sumber foto : http://niasselatan.travel
"Yud, kamu tahu? di Pulau Nias ada suku Aceh. Mereka sudah lama bermukim di sana dan tak pernah menginjakkan kakinya di Aceh" Bang Abu Khaidir, Seorang photografer kawakan di Aceh, memberikan penjelasan singkat. Namun membuat saya begitu bingung. Benarkah?

Beberapa pria terlihat berdiri sebanjar. Siap melompati sebuah prisma segi empat berujung datar. Bangun ruang itu dibuat menyerupai batu. Tersusun rapi ke atas. Kemudian, pria paling depan yang berdiri sekitar dua puluh langkah dari batu buatan itu, berlari kencang. Melompat ringan bagai katak sakti yang menjulurkan kaki ke depan.

Hanya dalam hitungan detik, pria tersebut berhasil melewati batu setinggi dua meter. Teman-temannya yang semula berada di belakang, segera menyusul. Ritme lompatannya cepat. Ya, cepat sekali!

sumber foto : www.kompas.com/Barry kusuma
Begitulah atraksi fahombo atau lompat batu yang ditampilkan di Balairung Soesilo Soedirman, Jakarta, pada 25 juni 2018 lalu. Atraksi tersebut dalam rangka peluncuran Ya’ahowu Nias Festival 2018 yang akan berlansung pada 16 sampai 20 November nanti.

Saya melihat atraksi terkenal dari Nias itu dalam sebuah dokumentasi yang disiarkan oleh Kementerian Pariwisata Indonesia melalui akun youtube mereka.

Konon sejarahnya, lompat batu berfungsi sebagai tolak ukur buat menentukan pria dewasa yang sudah layak ikut perang. Bila mereka mampu melompati batu, maka mereka sudah layak ikut perang.

Kenapa harus melompati batu setinggi dua meter? Karena suku-suku di Nias waktu itu, membangun benteng untuk menlindungi wilayahnya dari perang antar suku. Seiring berakhirnya masa perang, lompat batu yang sering dilakukan guna menyeleksi pria dewasa, akhirnya menjadi tradisi.

Dalam perjalanannya, tradisi lombat batu yang unik ini, mulai dikenal masyarakat luas dan menjadi simbol budaya bagi masyarakat Nias.

Niat dalam hati membuncah, saya jadi tak sabar ingin terbang, dan melihat secara langsung dengan mata telanjang,  bagaimana pagelaran Ya'ahowu Nias Festival tahun ini! Apalagi, jika bukan demi melihat apa yang digambarkan pada uang seribu jaman saya Sekolah Dasar dahulu.  

Dari berberapa media daring yang saya ikuti, Dinas Pariwisata Kepulauan Nias menargetkan 50.000 (lima puluh ribu) wisatawan dari  dalam dan luar negeri. Selain itu, Ya’ahowu Nias Festival 2018 juga diniatkan sebagai strategi mendatangkan 1 juta wisman ke Pulau Nias hingga 2024.

Tarian yang akan dilaksanakan di Pulau Nias dalam acara festival Yaahowu 2018. sumber foto : kabarnias.com
Menariknya lagi, bapak Dr Hilarius Duha, , Bupati Nias Selatan, katanya ingin menjadikan festival ini sebagai modal kesatuan wilayah Kepulauan Nias untuk bersiap menjadi daerah otonomi baru. Yakni Provinsi Kepulauan Nias. Jadi nggak kebayang, gimana dahsyatnya Ya’ahowu Nias Festival 2018!, Seperti layaknya festival Sentarum yang lalu, tujuannya mirip-mirip. Jika Sentarum, diniatkan untuk merajut tali silahturahmi antar suku. Festival yang berarti Selamat Datang ini, ditujukan untuk memperkuat budaya antar suku yang ada di Nias. Ah, Indonesia memang...

Selain mempertontonkan tradisi lompat batu yang akan dimainkan oleh 100 pelompat batu, akan ada tari perang spektakuler loh. Tarian Fataele Nias judulnya. Berasal dari Desa Bowanatallio. Tarian perang ini menceritakan tentang perang antar suku yang memperebutkan wilayah.

 “Acara ini akan meneguhkan bahwa Nias tak kalah indah dari Bali, Lombok, dan tempat tujuan wisata lainnya di Indonesia,” saya menganggap, kalimat ini adalah harapan sekaligus benang pengikat dalam era milineal sekarang ini. Hal tersebut disampaikan oleh pak Wakil Bupati. Siapa sih yang tak ingin? Aceh, juga memimpikan hal yang sama. Nias, Sabang, Mentawai, Kupang, dan entar berapa provinsi lainnya di Indonesia.

hayoo...siapa yang dulu masa sekolah dasarnya bahagia banget dapat ginian? 

Indonesia, negeri yang besar ini, kaya akan budaya, sejarah, bentang alam, serta tradisi masyarakatnya, rasanya, amat sayang jika dibiarkan begitu saja. Dalam menuliskan tulisan ini pun, saya membayangkan keriuhan, kemegahan, dan sorak gembira para pengunjung tatkala pemuda suku yang ada di pulau Nias, melompati dinding batu, satu persatu.

Jika ada yang bertanya, apa sebenarnya keinginan terbesar saya, selain menyaksikan langsung atraksi lompat batu yang ada di pecahan uang kertas 1000 keluaran Bank Indonesia tahun 1992 itu, tiada lain adalah ingin berinteraksi dengan masyarakat local serta mengejar jejak Aceh yang terserak di Nias.

rundown acara festival Yaahowu tahun 2018
Kawan, dikabarkan, ada masyarakat yang bersuku Aceh di sana. Salah satu indikasinya adalah, nama mereka ditabalkan kata “Aceh” dan “Polem” di depan atau di belakang nama mereka. Ini menarik, nostalgia masa kecil dengan uang pecahan seribu di tahun 1992, berpadu dengan jejak sejarah serta budaya dari kampung halaman sendiri? Apalagi jika bisa terbang dengan pesawat (ehem-ehem) Garuda. Duh, lengkap sudah kebahagiaan..

Saatnya, merapalkan mantra, semoga mimpi ini, terwujud! Amien...