Yaks..rasa-rasanya
saya ingin muntah. Mengeluarkan semua isi perut. Perjalanan panjang menuju Gayo
Lues menjadi sebuah keputusan yang mungkin saya sesali. Sungguh! Tak pernah sekalipun
saya membayangkan akan menikmati jalanan yang tak ada jalan lurusnya ini. Naik
turun, berkelok, lalu memutar membuat saya seperti naik roller coaster.
Bagi saya,
konservasi adalah sebuah dunia yang sama seperti Aceh itu sendiri. Dia,
unreachable. Dia, seperti sebuah mahkluk, ada tapi tiada. Tiada, tapi dia ada.
Begitulah. Saya harus memutar otak untuk memahami apa itu konservasi, dan semua
istilahnya.
Bahkan,
didalam perjalanan menuju ke kawasan Hutan Leuser, saya baru tahu ternyata luas
hutan Leuser itu lebih luas sebarannya di Aceh dibandingkan di Sumatra Utara.
Saya sempat bertanya kepada Pimpinan Program, dengan polosnya saya memberanikan
diri, lalu pada akhirnya saya menyesali kepolosan saya.
“Mbak,
maaf, dari tadi mbak dan kak cut membicarakan Biodiversity. Itu apa ya mbak?”
serentak, keadaan didalam mobil yang melaju bak ular tangga ini terdiam. Lalu
sepertinya keadaan mulai slow motion. Semuanya seakan memandangi saya, sambil
berkata, ini anak dari mana sih? Kok biodiversity aja nggak paham ya?
“Yudi,
tahu keanekaragaman hayati?”
“Tahu
Mbak..”
“Ya
udah, biodiversity itu keanekaragaman
hayati”
“…”
Gajah Sumatra, yang menjadi endemik hutan Aceh. |
Begitulah,
awal mula saya memutuskan untuk mempelajari dunia konservasi. Saya tak ingin
terlihat seperti kejadian konyol kala perjalanan menuju ke Gayo Lues. Saya ini,
sungguh tak suka bila harus jalan-jalan ke hutan. Sampai akhirnya saya harus
“berwisata” ke dalam hutan. Lalu, semuanya berubah. Saya, jatuh cinta kepada
dunia Konservasi!
Saya
semakin menyukai hutan tatkala memahami bahwa ilmu konservasi tak jauh berbeda
dengan ilmu supply chain management
seperti yang saya pelajari di kampus dahulu. Pun saya semakin jatuh cinta
saat saya memahami, bahwa menjaga hutan
akan membuat Laut, tetap cantik. Ah, How Wonderful Life it is…
Dari Hutan Turun ke Laut
Ka deup nyo hancoe donyanyoe neunging keubit
dengoen mata hate oh wareh e..
(sudah
begitu rusak bumi ini, lihatlah dengan sungguh-sungguh, lihatlah dengan mata
hati wahai saudaraku)
Oh wareh e..
(oh saudaraku..)
Peu yang nyang ta pubuet ka rap bandum
hannjeut keu but ateuh bumoe nyang ka dimoe oh wareh e..
(apa yang
telah kita perbuat, hampir semuanya sia-sia di atas bumi ini. Menangis bumi
ini, oh saudaraku)
Oh wareh
e.
(oh saudaraku..)
Peu jioh
bala, peu jioh..
(jauhkanlah
bala, jauhkanlah..)
Peu jioh
bala, peu jioh..
(jauhkanlah
bala, jauhkanlah..)
Bumoe..
(bumi..)
Bumoe..
(bumi..)
Jimoe ba-e..
(menangis
dia..)
Jimoe ba-e..
(menangis
dia..)
Musik
etnik yang dilantunkan dengan nada sendu dan meraung-raung seperti orang
menangis, menghiasi perjalanan saya ke pelabuhan Ulee Lheue. Pagi itu, antara
senang, bahagia tapi sedih nan mendalam. Saya harus ke pulau Weh, memenuhi
undangan acara Sabang Coral Day 2017.
Seru? Pasti. Lantas kenapa sedih?
Karena saya akhirnya sadar, kalau kondisi karang di pulau terbarat Indonesia
ini dalam tahap yang cukup mengkhawatirkan.
Bagi saya
yang orang Aceh, menjaga Pulau Weh (lebih dikenal dengan nama Sabang) dengan
segala isinya, sama seperti mempertahankan identitas Aceh sebagai negeri
bahari.
Saya
sempat bingung kala beberapa blogger sibuk menggaungkan Save Shark.
Apa
pentingnya menyelamatkan Hiu? Ikan pemangsa yang suka menganggu manusia?
Ternyata, setelah saya pelajari, hiu, hanya memangsa ikan-ikan yang sakit di
lautan. Bila ikan tersebut mati karena penyakit, maka penyakitnya akan
menyebar, lalu akhirnya? Tak ada lagi ikan di laut. Sesimple itu? Iya. Sesimple itu! Hiu adalah
predator puncak dalam dunia rantai makanan. Dia adalah pengontrol keseimbangan
kehidupan ikan dilautan. Lalu, kamu mengangkapnya hanya untuk siripnya? Sungguh
kau tak tahu diri!
Inilah pintu masuk selat Melaka, Dan kapal-kapal besar sedang melintas |
Acara yang
berlangsung selama 3 hari 2 malam ini, berhasil membuat saya paham (walau dasar
sekali) mengenai konservasi terumbu karang. Saya menyadari, kalau keadaan hutan
di pulau weh, pun menjadi penentu kelangsungan hidup terumbu karang.
Saya akan
mengambarkannya dengan mudah, ketika kayu terakhir di Sabang punah, maka air
hujan yang turun akan langsung masuk ke laut lengkap dengan lumpur.
Lumpur-lumpur itu akan mengendap di dasar laut, pantai, dan akan menutupi sebagian
besar karang. Lalu akhirnya? Karangpun punah dan rusak. Ini belum lagi dengan
factor coral bleaching yang disebabkan
oleh naiknya suhu air laut. Pemutihan karang ini juga akan membuat kekayaan
laut Sabang akan punah.
Sekali lagi, inilah simbiosis mutualisme
kehidupan yang telah diatur dengan baik oleh Tuhan. Dan, inilah konservasi.
Se-simple ini ternyata. Kita saling menjaga. Bukan saling merusak.
Saya,
harus jujur, terpukau dengan beberapa diver dari Jakarta kala menjelaskan
keindahan laut Indonesia. Mulai dari Pulau weh, sampai ke raja ampat. Pun, saya
harus menahan kesal kala mereka menggoda agar segera mengambil lisensi diving.
Ya Tuhan..
Jangan tanya betapa sakitnya hati ini melihat mereka bisa diving di Sabang. Credit Foto : Bang Darma |
Acara yang
berlangsung cukup padat dan dilaksanakan di Pantai Sumur Tiga cukup menarik.
Apalagi bagi saya blogger abal-abal sok traveler dan sok paham konservasi.
Kalau ke hutan takut pacat, kalau ke laut tak bisa berenang. Lalu? Saya mau
jadi apa sebenarnya.
Perairan
pulau weh yang dihuni 3.000 spesies baik terumbu karang maupun ikannya dimana 538
diantaranya adalah jenis ikan hias. Menjadi penompang hidup untuk 31,355 jiwa
penduduk Sabang, (statistic 2011) dan sebagian penduduk kota Banda Aceh.
Moray Eel di laut Pulau Weh, credit By : Kak Mimma |
Sabang
coral day 2017, menjadi salah satu bukti bahwa, masih ada pemuda-pemuda Aceh
yang peduli akan dunia konservasi laut. Sekarang sudah baik, tapi ke depan,
harus lebih baik lagi. Oh wareh e..
Comments
belum pernah ke Weh.. semoga bisa kesana secepatnya sambil nyelem2 di tempat2 keceh disana.. Amin!
ReplyDeleteAmien.. yudi doakan semoga segera bisa ke sabang segera
Deletewaaaaaaahhhh Lautnya Indah, harus dijaga dan dilestarikan nih coral dan ekosostem lautnya ..
ReplyDeleteIya mas.. sayang kalau coralnya sampai hilang
DeleteMasih pengen teriak: aku sabang kamu!
ReplyDeleteHahaha.. dan aku jadi penasaran sama lagu Rafli itu..
Oya selain arti biodiversity, sekarang Yudi sudah pandai mengucap Instagrammable :D
waaaaaa jangan buka kartu dong Kang :( lidahku masih suka makan pliek u bukan makan pizza :))
Deleteini videonya kang https://youtu.be/Gi1aojhdS-U
Mantap bro
ReplyDeletesip
DeleteHai... Terima Kasih sudah membaca blog ini. Yuks ikut berkontribusi dengan meninggalkan komentar di sini 😉