Kapal Motor Penyeberangan Teluk Singkil, terlihat gagah berdiri. Ombak yang memainkan lambungnya, terlihat seperti tak berarti. Satu persatu, para penumpang masuk. Ia telah telat satu jam dari jadwal yang seharusnya. Namun, hari itu, tak ada pilihan lain. Menunggu lebih lama, atau berangkat kosong. Tanpa penumpang, hanya satu dua mobil pick up, pengangkut kebutuhan pokok. Selebihnya, hanya beberapa masyarakat pulau Balai.

Hari itu, Pelabuhan terlihat sangat lengang. Tidak seramai ketika hari libur sebelum pandemic melanda. Biasanya, pelabuhan yang terletak di Pulau Sarok kecamatan Singkil ini, begitu sibuk. Melayani penumpang yang ingin berlibur ke Pulau Banyak. 


“Bang Yudi, apakabar? Bagaimana keadaan di Banda Aceh? Aman kali lha ya? Beda dengan di sini. Kami udah mulai koyak-koyak efek covid” 




Sergah Mefri. Seorang teman lama, yang memilih pulang kampung, ke Pulau Balai, yang merupakan ibukota kecamatan Pulau Banyak. Pemuda asli suku Singkil ini, setelah lulus kuliah di Provinsi Sumatera Utara, ia memulai usaha travel pariwisata di Pulau Banyak. Kini, mesin boat sudah mulai berdebu di Gudang. Tak ada tamu yang datang berbulan lamanya.


Mefri, tentunya tidak sendiri. Ada begitu ramai pelaku wisata yang terkena impas dari pandemic yang telah berlangsung hampir setahun ini. Namun, hari ini, saya tak ingin membahas hal tersebut. Melainkan sesuatu yang membuat saya begitu senang, Bahagia, haru, semuanya menjadi satu. 




Semangat! Ya, semangat masyarakat dan pemerintah kabupaten Aceh Singkil untuk terus berbenah. Menambal yang bocor, menutupi sesuatu yang kurang, memperbaiki yang masih belum baik. Begitulah, kesan yang saya dapatkan Ketika kembali ke sini. Ke Pulau Balai dan Pulau Panjang. 


Masih tergambar dengan jelas. Kondisi awal, ketika kali pertama mengunjungi pulau ini, beberapa tahun lalu. Tepatnya, akhir tahun 2016. Bersama dengan keluarga, kami bertamasya ke Aceh Singkil. Ke Pulau Banyak. Lalu, ke pulau Panjang, yang menjadi salah satu tujuan destinasi wisata di kabupaten yang berbatasan langsung dengan provinsi Sumatra utara ini.



Walaupun saat itu, para wisatawan mulai memenuhi penginapan sederhana di Pulau Balai. Namun, kondisi pulau Panjang belumlah sebagus saat ini. Masih hamparan pokok kelapa. Beberapa warga, menjadikan pulau tersebut sebagai tempat berkebun. Hanya, seorang pendatang dari luar, yang membangun resort di sisi selatan pulau. 


Pun, akses ke penginapan itu, tak semudah yang dibayangkan. Fasilitas pendukung, belum terlalu mumpuni. Wahana wisata juga, hanya mengunjungi pulau-pulau kosong. Tanpa atraksi apapun. Hanya melihat hamparan laut yang biru, pasir putih, lalu, pulau kosong. Memang, bagi Sebagian orang, ini adalah liburan yang mewah. Bagaimana tidak? Bak sultan pemilik pulau-pulau di Palm Tree Island sana. Namun, Ketika engkau berlibur Bersama anak-anak? Lain lagi ceritanya. 

Pulau Panjang, Kini berbenah

Betapa kagetnya saya, ketika berhasil mengunjunginya ketiga kalinya. Perubahannya begitu drastis. Masyarakat desa Pulau Baguk, yang bermukin di pulau Balai, kini memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Pulau Baguk. Yang Sebagian besar kegiatannya, bergerak di penyediaan jasa pariwisata. Mulai dari penyewaan sepeda keliling pulau Balai. Antar-jemput menggunakan speed Boat, hingga penginapan yang lengkap dengan restoran. Semuanya dimiliki oleh BUMDES. 




Pulau Panjang, yang tadinya tak terkelola dengan baik, kini menjadi tempat liburan yang seru. Sore hari, sebelum sunset menyingsing, kamu bisa memainkan kayak/kano. Atau mancing casting. Setiap kamar yang dibangun secara terpisah, semuanya menghadap ke arah timur. Berbentuk rumah panggung, dan ketika fajar menyapa, cahaya mentari yang hangat, akan membelai kasurmu. 

Iya, begitu romantis. 


Begitu, berkesan. Sederhana, namun mewah. 



Tak cukup sampai di situ, pulau yang memanjang dari utara ke selatan ini, menjadi begitu lengkap ketika hamparan pasir putih, begitu memanjakan tapak kaki. Akses tak lagi sulit, semuanya menjadi begitu terjangkau. 


(Begini cara ke Pulau Banyak; Banyak Jalan ke Pulau Banyak )


Namun, sebuah fakta memiriskan hati tak mampu saya pungkiri. Pulau yang indah ini, terancam abrasi. Garis pantai, dari tahun ke tahun terus menyusut. Jika hal ini terus tak dipikirkan Bersama, efek dari pemanasan global, akan membuat pulau ini hanya tinggal cerita. 



Ini menjadi sebuah cerita simalakama. Di satu sisi, ia menjadi factor penarik wisatawan yang ingin liburan di pulau yang bersih dan asri. Di sisi lain, kondisi alam memaksanya untuk mampu bertahan. Pun, jika dibangun penahan ombak, maka sisi alamiahnya akan hilang. Namun, inilah pilihan. Bertahan atau hilang ditelan lautan.


Jika nantinya ingin bertahan, semua pihak agar duduk bersama. Bukan hanya pulau panjang. Ada pulau Rangit, Tailana, Palambak, dan banyak pulau lainnya. Jangan sampai, rencana investasi besar dari Uni Emirat Arab, hanya datang sesaat. Lalu pindah ketika pulau-pulau habis. Dimakan oleh Samudra Hindia. 



Saya, ingin pulau ini tetap bertahan. Agar tetap mampu menceritakan betapa indahnya negeri ini. Mungkin, sampai anak-anak saya memiliki generasi penerus, pulau ini, harus bisa tetap berdiri. Entah bagaimana caranya. [yr]