citra warna agama kepada Aceh.
Sejarah mencatat, Tercatat bahwa Gereja Katolik Roma dari Ordo Karmel (Ordo Fratrum Ordinis Beatissimae Maria Virginis de Monte Carmelo) mula-mula mengadakan kontak dengan Indonesia pada tahun 1511 ketika dua anggota mereka, Dionisius dan Redemptus, ikut serta dalam suatu kelompok dagang Portugis mengunjungi Aceh dari Malaka. Keduanya tewas dibunuh dan Gereja menyatakan mereka sebagai martir dan diperingati setiap 29 November. (sumber Wikipedia )
Lalu, pada tahun 1885, sebuah
kapel katolik berdiri di Banda Aceh. Kapel yang kini dikenal dengan sebutan Gereja
Hati Kudus ini, hanya selemparan batu dari Masjid Raya Baiturrahman. Dengan
pastor pertamanya adalah orang Belanda asli. Dari sini, cerita mulai menyambung
ke Aceh. Sampai akhirnya “beberapa” jejak Aceh terserak di ibukota negeri Indonesia
tercinta ini. Menanti putra-putri nanggroe Aceh menyusurinya secara perlahan.
Perlahan, bibir mengembang, hati sedikit berbangga. Saya bisa masuk gereja di luar Aceh hanya untuk mencari untaian cerita Aceh yang hilang. Tapi... saya masih penasaran dengan berbagai kisah mengenai si pemilik makam. Mungkin nanti, suatu hari, saya harus balik lagi ke Jakarta untuk menyusun cerita Aceh yang terserak.
Comments
Beberapa kali ke kota tua nggak kepikiran ke gereja Sion. Baru ke bebetapa museum disana. Jadi pingin balik lagi lah..
ReplyDeleteJadi untaian cerita Aceh itu bisa terserak dimana2 ya Yudi? Cerita lagi kalau dapat untaian yg lain ya...
hahaha kakak, sebenarnya kita senasib loh kak.. yudi pas kuliah di sana dulu, malah g sempat kemana-mana kak :))
Deletehahaha Insya Allah aman Gan :D
ReplyDeletebaru tahu kak kalo di aceh juga banyak gereja, bagaimana ya penyebaran agama nasrani di aceh jd pengen tahu cerita sejarah, kayaknya musti ngobrol dengan kak Olive nih biar tahu cerita ttg sejarah jakarta, mulai tertarik sejak baca novel rahasia Meede meskipun fiksi tapi bagus
ReplyDeletenaah klo soal penyeberan kristen di aceh secara sepintas mbak bisa tanyain ke kak oliv.. (apa sih yang dia nggak tahu tentang aceh? ) :))
DeleteTuh kaaan... Jakarta memang nggak ada matinya! aku kalau mudik pasti transit beberapa hari di Jakarta sebelum lanjut terbang ke Banyuwangi, dan selalu saja ada pengalaman seru...
ReplyDeleteiya bang Haris.. saya yang kuliah di jakarta dulu saja merasa ini kota nggak ada habis2nya di ubek2 hehe
Deletememang tidak ada salahnya kalau kita hanya berkunjung ke tempat ibadah selain kepercayaan kita...
ReplyDeletebtw memang masih ada gosip kalo aceh anti toleransi ? #kepo
hahaha kepo ni yee.. ayo ayo di cari tahu via google :D
DeleteYa amboooon kenapa namaku dibawa2 di sini Yud? Jadi kemarin nyasar ke Paroki Hati Kudus karena tulisan ini toh? Ntar kalo mudik tak ajak masuk mau nggak? ��
ReplyDeleteBtw kuburan di luar Gereja Sion yg fotonya kamu pajang di atas kuburannya Henricus Zwaardecroon, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1720an sekian (mesti lihat contekan kalo ngomongin tahun haha).
habisnya yudi kehabisan ide nulis.. hahahaha :p
Deletemau laaah kak.. aku ikutan masuk ya.. ntar biar dikirain cina dari palembang :))
kak.. kak olive.. udah jangan bahas itu siapa dan apa yang udah dia bikin.. yudi roaming :D
oh gereja ini adanya di kota tua
ReplyDeleteBudy | TRAVELLINGADDICT
BLOGGER ABAL-ABAL
WWW.TRAVELLINGADDICT.COM
abang sudah ke sana juga ya?
DeleteMenarik sekali Mas Yudi, menemukan kepingan sejarah diluar tanah leluhur. NAmun disayangkan, di kampung halaman, sejarah malah dihancurkan demi politik, bahkan proyek. Rupiah dianggap lebih berharga dari pada sejarah. Jangan-jangan akhirnya nanti anak muda Aceh malah lebih paham sejarah asing daripada dirinya sendiri.
ReplyDeleteYa bisa jadi.. dan sepertinya trend itu memang sedang naik daun :)
Deletemenarik, ternyata aceh dan jakarta mnemiliki keterkaitan ttg sejarah juga ya
ReplyDeletewah hubungan aceh dengan jakarta bukan hanya sampai di sini bang Jo :)
DeleteSemoga gereja ini tetap terus lestari sampai anak cucu kelak hingga mereka tau bahwa sejatinya masih banyak manusia-manusia yang hidup harmoni dan mengajarkan saling bertoleransi. Baru tau juga kalau di Aceh banyak gereja-gereja, terkadang berita negatif itu lebih gencar daripada berita baiknya.
ReplyDeleteya begitulah, seolah aceh itu memang dunia lain :D
DeleteAku dulu SMA di Jakarta, dan belum keubek dari ujung ke ujung. Ke kawasan ini juga belum sampai.
ReplyDeletehahaha sama atuh teh,, yudi pas kuliah di jakarta juga sama Teh.. g sempat kemana-mana ... baru ini bisa keliling kota tua :D
Deleteit's Otentic place..
ReplyDeletethx you :)
DeleteHai... Terima Kasih sudah membaca blog ini. Yuks ikut berkontribusi dengan meninggalkan komentar di sini 😉