Saat para riser datsun experiece 2 menuju laweung
sumber foto detik.com 
Iri, wajar saja. Ketika melihat beberapa sahabat di ibukota negeri ini begitu mudahnya diundang oleh merk mobil ternama untuk merasakan sensasi berkenderanya. Saya, blogger di pelosok negeri hanya bisa menjadi pembaca setia mereka. Lalu, dalam hati berujar, semoga tahun depan saya juga bisa merasakan hal yang sama. 

Satu hal yang selalu saya yakini adalah, Mimpi dan Doa sebuah sahabat yang tak bisa dipisahkan. Dan, itu semua terjawab beberapa hari lalu ketika seorang sahabat mengabari kalau ada panggilan untuk mengikuti Datsun Riser Expedition 2 dengan rute, Banda Aceh-Sigli-Banda Aceh. 

Rute ini, jujur, tidak terlalu menarik. Mengapa? Karena pada prinsipnya, kabupaten sigli sampai saat ini bukanlah termasuk salah satu daerah yang diunggulkan pariwisatanya. Mentok-mentok, Lingkok Kuwieng. Sebuah ngarai yang katanya, menyerupai grand canyon, tapi terletak di kecamatan Padang Tijie, Sigli. Selebihnya? Hampir tidak ada.

peta indonesia, yang bermakna acara ini akan berlangsung di seluruh indonesia
Demi menuntaskan hasrat dan penasaran, seperti apa sih rasanya menjadi seorang riser yang dipercayakan mereview mobil keluaran terbaru, sembari menjelajah kampung halaman sendiri. Ajakanpun saya iyakan. Surat ijin mengemudi berlabel A menjadi syarat utama. Saya yang sangat anti dengan pengurusan SIM, akhirnya berdamai dengan keadaan. Akhirnya, sim A itu saya ajukan dan selesai dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Hari yang dinanti tiba. Peserta terdiri 6 orang dari Jakarta (5 orang) dan Bandung (1 orang) serta dari Aceh sendiri ada 6 orang. Total, 12 peserta riser. Menariknya, ada dua peserta beretnis thionghua. Dan salah satu dari mereka, Timothy, adalah partner satu team dengan saya ditambah bang Ari kus yang merupakan wartawan dari MNC. 

Segala ekspektasi yang “nggak banget”, perlahan mulai terkikis. Mulai dari acara pelepasan di Dealer Datsun Banda Aceh, acara ini mulai terlihat berbeda. Sampai berbagai macam cerita dan sudut padang dari Timo (panggilan saya ke Timothy), terhadap Aceh. 

Di awali dengan konvoi keliling kota Banda Aceh, yang secara de facto, sudah sangat familiar, akan tetapi saya menjadi histeris sendiri ketika setiap perempatan lampu merah, Route Captain mengintruksikan melalui Racom untuk tetap terus jalan. Ada mobil polisi voorijder yang terus mengaung sepanjang perjalanan. 

“Busyet..biasanya saya yang berhenti di lampu stop kalau ada rombongan pejabat lewat. Tapi hari ini saya yang lewat dan orang lain yang berhenti.. keren!” norak memang, tapi disinilah bahagianya. Kapan lagi coba? 

Tujuan awal, dalam rangkaian Datsun Riser Expedition 2 Banda Aceh – Sigli adalah Museum Aceh. Biasa? Tunggu dulu! Bagaimana bila ke museum Aceh lalu disambut dengan tarian Ranup Lampuan? Sebuah tarian selamat datang bagi orang-orang yang dianggap penting. Tolong garis bawahi, dianggap penting! Bangga dong, secara seumur-umur dapat tari ranup lampuan itu pas acara intat Linto (mengantar pengantin pria ke rumah pengantin wanita). Lah ini? 

tari Ranup Lampuan
Siang menjelang, cuaca Banda Aceh menunjukkan taringnya. Setelah seminggu hujan dan angin kencang, siang itu Banda Aceh panas. Perjalanan keliling kota Banda Aceh berakhir di sebuah rumah makan khas Aceh. Lagi-lagi, saya kaget luar biasa. Makanan yang tersaji semuanya “kelas Satu” dan lebih kerennya itu adalah unlimited orderan. Mau nambah? Silahkan. Mau bawa pulang? Ntar dulu ya.. hehe

Perjalanan berlanjut menuju ke daerah bekas kerajaan Pedir, Pidie. Jika biasanya saya dan keluarga menyusuri lembah seulawah untuk bisa sampai ke kota Sigli. Tidak kali ini. Team Datsun memaksa mobil dengan ban ring 13 ini melewati jalan lintas Krueng Raya-Laweung. Bagi penggila touring Aceh pasti tahu jalur ini. Parah! Berliku, menanjak, dan berbatu. Serunya dimana? Ini lagi-lagi adalah jalur impian saya. Sudah lama saya ingin melewati jalur ini. Saban kali bertanya kepada teman, setiap itu pula mereka mengatakan “jangan”! 

andaikata dapat bawa pulang hehe
Tikungan demi tikungan, tanjakan demi tanjakan, mobil LCGC ini terus melaju. Sesekali Timo nyeletuk, “enak ternyata ya di Aceh bang Yud” dalam hati saya merasa bangga sekaligus miris. Sepertinya Timo mabuk gulai kambing. Jalan jelek begini dibilangnya enak? Apa tidak salah? Sepanjang perjalanan dari bukit soeharto di krueng raya, sisi kiri memang menawarkan pemandangan yang luar biasa. Bukit, dan laut. Sebuah perpaduan sempurna, bukan?

Tibalah kami, di sebuah gua yang berapa tak jauh dari jalan Laweung-Sigli ini. Gua tujuh. Lagi-lagi saya terperanjat tak percaya. Seumur-umur baru kali ini saya masuk ke gua tujuh yang cerita sudah saya dengar semenjak saya kecil. Ada banyak cerita mistis, mitos, dan legenda yang mengelilingi gua kuno ini. (lain waktu akan saya ceritakan lebih detail)

adakah yang bisa menemukan wajah ikan?
Puas menjelajah gua, Route captain memaksa saya dan team untuk segera melaju ke jalanan beraspal kembali. “Main course” dari acara ini ada di desa Dayah Tanoh, Kecamatan Garot, Kabupaten Pidie. Di mana pula itu? Jangan tanya kepada saya. Pun ini adalah (lagi-lagi) kunjungan pertama saya ke desa tua ini. 

Dari jalan provinsi, kami berbelok ke kanan. Untuk selanjutnya memasuki kecamatan Garot, Pidie. Tak ada informasi apapun yang saya dan team terima mengenai desa ini. Yang saya tahu, kami mau makan malam di desa ini. Alamak.. jalanan berbatu, penerangan minim. Di kejauhan terlihat nyala api yang berkedip-kedip tertutup rimbun pohon bambu. 
disambut sama tarian rapai geleng di desa Dayah Tanoh Sigli
sumber foto : detik.com
Beberapa warga sudah berkumpul. Tua muda berdiri berjejer di depan pintu masuk dayah (balai pengajian). Wanita berdiri di sebelah kiri, pria di sebelah kanan. Satu persatu mereka tersenyum. Ada yang terheran-heran melihat Timothy yang beretnis thionghua. Ada yang mencoba curi-curi pandang melihat beberapa wartawan yang sibuk mengambil gambar. Bau harum dari bambu yang di isi leumang mulai menganggu konsentrasi. Terlebih lagi ketika leumang disajikan bersama kuah santan bercampur durian. Hiks..kolestrol..

Bu Kulah, nasi yang dibungkus dengan daun pisang lengkap dengan lauk..
Tak sedikitpun dalam benak saya, kalau acara datsun yang awalnya terkesan biasa saja, memiliki surprise yang luar biasa. Sebuah konsep ekowisata mencoba diperkenalkan secara tidak langsung. Baik kepada peserta maupun kepada masyarakat setempat. Tarian rapai geleng menjadi salam pembuka bagi saya dan team. Di sambut dengan tepukan tangan yang membelah langit malam. Hidangan makanan bak acara lintoe baroe tersaji sempurna di dalam dayah. Lengkap dengan bu Kulah. Lagi lagi, sajian makanan ini hanya untuk tamu-tamu yang dianggap penting. Betapa bahagianya saya, ketika merasakan sensasi “kampong Aceh” era tahun 80an. Kala konflik belum merebut masa kecil saya. 

nyan hai.. na cina nak foto selfie.. neudong laju..beugaya dek.. bah keunong foto” (nah lho, ada orang cina mau foto selfie, cepat berdiri. Bergaya terus dek, biar bisa ikutan foto) seorang ibu berjilbab hitam yang berdiri dibelakang saya nyeletuk kepada anak perempuannya. Ini, bukan kali pertama saya dianggap mirip orang cina, mirip wakil ketua DPRA Aceh lah, mirip apoy wali band lah, dan ntah mirip siapa lagi. 

saat dikirain orang "cina"  (saat malam hari..)
Saya hanya tersenyum melihat tingkah polah masyarakat kampung dayah tanoh malam itu. Ketulusan, keramahan, dan keikhlasan yang luar biasa dalam menerima tamu jauhnya. Saya, timo, dan irwan yang cina tulen tetap di sambut meriah tanpa pernah membedakan warna kulit. Tanpa membedakan agama, suku dan ras. Jujur, saya merasa begitu bangga dengan masyarakat Aceh di desa kecil ini. Jauh berbeda dengan masyarakat Aceh yang sudah sok kota. 
ini abang semalam kan? yang cina aceh itu kan? celetuk seorang anak gadis di samping saya
“dong laju beubagah dek.. ta selfie dua teuh” (cepat berdiri dek, kita selfie berdua) ungkap saya tiba-tiba yang disambut dengan tawa riang ibu-ibu dibelakang saya. 

awak Aceh cit lagoe.. lon pike ureung cina.. (orang Aceh ternyata, kirain orang cina)

&&&


Foto kiriman hikayatbanda.com (@yudiranda) pada

Untuk kamu yang pengen ikutan acara Datsun Riser Expedition 2 yang akan berlangsung di seluruh indonesia sampai bulan maret 2017 mendatang, silahkan daftar di sini





.:: VOTE FOR ACEH ::.

Aceh sedang mengikuti Kompetisi Pariwisata Halal Nasional. Berlangsung sejak 26 Agustus – 15 September 2016.

Jika menang di kategori yang masuk nominasi, akan mewakili Indonesia pada ajang World Halal Travel Award 2016 di Dubai.

Silakan vote demi kemenangan Aceh di Kompetisi Pariwisata Halal Nasional untuk kategori 1, 2, 10, 14 lewat laman: