Suhu udara yang makin panas, musim hujan dan kemarau yang tidak lagi menentu, serta cuaca ekstrem seperti hujan badai yang belum pernah terjadi sebelumnya sudah melanda Indonesia. Tidak terkecuali Aceh!

Seingat saya, cuaca di Aceh khususnya Kota Banda Aceh, mulai mengalami musim yang tak jelas semenjak terjadinya gempa dan tsunami aceh, tahun 2004 silam. Sadar tidak sadar, suka tidak suka, kondisi pesisir laut di Banda Aceh dan sekitarnya berubah cukup signifikan. Mulai dari bentang pesisir pantai sampai hilangnya Sebagian besar hutan mangrove dan cemara laut.

Bagi Banda Aceh, yang menjadi kota dengan berbatasan dengan Samudera Hindia di sisi Barat dan Selat Melaka di sisi Utara, menjadikan kota ini cukup rentang dengan hembusan Angin laut. Jika dulu, kondisi normal Banda Aceh berada pada suhu 26°C sampai dengan 30°C. Namun, hari ini, semua berkata lain.

Kondisi kini diperparah dengan laju deforestasi di Aceh pertahun 2020-2021 mencapai 19.443 Hektar. Kesimpulan sederhananya, Aceh hari ini, panas! Dan langganan banjir.

Pagi Sabtu, di sudut kota Banda Aceh, di sebuah sekolah Dasar negeri 6 Banda Aceh, selintas terlihat sangat sederhana. Sisi kiri pintu gerbang sekolah tersebut berdiri tugu peringatan ketinggian air Tsunami. Dalam sebuah plakat tercatat sebuah catatan penting.



“TUGU No 42. Tinggi genangan Air 6 Meter. Jarak dari pantai 2 KM”

Sekolah terlihat begitu sepi. Seperti tak ada kegiatan dan tawa anak-anak. Hanya beberapa tukang bangunan terlihat sibuk mengecat Gedung sekolah. Pepohonan yang tumbuh rindang menutupi ruangan-ruangan kelas. Kesan sejuk begitu terasa ketika awal saya melangkah ke sekolah ini.

Hari itu, di ruangan kelas satu, sekitar 20 siswa kelas enam berkumpul. Membentuk kelompok, mereka terlihat begitu antusias mengikuti yang tak biasa. Mereka tengah menyimak pemaparan yang disampaikan oleh Pak Mudasssir. Seorang guru muda yang mengajari mereka mengenai Perubahan Iklim yang tengah terjadi di dunia, Indonesia dan Aceh.

“Bang yudi, hari ini, kami tengah melakukan sosialisasi Aksi Muda Jaga Iklim kepada siswa-siswi sekolah dasar. Silahkan duduk dulu bang.


Untuk diketahui, hari itu, saya menghadiri kegiatan sosialisasi perubahan iklim yang diinisiasi oleh Penjaga Laut Indonesia. Kegiatan yang bertajuk ‘Aksi Muda Jaga Iklim’ (AMJI) ini adalah sebagai sebuah wadah gerakan bersama. Dalam kegiatan massal ini semua orang maupun komunitas dapat bergabung dan bergerak bersama untuk melindungi bumi, termasuk juga laut.


Aksi yang akan dilakukan dalam AMJI antara lain penanaman mangrove, penanaman pohon, cabut paku dari pohon, transplantasi terumbu karang, aksi bersih sampah baik di darat maupun bawah laut, aksi bersih kampung, nonton bareng film edukasi lingkungan, diskusi lingkungan, dan juga bootcamp. AMJI melibatkan ribuan orang yang tersebar di 279 titik bersama 89 kolaborator di seluruh Indonesia pada 29 Oktober 2022.


Untuk Aceh sendiri, terdapat dua lokasi. Lokasi pertama, di Banda Aceh. Tepatnya di SDN 6 Keudah kota Banda Aceh. Dan satunya lagi, berada di Pulau Simeulue. Kabupaten Simeulue. Jika di Simeulue, mereka mengadakan penanaman Manggrove, maka di Banda Aceh hanya melakukan sosialisasi kepada generasi muda Kota.

“Mungkin, ini terlihat begitu sederhana bang. Tak ada penanaman mangrove, penanaman pohon, ataupun aksi bersih-bersih pantai seperti dari provinsi lainnya di Indonesia Bang. Tapi, bagi saya, yang seorang guru ini, kegiatan mengenalkan kepada generasi muda Aceh untuk tidak buang sampah sembarangan, tidak membakar sampah, dan memakai tumbler, tidak kalah pentingnya bang.” Ungkap bang Mudassir di sela-sela ia memberikan game yang berwawasan lingkungan kepada para siswa.



Ada rasa salut tatkala saya melihat hampir seluruh siswa SD tersebut sudah terbiasa dengan menggunakan wadah Air minum isi ulang. Bukan hanya satu dua siswa, namun sampai hampir satu sekolah. Bahkan, di salah satu kelas, saya sempat menyaksikan, seluruh siswa membawa botol air minum sendiri.

Salah seorang siswa mengungkapkan, ia sangat senang dengan kegiatan tersebut. Jika memungkinkan diadakan setiap bulannya. Minimal mereka, mendapatkan pemahaman baru mengenai langkah kecil apa saja yang mampu menurunkan laju krisis iklim yang tengah terjadi.


Hampir dua jam, saya mengikuti kegiatan Aksi Muda Jaga Iklim di SDN 6 Keudah tersebut. Diakhiri dengan membagikan tumbler gratis kepada setiap siswa yang hadir. Sembari foto bersama, Bang Mudassir mengatakan,

“Mungkin, mereka hari ini tidak terlalu paham mengenai perubahan iklim, namun nanti, ketika mereka dewasa dan menjadi pemimpin di Aceh, minimal mereka punya bekal untuk mengarahkan kebijakan yang lebih pro kepada lingkungan dan Alam di Aceh, bang” tutup bang Mudassir dengan senyum merekah dari wajah pria berkaca mata tersebut.



Saya mengangguk setuju dengan ungkapan bang Mudassir. Aceh memerlukan generasi penerus yang paham akan perubahan iklim. Kebijakan-kebijakan yang pro lingkungan harus lahir dari mereka. Karena tanpa mereka, maka kondisi lingkungan dan alam Aceh dalam waktu 10 atau 20 tahun lagi, akan semakin parah.