“Yank, bayinya nggak bergerak lagi ini!”
Istri mulai panik. Keadaan semakin runyam.
Pikiran mulai membayangkan hal-hal yang tak diinginkan. Bagaimana jika bukan rezeki saya dan istri untuk amanah anak ketiga dari Tuhan? Sumpah, saya panik!
Tangan kanan, mengenggam kuat Ziyad, anak sulung yang memekik histeris. Menangis setiap kali letusan laknat itu berbunyi.
Tangan kiri, action cam yang terus menerus menyala. Tidak jelas apa yang terekam.
Istri, masih terus melarikan diri dari tengah keramaian yang tak tahu
diri. Sembari menggenggam Bilqis, si kriwil, anak kedua kami. Perutnya yang
hamil 7 bulan, bajunya yang gamis, ini seharusnya liburan keluarga bukan
musibah!
Jika benar-benar terjadi, bayi dalam kandungan
istri ini tak lagi bergeming, maka saya akan menggulai tiga orang sahabat yang
menularkan ide gila ini kepada saya, dan Satya Winnie. Tersangkanya, Rio,
Makmur dan Akbar. Tiga pria dewasa nan jomlo asli Pidie, sekaligus teman tempat saya berbagi cerita
tentang Sigli selama ini.
Saya dan keluarga, Rio, Akbar, dan Makmur,
bermaksud memperkenalkan atraksi budaya asli Pidie kepada Women Travel Blogger
Nasional, Satya Winnie. Dan ini, adalah kali kedua saya bertemu
dengannya di Aceh. Kesan pertama bertemu dengannya? tak begitu bagus. Dia buru-buru mengejar konten hingga akhirnya hanya berbicara sepintas
lalu.
Namun, tidak kali ini! Satya, si penggila
paralayang ini, memutuskan untuk berpuasa di Aceh.
Yaps, Berpuasa sekaligus
merasakan suasanan Idul Fitri di Aceh. Ntah apa yang dicarinya. Seperti yang kamu ketahui, Satya,
beragama katolik. Namun, ia tetap bersikeras untuk mengenal kampung halaman
saya yang tak seberapa megah dalam dunia traveling Indonesia ini.
Bilqis berselfie ria bersama Tante barunya, Satya |
Berulang kali, saya menanyakan kesungguhannya.
Berulang kali ia menegaskan kalau ia ingin merasakan suasana Puasa di Serambi
Mekkah! Tak tanggung-tanggung, ia juga menyiapkan beberapa pakaian yang sangat
sopan untuk memuluskan niatnya tersebut.
“Tolonglah Satya, nanti orang-orang akan akan
mengira jika ke Aceh wajib Jilbab terutama bagi yang non Muslim! Capek saya
nanti menjelaskan ke netijen yang maha benar itu!” siapa yang tak gelisah,
coba? Image Aceh selalu tak sempurna di mata para pemburu berita. Ini,
seorang artis blog travel nasional malah nekat berpakaian “sopan” ke Aceh.
Mundurkah dia?
Tidak! Tekadnya sudah bulat. Aceh sudah masuk
dalam list kunjungannya Ramadhan kali ini.
“Bang Yud, saya melakukan ini demi menghargai
Aceh. di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung, kan? Orang-orang Aceh
menghargai pendatang seperti saya. Sudah sepantasnya saya menghargai kalian,
Aceh, dengan semampu saya.”
tertebak kan dia ada di mana? source : instagram @satyawinnie |
Akbar, Rio, dan Makmur, saya hubungi. Meminta bantuan untuk menjelajah Pidie di idul fitri. Sebenarnya sekalian, kebetulan kampung istri juga ada di Pidie. Tepatnya, di kampung Tong Pria, tak jauh dari kampungnya Tgk Chik Di Tiro.
Dari Meriam Bambu Sampai Masjid Tua Tiro
Tujuan awal kami, serombongan, adalah menikmati secara langsung pesta rakyat Pidie ketika malam Idul fitri kedua. Teut Beude Trieng ( Bakar Meriam Bambu). Mungkin, sebagian kita telah akrab dengan budaya ini. sebagian wilayah Indonesia ada melakukan budaya ini. Permainan rakyat ini, cukup familiar dengan mereka yang berumpun Melayu. misalnya di Pangkal Pinang, Minangkabau, dan Betawi. Atau, di Jawa tengah, Jawa timur dan Yogyakarta lebih mengenalnya dengan mercom Bumbung atau Long Bumbung.
Meriam dari bambu, dengan amunisi dari minyak tanah dan premium, hanya untuk anak-anak (?) Sumber foto : Akbar Rafsanjani |
Sudah, jangan tanya seberapa besar dentumannya.
Dan anehnya, orang Pidie ini, bukannya mereka takut, malah beramai-ramai
menontonnya dari jarak dekat! Rumah-rumah warga bergetar dengan hebat. Beberapa
kaca rumah yang berdekatan areal perang, ada yang pecah. Namun, tak ada yang
mengeluhkannya. Begitulah, ini menjadi ajang mereka berpesta pora. Menyambut
saudara jauh yang pulang menyapa keluarga di Pidie.
ini? adalah sumbu pemicu ledakan maut dari meriam karbit! |
Malam, sudah cukup larut. Tak surut sedikitpun
jejak langkah para pengunjung dari seantero Pidie. Kami, melanjutkan
perjalanan. Badan sudah lusuh. Bau tak sedap lagi. Namun, menghabiskan malam
begitu saja, rasanya tak seru. Kami, memutuskan untuk mengisi stamina yang
telah usang ini dengan meneguk kopi khas tanah pidie. Bukan, bukan sanger! Tapi
Kopi Boh Manok atau Kopi telur kocok.
Perpaduan kopi robusta dari tanah Tangse ( masih
dalam kawasan kabupaten Pidie) dicampur dengan merah telur ayam kampung.
Sedikit susu kental manis, sedikit gula, sedikit jeruk nipis, lalu jadilah dia
dalam satu gelas.
Dari pinggiran Garot, rombongan kami menuju Keude
Lameue, Kecamatan Sakti. Jika dari Gle Gapui, lokasi kampus Universitas Jabal
Ghafur, lalu mengambil jalan nasional menuju Lamlo. Sekitar 5 km ke depan, ada
deretan kedai kopi tradisional di sebuah pertigaan. Di sanalah warung kopi
telur kocok pidie legendaris berada.
wajah wajah kekenyangan akibat kopi telur |
Kami, menyatu dalam syahdunya malam. Obrolan demi
obrolan melantur. Bergosip, tertawa, sampai berbagi ilmu blogging. Kopi telah
habis masuk ke dalam perut-perut lapar. Stamina telah terisi kembali. Saatnya
kembali pulang, ke kota Sigli. Untuk esok melanjutkan perjalanan ke kampung
halaman istri.
“Satya, di kawasan ini, kita akan dengan mudah
menemukan masjid tua. Masjid-masjid dengan kaligrafi asli dari jamannya,
berbahan dasar kayu, dan beberapa diantaranya merupakan peninggalan era
kesultanan Aceh dahulu.” Saya berusaha menjadi guide yang baik sekaligus sok tahu kepada Satya.
Tak lama, kami berhasil menemukan sebuah masjid
tua yang teronggok tak terurus. Tepatnya, di kawasan kecamatan Tiro. Masih satu
dalam area sekolah agama Islam di Kecamatan ini. tak jauh dari pusat wisata Pemandian
Pintu Satu Tiro.
Menurut penuturan teman saya yang cukup paham
sejarah, ia menyakini, jika masjid yang kami temukan ini, merupakan salah satu peninggalan dari Teungku Chik Di
Tiro. Seorang pahlawan Nasional sekaligus seorang ulama besar dari Aceh. Sayang
seribu sayang, tak terurus.
Sebagian bangunannya telah dimakan rayap. Saya,
dan Satya melangkah perlahan. Menikmati setiap sudut yang masih tersisa.
Menikmati setiap ukiran yang masih tampak indah. Takjub, sedih, haru, dan
bahagia. Membuncah menjadi satu. Pidie memang selalu punya cerita.
Terkantuk-kantuk ia di kursi belakang. Sesekali ia tertidur. Perjalanan panjang ke Pidie membawa pengalaman tersendiri kepada Satya, begitupun kepada Bilqis dan Ziyad. Mereka menemukan tante baru dari Jakarta. Saya, tersenyum bahagia, karena akhirnya mengerti jika aceh ini, begitu banyak budaya dan wisata yang belum tertuliskan dalam blog sederhana ini.
“Yank, bagaimana bayinya? Apakah masih diam?” saya
tiba-tiba teringat akan kejadian kala meriam karbit itu meletus.
“alhamdulillah, si dedeknya senang. Ia senang bisa
jalan-jalan sekeluarga. Sehat terus ya Nak” istri saya menjawab sembari
menenangkan ayah dari jabang bayi yang dikandungnya.
Syukurlah...
Comments
sudah ketemu sama Satya di Yogya, orangnya ceria dan suka cerita nyablak khas orang Batak. Kapan ya saya bisa ke Aceh pengen merasakan suasana Ramadhan di Aceh
ReplyDeletehahahaha rame kan orangnya ya kak? :D
Deletewidih makin penasaran dengan aceh, kayaknya masih banyak fakta2 menarik yang bisa dibuktikan kebenarannya dengan datang langsung dan bukan dari media2
ReplyDeleteada banyak hal sebenarnya bang, dan tugas saya hanya mampu menyajikan se-Objektif mungkin agar tak terkesan pembelaan
DeleteHai... Terima Kasih sudah membaca blog ini. Yuks ikut berkontribusi dengan meninggalkan komentar di sini 😉