Senja biruku.. bertahun sudah kita tak ketemu (Senja Di Ulee Lheue)

Dua minggu sudah, cuaca kota kecil ini tak menentu. Seolah tak ada lagi senyum yang biasa menyemangati hari-harinya. Kabut asap perlahan mulai menyelemuti kota. Tipis memang, tapi cukup membuat keadaan seperti kota mati. Suasana murung, tak berseri layaknya gadis cantik dari di ujung lamno yang bermata biru.

Bocah kecilku meliuk diantara kasur dan bantal guling. Mereka merengek berharap bisa bermain di tepian pantai. Tak perlu jauh, sekitar rumahpun jadi. Mendung yang tak mau berpindah dari langit Banda, hanya membuatku merasa serba salah. Sempat beberapa waktu, Aku merenungi keadaan. Begitu muram kah negeri ini ketika kabut asap menyelimutinya. Dimana senja biruku nanti? Dimana sinar hangat kala matahari terbit di tepian puncak Gunung Seulawah?

Ulee Lheue, sepotong desa yang kini hanya bisa berdiri dari sisa-sisa kedahsyatan tsunami masih mencoba bertahan. Berharap senja itu datang lagi. Berharap hujan turun dengan lembut membasahi rimbun bakau yang mencoba menjejalkan kakinya kedalam pasir yang menghitam. Aku bersyukur kepada Tuhan, Dia masih menyimpan sedikit kasih sayangNya kepada kampong kecil ini. Hujan turun perlahan sedari pagi. Dan sorenya dia berhenti.

Mentari malu-malu muncul dari balik tutupan awan yang berarak laksana ikan tongkol. Pancarannya sedikit sayu. Memancar dari sela-sela kabut yang tak sudi menghilang. Angin bertiup dari barat. Mungkin, sebentar lagi angin selatan akan datang. Hujan akan lebih sering berkunjung. Bergegas Aku mengambil kamera, dan memasang popok kedua bocah kecilku. Ini saatnya kita ke pantai!

Jalanan masih sedikit lembab. Bilqis sudah bersandung dari atas motor butut ayahnya. Sepertinya dia senang hari ini. Ziyad, anak tertuaku, masih terus merapalkan boat ikan, boat ke sabang, dan boat tentara kesayangannya yang selalu berlabuh di tepian teluk Ulee Lheue. Aku? Tentu saja ingin merayakan hari dimana senja kembali bergeliat di kota kelahiranku ini.

Kota “perang” ini kembali menjadi salah satu kota romantis. Muda-mudi yang tak jelas sudah menikah atau belum berbalut dalam rasa yang mereka sebut cinta. Gaya duduk di motor yang aduhai pun berlombaan dengan saling menempelkan dada ke punggung sang pengemudi. Padahal, yang Aku tahu, sore ini tidak dingin. Tapi mereka seolah merasa kedinginan dan mencari kehangatan dengan saling mendekap.Seolah pantai ini miliknya berdua saja. Sial!

ketika Air Surut, mereka bisa bermain sesukanya, menari sesukanya (Senja Di Ulee Lheue)
Laju motor butut berjalan sempurna. Menuju ke satu titik persimpangan yang pasti. Dari bundaran masjid Baiturrahim Aku menurunkan arah tepat di samping masjid tersebut. Jalanan kecil dan buntu. Berbatasan langsung dengan tanggul pemecah ombak. Sambil mengisyaratkan bahwa disini, tak ada pasangan kekasih yang berani meraba-raba bagian yang tak boleh diraba sebelum nikah.

Angin masih berhembus sederhana, bocah-bocah mulai berlarian diatas pasir yang mulai di warnai dengan jingganya mentari senja. Aku hanya duduk bersama dengan kekasih hati. Sesekali, Aku katakan, akankah ada yang ketiga diantara dua bocah itu? Alih-alih senyum bahagia yang kudapati, melainkan sebuah cubitan sakit yang jauh dari kesan kasih sayang lengkap dengan tatapan mengerikan. Delik mata yang dalam. Seperti senja yang terus perlahan menurun di balik bukit.

Akhirnya, setelah menunggu beberapa tahun, Aku berhasil memotret cara ini (senja di Ulee Lheue)
Sore itu, Aku bisa mengerti. Betapa Tuhan begitu mencintai negeri ini dengan segala macam kekurangannya. Aku pun mengerti mengapa istriku menunda dulu peranakan yang selanjutnya. Semuanya terjawab oleh senja sore itu. Kalau istriku hamil dan melahirkan lagi, maka senja yang indah ini akan Aku lewati tanpanya. Karena ia, pasti sibuk bergumul dengan bayi merah yang terus menerus meminta ASI.

Ah. Sudahlah.. biarlah cerita senja ini menjadi awal semuanya. Awal hilangnya Kabut Asap. Awal hilangnya duka dari negeri yang luar biasa ini. Yang Aku tahu, senja itu, kini datang lagi..
Aku pulang, cintaku, hanya ini yang ku dapatkan hari ini (Senja Di Ulee Lheue)