Sore masih, ruangan aula besar ini mulai memperlihatkan gemuruhnya. Suasana yang awalnya kaku berubah menjadi begitu mencair. Dentuman drum bercampur dengan rapai. Rintihan gitar berpadu dengan tepukan tangan yang memberikan nada-nada mistis tersendiri.

Saya sempat ragu, jika acara festival musik daerah ini akan berhasil menyita perhatian banyak orang. Pun, biasanya tak lebih dari sebuah ajang musik biasa. Tapi, penampilan totalitas dari sebuah grup yang musik yang berasal dari kabupaten Bireuen, mampu membuat semua pikiran picik saya sirna.

Sudah lama rasanya di Banda Aceh ada ajang musik band seperti ini. Bila saya tak salah, masa-masa kejayaan event-event ngeband ini berada pada awal tahun 2000an. Namun kali ini, Dinas Pariwisata Provinsi Aceh mencoba melakukan sesuatu hal yang sedikit lebih unik dari biasanya. Aceh Musik Festival, dimana seluruh peserta diberikan kebebasan berekspresi dalam membuat musik-musik yang berlirik Aceh.

Setelah melalui proses screening yang panjang akhirnya loloslah 13 grup musik kontestan yang berasal dari berbagai daerah di Aceh. Mulai dari kota Banda Aceh sampai kabupaten Aceh Tengah. Dan, jujur saja, ternyata musik etnik Aceh yang dimainkan oleh para peserta cukup asyik didengar. Mulai dari genre rock sampai pop pun dilatunkan.

kawan-kawan dari Juang Art Community
“Kami, pada prinsipnya hanya sebuah komunitas bang, sampai akhirnya 2 tahun yang lalu kami melegalkan komunitas ini. Didalamnya, bukan hanya ada musisi, namun kami menampung semua seniman muda yang ada di Aceh.” Ungkap Yayan yang merupakan wakil ketua dari Juang Art Community yang berbasis di Bireuen ini.

Grup JAC menampilkan satu performance yang luar biasa ini, berhasil mengantarkan mereka menjadi juara satu dalam acara tersebut. Tapi, bukan itu yang ingin saya bahas. Terlepas dari mereka juara satu atau tidak, musik mereka, gaya mereka, berhasil membuat saya terharu dan tercekat.

Bagaimana tidak, musiknya sedikit mirip dengan musik-musik yang beraliran perkusi, didalamnya ada celempung, sebuah alat musik dari bambu yang bersenar. Lalu ada seruling bambu, dan tak lupa Rapai. Iya, alat perkusi khas dari tanah Aceh pesisir ini menjadi seperti alat musik wajib dalam menunjukkan kekhas-an musik Aceh.

Rapai, Suling, Dan, Celempung
Menariknya, sesekali ketika mereka menepuk dada dan tangan, mirip sekali dengan tari Saman. Sesekali, gitar listrik melengking tanpa ampun. Lalu, drum dipukul tanpa henti. Tiba-tiba hening. Selanjutnya, saya dan hampir seluruh para penonton yang hadir di gedung AAC DAYAN DAWOD Universitas Syiah Kuala ini merinding sejadi-jadinya.

Seorang pemain Celempung, lengkap dengan pakaian adat Gayo berdiri menggunakan kain kerawang Gayo. Berjalan ia dengan pasti menuju ke tengah panggung. Dan, ia pun menarikan tarian Guel. Alamak! Semua penonton berdiri. Bertepuk tangan dan tak henti seolah tersihir oleh keapikan tarian guel.

Kemudian, musik kembali berubah alunan. Sedikit kencang dengan tabuhan rapai. Kini, giliran seorang pemain rapai yang berdiri menuju ke tengah panggung. Lalu... ia menepuk nepuk bagian perutnya. Ya! Ia menarikan tarian Seudati. Sebuah tarian asli dari tanah pesisir Aceh.

seorang pemain celempung, menarikan tari Guel dengan terus diiringi alat musik kontemporer
Kini, saya benar-benar meneteskan air mata. Bagaimana mungkin?

Selama ini, kala berbicara Aceh, seolah selalu ada sekat antara yang pesisir dengan yang pengunungan. Selalu ada keriuhan dalam politik jika sudah membahas dua kawasan Aceh yang berbeda ini. Tapi di sini? Mereka berhasil menyatukan dua budaya tanpa satu orangpun yang komplain. Paduannya begitu syahdu. Tepukan tangan semakin meriah. Penonton semakin terhipnotis ketika dua penari ini tanpa henti menunjukkan kebolehannya masing-masing. Celempung berbunyi merdu. Rapai di pukul dengan garang.

Hingga akhirnya, berhenti dalam harmonisasi yang sungguh luar biasa.

“Bang, yang kami mainkan tadi berjudul, Murum Meusajan. Artinya Kebersamaan. Kita harus mengakui kalau Indonesia ini kaya akan budaya. Juga demikian dengan Aceh. Garapan musik ini sebenarnya menceritakan perpaduan dua warna kebudayaan yang sangat kontras. Antara keras dan kelembutan, panas dan dingin, terang dan gelap, tinggi dan rendah, pesisir dan pegunungan. Semuanya kami tuangkan menjadi satu kesatuan. Inilah yang kami sebut Murum Beusajan-kebersamaan” jawab Yayan ketika saya menanyakan apa maksud dari karya musik yang mereka pentaskan tadi.

ingin rasanya saya menyalami mereka sambil terus mengucapkan terima kasih
Yayan juga mengatakan kalau selama ini, ia dan teman-teman di JAC juga merasakan kegelisahan yang sama. Aceh seolah terpecah belah karena faktor budaya yang dipolitisasikan. Walaupun JAC berasal dari Bireuen, akan tetapi semua anggota mereka berasal hampir dari seluruh Aceh. Lengkap dengan berbagai background budaya dan bahasa.

Jika mereka bisa bersatu dalam lantunan musik, mengapa kita tidak? Inilah pesan kuat yang saya dapatkan selama menyaksikan pementasan mereka.
drummer dari grup Cupa Band yang berasal dari Banda Aceh. Ganteng ya? #eh