“Matee aneuk meupat jeurat matee adat han Pat tamita.”
Begitulah kerap terdengar peribahasa Aceh. Dalam pelestarian adat istiadat. Aceh yang dikenal dengan beraneka ragam kebudayaan warisan leluhur.
Memasuki era globalisasi banyak orang Aceh melupakan adat budayanya sendiri. Salah satunya seperti seni rapai.
Rapai sebuah instrumen musik perkusi tradisional Aceh yang dimainkan dengan memukul tanpa menggunakan stick. Mulanya rapai dimainkan pada abad ke-11. Dibandar khalifah kerajaan Aceh, sekarang Gampong Pandee Banda Aceh.
(Gambar dari @rapa'i Aceh)
Rapai adalah sebuah instrumen musik yang terbuat dari pohon nangka, pohon meudang, pohon Ara yang sudah cukup tua. Namun untuk rapai besar dibuat dari kulit sapi atau kambing lalu dilengkapi baloh. Agar keluar suara gemerincing ketika dipukul.
Instrumen musik ini merupakan warisan leluhur orang Aceh. Namun efek dari perkembangan zaman modernisasi. Seni budaya ini semakin merosot. Bahkan nyaris hilang, seperti rapai tuha.
Di daerah perdalaman Aceh Barat seperti Kecamatan Sungai Mas, Panton Reu dan Woyla Raya. Masyarakat masih berupaya mempertahankan kesenian rapai tuha ini.
Salah satunya dengan sering mengadakan perfomance di acara-acara perkawinan. Meskipun tanpa dibayar. Mereka tampil dengan suka rela sebagai kegemaran.
Lazimnya para rapai tuha ini, tampil pada malam preh lintoe atau preh dara baro.
Bahkan dalam dekade ini. Para pencinta rapai tuha kembali membentuk struktur organisasi rapai tuha. Seperti khalifah rapai atau yang dituakan.
Biasanya khalifah ini diperlakukan lebih spesial, saat ada penampilan diacara perkawinan. Seperti nasi yang terhidang didalam nampan. Sedangkan anggota dijamu seperti biasanya.
Dan juga mereka sering berlatih dalam waktu yang telah ditetapkan. Serta mengadakan acara meutunang atau berlomba dalam bermain rapai antar grup itu. Atau sering mengundang ketika ada penampilan di kampung masing-masing.
(Acara Peusijuk anggota rapai tuha)
Rapai tuha ini dimainkan oleh para lelaki dewasa. Kebanyakan dari mereka sudah berkepala lima. Mungkin sesuatu yang unik ketika menyaksikan para Bapak berumur itu menikmati pukulan bundar itu. Sambil bersyair merdu.
Meskipun usia mereka terbilang senja. Ketika tampil diarena pertunjukan para sesepuh ini. Nampak binar bergelora. Menampakkan wajah ceria dan semangat
muda dalam memainkan benda bundar itu.
Usaha para orang-orang pencinta rapai tuha ini. Dalam melestarikan kesenian tradisional ini. Perlu diapresiasikan dan dicontoh. Untuk terus mencintai kesenian lokal.
Bagi saya dan anak-anak lain di perdalaman Aceh Barat ini. Rapai tuha bukan sesuatu yang asing. Karena sedari kecil. Performance seni rapai ini sering disaksikan di acara perkawinan.
Di era modern ini, para orang tua tersebut. Masih berusaha untuk mempertahankan seni itu. Dengan sering tampil di acara perkawinan. Agar generasi paham inilah kesenian tradisional Aceh.
Rapai tuha kerap disandingkan dengan rapai dabus. Namun di Aceh Barat, sangat jarang ritual dabus itu dimainkan.
Untuk memeriahkan acara perkawinan. Di daerah Aceh Barat ini, sangat jarang ada permomance musik selain seni adar sendiri. Terlebih di daerah pedesaan. Lebih dominan pada acara perkawinan, turun mandi anak dan sunat rasul.
Dimeriahkan dengan kesenian daerah seni daerah. Seperti pembacaan shalawat Burdah/dalael khairat, rapai geleng, meuseukat, tarian Ranup lampuan, seumapa, dan rapai tuha.
Comments
Hai... Terima Kasih sudah membaca blog ini. Yuks ikut berkontribusi dengan meninggalkan komentar di sini 😉