Hari menjelang senja, tapi tak sedikitpun tanda-tanda memerahnya langit terlihat dari pelabuhan Lamteng, pulau Nasi. Padahal, langit senjalah yang akhirnya membawa saya dan beberapa teman dari kuli tinta datang ke salah satu pulau terluar di Indonesia ini.

Siang yang cerah berganti dengan awan kelabu yang bergulung. Gradasi warna air laut yang tadinya hijau toska dan biru cerah berubah muram. Saya, Mamu (warnanusantara.com) dan Ahmad dzaki yang sudah suntuk di pelabuhan Lamteng karena kurang hiburan, akhirnya semakin suntuk. Rasanya, tak lengkap bila ke pulau tapi tak bisa melihat sunset yang merona di ujung barat negeri ini.

Walaupun panorama alam seputaran pelabuhan tetap mampu melenakan mata akan tetapi, perasaan yang tak lengkap itu tetap ada. Kami, hanya mengobrol sembari menghayalkan andai kata sore itu ada senja yang dapat menghilangkan lelah dan penat sepanjang perjalanan dari Banda Aceh ke Pulau Nasi.
Baca juga Pulau Nasi, Kesan Pertama Begitu Menggoda
Mamu sedikit gelisah, bak punuk yang merindukan bulan. Saya pun bernasib sama. Hanya Zaki yang terlihat tenang tak berkutik sambil terus melayangkan pandangannya mengitari sekeliling pelabuhan yang hijau dan teduh ini.  Di sisi utara pelabuhan, beberapa batang bakau tumbuh jarang-jarang. Akar-akarnya yang menghujam tanah tampak garang. Pasir yang putih berbaur dengan sedikit noda kuning dari tanah liat dari sisi bukit. Hanya beberapa ekor anjing kampong berwarna hitam berlarian mengitari beberapa pokok bakau. Seperti main sambar elang, dua adik beradik anjing ini saling berkejaran. Sepertinya, mereka mengejar ikan kodok yang berusaha mencapai sisi laut yang berair cukup dalam.

Tuhan tahu, kalau hambanya yang kaplat ini sedang termenung tak terperikan. Menunggu senja yang tak kunjung datang. Memang, seputaran Aceh masih dalam musim penghujan. Bahkan pesisir barat Aceh ada yang terkena banjir bandang.

No photo = Hoax kan? :D

Hingga akhirnya, Mamu yang sedikit kalem dan berambut lurus terurai panjang ini sedikit memekik ketika melihat cahaya mentari yang sedikit jingga dan mulai menerangi sisi lain dari bukit.

“bang Yud, itu ada matahari, kemana kita bisa lihat sunset?”

Tanpa perlu banyak pikir lagi, motor butut hasil dari pinjaman seorang sahabat karib jaman SMU dulu saya engkol berkali-kali. Saya mulai berpacu dengan waktu dan angin laut yang menghembuskan awan mendung. Ini motor masih susah nyala, berkali-kali diengkol, berkali-kali juga dia gagal paham untuk bisa menyalakan mesinnya. Bismillah...

“Kang, kita ke sisi lain bukit itu yok!”

Akhirnya motor butut ini menyala juga. Kamera saya sakukan. Motor saya pacu untuk menaiki tanjakan yang tinggi dan curam.  Kami mengejar matahari senja sore itu.

Saya, baru kali ini ke Pulau Nasi yang terletak di kecamatan Pulo Aceh yang masih satu bagian dari kabupaten Aceh Besar. Dekat, tapi terasa jauh. Hanya insting cinta sunsetlah yang menggerakkan lengan dan kaki saya untuk mengarahkan motor ini kearah dimana matahari terbenam berada dan terlihat jelas. Turun yang tajam memaksa saya dan yang lainnya untuk berhati-hati. Sembari menjaga mata untuk tetap awas. Awas, kalau di samping atau di depan mata ada lorong untuk bisa menemukan posisi yang tepat  untuk menikmati sunset.

Mentari mulai turun perlahan. Dan tiba-tiba, saya ingat sahabat yang mengajak saya ke pulau ini. Tapi dia di mana? Makmur di mana? Bagaimana mungkin dia bisa melewatkan moment seperti ini?

Motor terus berjalan menyusuri semak belukar. Sudah 2 menit berlalu semenjak saya menemukan sebuah lorong penuh belukar di sisi kanan jalanan aspal yang menurun. Mata saya tergoda untuk mencari jalan ke sebuah pantai yang saya sendiri tak pernah tahu namanya.

Mamu yang berbaju hitam, dan Ahmad Zaki yang berbaju Biru
“bang Yud, ini Keren! Mamu mulai mengikat rambutnya yang terjulur dengan sebuah selempang atau apalah namanya saya tak mengerti. Dari belakang, tubuhnya yang kurus dan tinggi langsing itu terlihat seperti seorang gadis sunda yang berjalan diantara dua pria Aceh ke sebuah pantai di waktu menjelang magrib. “semoga tidak ditangkap oleh penduduk kampong karena mengira kalau saya dan Zaki ingin main tandem di pinggir pantai dengan gadis sunda yang sebenarnya laki tulen!” saya berguman dan berdoa dalam hati. Ya, siapa tahu kan? Siapapun bisa silap mata #eh


“Mur, kami di pantai di belakang pelabuhan Lamteng, arah ke pasie Janeng lagi lihat sunset” sent. Pulau ini memang keren. Sudah alamnya yang indah tiada tara. Kita pun akan dipaksa untuk meninggalkan kecanggihan gadget. Kembali dengan kehebatan SMS. Maklum, tidak ada jaringan 3G apalagi 4G di sini. Syukur bila tiba-tiba saya bisa menelpon makmur untuk menanyakan di mana posisinya. Jadi, hanya SMS andalannya.

Saya, mencoba melepaskan sandal jepit lalu menginjakkan kaki telanjang ke atas pasir yang putihnya bak tepung terigu. Bersihnya seperti muka gadis ayu dari pelosok tanah Kalimantan.

Di saat yang sama, bulu kuduk saya merinding. Saya hanya bisa terdiam tak bergeming. Inikah saatnya? Apakah ini yang selama ini yang membuat para petualang enggan kembali kerumah mereka? Saya merinding sejadi-jadinya.
Pasir yang lembut bak permadani dari Persia yang berwarna putih sempurna ini membuat kaki ini lincah tak terkira. Mamu bengong melihat tingkah pola ayah beranak dua ini tak ubahnya anak kecil. Zaki hanya tersenyum malu. Dia sadar, kalau ternyata teman perjalanannya dari Banda Aceh ini mirip bapak-bapak kurang piknik dan jauh dari sentuhan istri.

Yuks rasakan sensasi lembutnya pasir putih di Pantai Pasi Mata Ie Pulau Nasi
Iya, saya menggila. Kesurupan tak hingga. Saya berlarian kesana-kemari. Saya berlompatan sejadi-jadinya.  Bukan hanya pasir yang cantik tapi senja yang sempurna menjadikan sore yang tadinya kelabu menjadi sebuah sore yang begitu romantic. Saking romantisnya, saya hanya menikmatinya saja. Tak tahu harus bagaimana lagi mengambil momen sunsetnya. Hanya duduk di atas bangkul kayu besar. Lalu, melepaskan pandangan mata ke arah barat. Ini adalah pertama kalinya saya merinding kala menikmati laut dengan panorama yang luar biasa. Dan, hebatnya lagi, ini masih di Aceh. Kampung halaman saya!

Sore itu luar biasa. Sunset itu memukau setiap mata dan lensa kamera yang mengabadikannya. Keadaan yang tenang karena tak ada masyarakat, terselimuti semat belukar yang tebal dibagian belakangnya. Ditambah kabut lembut yang turun perlahan dari sisi bukit dengan hutannya yang masih asri.

mataharinya udah bobo, yang ada hanya semburatnya
awannya bukan efek kamera, tapi memang begitulah adanya.
 Ini seperti The Lost Paradise bang Yud! Begitulah Mamu berkomentar ringan lalu kembali dengan mengonta-ganti lensa kameranya untuk terus mengambil moment.

Makmur, yang datang belakangan juga tak mau kalah. Sesekali dia merepet bak ibu mertua yang bosan melihat menantunya hanya tidur seharian di rumah. Merutuki keadaan kenapa sedari awal kami tak mengajaknya. Sejurus kemudian dia diam. Lalu hanyut dalam aktifitas yang sama. Memotret senja.

Kuning, jingga, biru, dan pulau-pulau kecil dengan laut yang bergemuruh syahdu, kurang apa coba? ya Kamu!
sensasi senja yang luar biasa!
Diam saja, dan nikmatilah 
Teruntuk anak-anakku di rumah, tahun depan, kalian akan ayah bawa ke sini. Ayah ingin melihat kalian menari dan bermain air laut di pantai yang indah ini. Pantai Pasi Mata ie, begitulah namanya. Ya, saya akhirnya tahu, kalau itulah namanya dari ungkapan makmur dan Zaki.

Ahmad Zaki sedang mengabadikan moment sunset
Melompat kegirangan karena Tuhan memberikan senja yang luar biasa! foto by Makmur Dimila

Malam itu, saya tidur nyenyak. Sembari menanti pengembaraan selanjutnya, ke pulau seberang. Pulau Breuh.

peta Wisata Pulau Nasi dari bang Hijrah Heiji si Papa Piyoh