foto capture by safariku.com |
“Suasana magrib di Banda Aceh begitu mengganggu buat saya.”
Seorang pria yang saya taksir berumuran sekitar 35
tahunan, melempar sebuah wacana begitu saja.
“lampu-lampu di warung kopi dan
beberapa warung dimatikan, dan itu membuat saya tak nyaman” lanjutnya lagi. Saya
semakin terperanjat. Kopi sanger dingin seketika tak enak lagi diseruput. Saya tercekat.
Pria ini masih Aceh juga kah? Begitulah
tanya saya dalam hati. Atau sebenarnya dia lupa siapa dirinya sesungguhnya.
Senja sudah merona di ufuk barat
kota kecil ini. Sesuara lantunan al quran mulai mengudara memenuhi warna jingga
di angkasa yang dimainkan dari tape yang ada di masjid-masjid yang ada di Banda
Aceh.
Jujur saja, kota kecil ini memang
tidak sempurna. Jauh dari kata sebuah kota yang hebat lagi menarik untuk
dinikmati bagi warganya. Tapi, haruskah terus menerus menjelekkannya? Bila orang
Aceh sendiri sudah pesimis kepada kotanya sendiri, lalu bagaimana dengan orang
diluaran Aceh? Bukankah wajar bila akhirnya selalu ada anggapan kalau
pelaksanaan syariat Islam di Aceh membuat Aceh tersudut di ring tinju tanpa
pernah bisa melawan.
*****
“Bang, enak ya di Aceh. Semua orang
diberikan hak untuk melakukan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya
masing-masing ya?” sebuah senyum dan wajah takjub terpancar dari wajah seorang
wanita muda. Ia, adalah seorang yang beragama non muslim. Ia, juga seorang
seleb tweet.
Bersiap pulang sembari terus menggulung benang Layang Tradisional Aceh |
Kala itu, azan magrib menggema di
seluruh kota. Saya, dan Artis Twitter Indonesia ini, sedang duduk di salah satu
rumah makan nasi Goreng Aceh dibilangan kawasan kota Banda Aceh. Kami tengah
merayakan syukuran akan salah seorang sahabat dari jakarta yang dapat orderan
pesanan yang cukup banyak. Saya sampai
bingung tatkala wanita muda itu berbicara dengan muka polosnya tentang magrib
di Banda Aceh.
Para pelayan rumah makan tersebut
tiba-tiba menghilang, beberapa lampu utama di rumah makan tersebut juga dimatikan.
Para pelanggan “dibiarkan” begitu saja. Yang sedang makan tetap dipersilahkan
makan. Yang ingin membayar diharapkan untuk menunggu sampai jadwal shalat
magrib selesai.
Awalnya, saya mengira kalau hal
ini akan membuat beberapa sahabat saya yang beragama non muslim akan merasa
risih. Tapi? Justru kebalikannya!
Beberapa minggu kemudian, di
sebuah warung kopi di seputaran jalan P. Nyak Makam Banda Aceh, atasan saya dari
jakarta yang masih beretnis thionghua dan beragama kristiani juga sempat
mengutarakan hal yang sama. Ia begitu kagum dengan keadaan magrib di Banda Aceh.
Yang –lagi-lagi – menurutnya, itu sangat menyenangkan.
Dari dua hal tersebut di atas,
saya merasa sangat bingung dengan pernyataan tiba-tiba seorang pemuda Aceh tersebut.
Bilakah dia berpaham Islam Liberal, sepertinya dia tidak paham akan makna
kebebasan itu sendiri. Inilah yang paling sering terjadi di akhir-akhir ini.
Anggaplah seperti yang saya katakan,
Aceh ini memang tidak baik. Lalu, apakah dengan demikian kita harus terus
menerus menyudutkannya? Ataukah kita harus membantunya untuk terus menatap masa
depan yang lebih baik. Bukan, bukan untuk kita yang sudah berumur lebih dari
seperempat abad ini. Melainkan untuk anak-anak kita kelak.
Berikanlah sedikit rasa terima
kasih kepada kota yang sudah mau memberikan kita kesempatan untuk berekspresi. Berikanlah
sedikit rasa bangga sebagai orang Aceh kepada Aceh! Janganlah menjadi seperti
penipu ataupun pengecut. Berteriak lantang pembangunan tapi citra daerah terus
dijatuhkan sampai ke dalam tempat terjelek.
Bila saja, bila saja semua orang
mengerti tentang konsep personal
branding, maka semua image yang kita bentuk hari ini, itulah kita. Bahasa mudahnya
begini, bila kita ingin menjadikan Aceh terkenal, maka image yang harus kita
bangun adalah image yang baik. Semisal, Aceh itu aman bagi pengunjung, Aceh itu
nyaman bagi mereka yang non muslim, dan lain sebagainya. Keuntungannya apa? Semakin
baik image Aceh di mata orang lain maka bukan tak mungkin akhirnya Aceh menjadi
daerah tujuan investasi. Ujung-ujungnya, ekonomi Aceh akan meningkat dan
kesejahteraan masyarakat bisa terdorong seperti yang dicita-citakan.
Lalu, bagaimana bila pandangan negative
terus dikembangkan? Yang terjadi justru adalah kebalikannya. Dan, ini ibarat
bom waktu. Pada akhirnya, kemiskinan akan memberikan rasa tak aman bagi
siapapun. Anggaplah, dengan terus menumbuhnya orang-orang miskin, maka
orang-orang yang nekat dalam meraih rezeki juga akan bertambah. Tentu ini dalam
artian negative. Lalu, bisa dipastikan, ujung-ujungnya orang Aceh yang selalu
menjelekkan Aceh, dia kembali nyinyir dan ribut di lini masa social media. Bukannya
membangun opini positif tapi justru menjelekkan Aceh.
Satu hal, menjelekkan negeri
sendiri, itu sama dengan menjelekkan diri sendiri. Kenapa? Karena penghuni
negerilah yang menentukan arah jalan dari negeri tersebut.
Banda Aceh magrib. Adalah momen
romantisme terjadi. Awan-awan menjadi jingga, burung-burung bangau terbang
membentuk huruf V membelah langit senja kota Banda Aceh. Lantunan adzan
bersahut-sahutan. Berlomba dengan deru suara sepeda motor dan mobil yang
berlarian menuju ke rumah sang pemiliknya.
nelayan yang pulang ke rumahnya kala senja menjamah pantai Ulee Lheue Banda Aceh |
Ya, Banda Aceh kala magrib
mungkin tak begitu menyenangkan. Terutama bagi mereka yang terlalu sibuk duduk
di warung kopi tanpa pernah mengerti arti apa itu toleransi agama yang
sebenarnya.
===========================================================================
Nah, daripada nyinyir tapi nggak berbuat apa-apa untuk negeri ini, kenapa tidak mulai dari selemah-lemahnya iman? Ya, minimal dengan bantuin vote untuk bantuin Aceh jadi lebih baik.
Bantuin Aceh menang dalam ajang Wisata Halal Dunia 2016 Yuks, Di sini www.voteindonesia.com mulai dari tanggal 7 November 2016 s/d 24 November 2016
Comments
Nyan aneuk agam bangai nyan bang. Yang pah ta tiek lam paret. Yang beutoi chit peu yang jih kheun miseu ta meudawa
ReplyDeleteHana troeh meudawa kok liza.. Saya dan dia kita memilih diam dan lanjut minum kopi 😊
DeleteBiasa tu Yud. Mungkin dia lelah. Lagian cinta sejati n imitasi kan beda.
ReplyDelete#NtahApaPun
Bang Sayid.. Ini malam jumat. Dan di Takengon itu dingin loh 😂😂😂
Deleteazan magrib menggema di seluruh kota. Saya, dan Artis Twitter Indonesia ini, sedang duduk di salah satu rumah makan nasi Goreng Aceh dibilangan kawasan kota Banda Aceh. Kami tengah merayakan syukuran akan salah seorang sahabat dari jakarta yang dapat orderan pesanan yang cukup banyak. Saya sampai bingung tatkala wanita muda itu berbicara dengan muka polosnya tentang magrib di Banda Aceh, Gop geujak Shalat ilei lehnyan baro berdua-duaan lom... hehe
ReplyDeletejeeeh kan saya belum menyebutkan klo selepas bayar nasi, lon jak menghadap :p
DeleteSerius kamu naksir om2 umur 35 th ???? udah bosen ama bini lw ???? hua hua hua
ReplyDeletehedeuuuh Omm... daripada om om itu mendingan saya pulang ke rumah om :(
Deleteone day i'll visit aceh! looking forward to that
ReplyDeleteok.. I'll wait you :)
DeleteSaat mengobrol di kedai kopi, beberapa kali ada yang bilang ke saya kalau orang Aceh itu pemalas kerjanya cuma nongkrong di warung kopi.
ReplyDeleteLangsung saya balas begini: "Saya punya ratusan bukti bahkan lebih, kalau orang Aceh itu rajin dan pintar".
Lalu orang itu terdiam.
ini komentar paling kereeeeen sepanjang sejarah!!!!
DeleteHai... Terima Kasih sudah membaca blog ini. Yuks ikut berkontribusi dengan meninggalkan komentar di sini 😉