Di Mukim terujung Aceh Besar sebelah timur ini juga
pernah berjaya dengan pelabuhan penyeberangan Banda Aceh - Pulau Weh. Jauh,
sebelum Ulee Lheue kembali mengambil peran lamanya. Lalu, apa jadinya Krueng
Raya hari ini? Percayalah, tak lebih dari sebuah distrik mati nan sepi.
Beberapa
waktu lalu, rasa penasaran saya berhasil menuntun saya untuk menyambangi
Pemukiman sunyi ini. Mirip seperti kota mati. Tak banyak penduduk yang
berlalu-lalang. Beberapa kantor administrasi pemerintahan ataupun lembaga
terkesan sepi dan tak ada aktifitas. Jalanan yang lengang, sesekali hanya sapi
dan kambing yang melintas.
Menyusuri Jejak Laksamana Perempuan Pertama Di Dunia
benteng Indra Patra yang pernah digunakan oleh Keumalahati |
“Turun
dulu Bang, kita akan lihat pemandangan Teluk Krueng Raya secara utuh dari atas
sini” ujar bang driver yang langsung sigap dengan mematikan mesin mobil lalu
mempersilahkan saya turun dan merekam sebuah pemadangan yang luar biasa
tersaji.
Beberapa
kapal nelayan, terlihat berwarna-warni dan seperti disusun secara
beraturan dan berjejer. Tak bergerak. Ada dua buah kapal besar yang sedang
melakukan bongkar buat. Selebihnya, beberapa boat nelayan hilir mudik mencari
ikan di sekitar teluk. Di ujung mata memandang, bukit hijau berdiri tegak.
Seolah menghalau awan dan angin yang hendak menciptakan gelombang laut. Saya
terdiam seketika. Menikmati sebuah pemandangan bak sebuah lukisan tangan
seorang pelukis handal, tapi, ini nyata. Bukan lukisan.
Belum
lama mobil menempuh jalanan yang terjal, Bang Driver dengan cepatmengambil
haluan ke kiri. Ternyata kami dibawa ke benteng Inong Balee (wanita Janda).
Benteng Inong Balee adalah sebuah benteng peninggalan Laksamana Keumalahayati.
Benteng ini di bangun sebagai benteng pertahanan dan pusat logistik kapal
perang Aceh di jaman kesultanan Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid
al-Mukammil (1589-1604 M).
ini kok jadi kontras gini ya? hedeuh |
Disebut
sebagai Inong Balee atau wanita janda, karena kala itu, Sang Laksamana
mengumpulkan para janda yang suaminya telah menjadi korban perang melawan
Penjajah Portugis. Lalu, sejarah mencatat bagaimana kemasyhuran sepak
terjangnya. Ia, berhasil mengumpulkan 2000 orang wanita yang kesemuanya adalah
wanita janda perang. Tembok kokoh berdiri. Di pesisir pantai krueng raya
berjejer kapal perang yang gagah pada masanya berderet rapi. Bersiap untuk
menggerayangi setiap jengkal kapal penjajah yang nakal memasuki perairan Aceh.
Baca Juga Krueng Raya kota Para Janda
sisa benteng Inong Balee di Aceh Besar, Aceh-Indonesia |
Di hadapan saya, hamparan pepohonan yang hijau berdiri mengikat batu belikat yang membentuk dinding tua. Tapi, itulah dia, sisa dari benteng hebat sang Laksamana Keumalahayati-arti dari namanya adalah cahaya hatiku-yang pernah menjadi cahaya bagi seluruh kaum wanita Aceh sampai hari ini. Cut nyak dhien, pun terkesima dibuat olehnya. Langkah Cut Nyak Dhien menjadi seorang pemimpin perang tak luput dari inspirasi sang Laksamana.
Dinding
itu masih cukup kokoh, walaupun benteng tak berbentuk lagi. Beberapa pengunjung
dari Jakarta, terlihat sibuk menyusuri setiap inci dari sisa-sisa benteng kuno
itu. Di sisi lain dari benteng tersebut, ada sebuah makam tua dengan nisan yang
mirip dengan nisan lamuri. Istri saya mencoba membaca tulisan arab yang
terpatri di nisan tersebut. 1206 M “Selebihnya Adek nggak tahu bang” jawabnya
kala saya meminta menerjemahkan yang lainnya.
Bukit Ujung Batee Puteh
makam yang berada di kawasan benteng Inong Balee |
Bukit Ujung Batee Puteh
di puncak bukit bersama dengan para bocah. Taken by : Putri |
Suara
hiruk pikuk pelabuhan kini berganti dengan ciutan burung perkutut dan burung-burung hutan. Sesekali, terlihat sapi merumput di punuk bukit yang hijau. Sejauh mata
memandang, hanya hamparan hijau yang menenangkan mata terlihat. Tak jauh
dari jalan aspal berbukit, saya disuguhkan sebuah pemandangan yang unik.
Jalanan
berbatu ini berakhir pada pasir hitam halus yang berwarna legam, seolah menjadi
kontras kala berpadu dengan tebing putih yang gagah. Tebing Putih terjal tinggi
menjulang. Beberapa pohon tumbuh di sisi tebing kapur yang putih beradu hijau
ini, menjadikannya sebagai hal yang indah dan unik. Pesona pantai yang terletak
di Kilometer 47 dari Banda Aceh menuju ke kreung raya ini, akan semakin indah
ketika saya berada di puncak bukitnya.
selalu kangen dengan pemandangan ini, walaupun kudu harus berpanas-panas ria |
Berdiri kokoh berwarna putih. Menjadikan pemandangan di sini seperti layaknya di negeri subtropics. Seketika lelah, dan penat saya hilang. Hanya rasa tenang, nyaman, dan bahagia yang saya rasakan. Dari atas bukit batu putih ini pula, kesan kota mati ataupun kota para janda menghilang. Semuanya tersaji indah di hadapan saya.
Di
sebelah utara, dari atas bukit, terlihat sebuah pantai dengan pasir berwarna
putih bersih. Debur ombak yang mengalun lembut, pepohonan yang tumbuh
rapat-rapat nan hijau. Berbanding terbalik dengan sisi selatan bukit. Dan,
inilah uniknya. Bukan hanya tebing bukit kapur berwarna putih, melainkan saya
langsung diperlihatkan dua pemandangan unik sekaligus.
Makam Laksamana Keumalahayati
Mobil
putih yang sudah tak karuan warnanya ini karena berkalang lumpur kembali ke
jalanan aspal. Memacu sedikit kencang lalu berbelok ke kiri lagi. Tepat di
depan pelabuhan Keumalahayati. Hasrat diri begitu ingin menuntaskan seluruh
rangkaian cerita dari Mukim Kuno Krueng Raya hari ini. Saya dan istri mengunjungi makam sang pencetus emansipasi wanita pertama
kalinya dalam dunia kemiliteran dunia. Dialah, Laksamana Keumalahati.
jalan menuju ke Makam Keumalahayati |
Ada
tiga makam yang dinaungi cungkup. Di sana, terbaring jasad Laksanama
Keumalahayati, suaminya dan anaknya. Dipusara Nisan yang berbentuk caping itu,
saya duduk terdiam dan termenung. Merenungi semua kisah hebatnya berjuang demi
tanah negeri tercintanya dari tangan-tangan penjajah.
Kondisi makam cukup terawat loh |
** Artikel
ini pernah dimuat di www.harianaceh.com
Keterangan foto paling atas : pemandangan di salah satu sudut Krueng Raya/Arie Yamani/www.arieyamani.blogspot.com
Keterangan foto paling atas : pemandangan di salah satu sudut Krueng Raya/Arie Yamani/www.arieyamani.blogspot.com
Comments
wah saya suka klo liat wisata model model kuno gini, kadang suasana disana agak gimana gitu mas klo pas sendirian haha
ReplyDeletewkkk iya Mas, kalau sendirian yaaaaaa gitu deh
DeleteBisa jadi satu cerita begini ya :D
ReplyDeleteBenang merah perjalanan #Asyekk
iya begitulah heheh satu daerah ada ceritanya full :D
DeleteWalaupun sepi dan sunyi, tapi aku suka dengan Krueng Raya. Terkadang ramai pun tak selalu berkontasi positif. Pun dengan sepi, tak selalu negatif. Sunyinya Krueng Raya itu romantis.
ReplyDeleteiya juga ya Bang ari, jadi bang ari dulu sering kemari kan ya?
DeleteMembaca ceritanya, pasti apik kalau diadaptasi jadi film kolosal. Tentang pertempuran para janda melawan de Houtman, tentang Laksamana Keumalahayati, wah..
ReplyDeletePemandangannya cakep! Suka dengan lanskap laut berwarna toska yang berpadu tebing putih.
pengennya juga gitu sih Teguh, soalnya Keumalahayati juga sekarang udah jadi pahlawan nasional
DeleteWah, belum pernah aku kesitu bg :D
ReplyDeletehe??? Serius?
DeleteAlur ceritanya bikin saya terhanyut, seperti makam Laksamana Malahayati belum pernah sampai ke situ. Bener bang, deretan bukit di situ serasa mirip di Rep. Irlandia (walaupun belum pernah ke sana)
ReplyDeleteYoks lah ke situ..hehe
Deletekadng cerita-cerita tentang kehebatan masa lalu seolah terkubur denagn nama yang tak banyak dikenal seperti krueng raya ini bang. nice articel
ReplyDeletenah itu dia Jo, kalau nggak sering2 dibahas maka akan hilang seiring waktu
DeleteIh, cantiknya pemandangan Teluk Krueng Raya. Itu wisatawan boleh main di pantainya mas? :D
ReplyDeleteboleh dooong... terbuka untuk umum kok :)
DeleteHai... Terima Kasih sudah membaca blog ini. Yuks ikut berkontribusi dengan meninggalkan komentar di sini 😉