Leuser itu apa? Leuser itu di mana? Kenapa dengan leuser?
Saya sempat kaget ketika mendengar cerita bang Zulfan bahwa suatu hari, ia pernah iseng menanyakan “dimanakah leuser itu” kepada sekumpulan anak sekolah menengah pertama di kabupaten Gayo Lues. Si anak dengan bangganya menyebut kalau leuser adanya di Tangkahan, Sumatera Utara.

Seketika ada rasa bersalah yang teramat sangat. Melihat begitu banyak orang Aceh tak mengenal kekayaan dan asset dari daerahnya sendiri. Bukan hanya anak-anak SMP akan tetapi ramai pula yang merasa tak mengenal dengan dekat akan salah satu tempat terbaik di bumi ini. Saya tak berlebihan mengatakan kalau Kawasan Ekosistem Leuser sebagai salah satu tempat terbaik di bumi. Pasalnya, hutan hujan dengan luas mencapai 2,6 juta Ha ini menyimpan begitu banyak potensi.


Aceh, memiliki hampir 70% dari luas total Kawasan. Sayangnya, hari ini, Aceh lebih senang “melacurkan” dirinya kepada para pambalak liar, para pengusaha sawit, dan para pemburu. Seolah tak paham ataukah menutup mata?

Jadi pertanyaan yang begitu menganga, ketika ditanyakan kenapa Aceh terkesan tak peduli akan nasib Leuser yang kini terus diperkosa oleh para cukong yang lapar. Apakah kita, sebagai orang Aceh lupa, kalau Aceh dan Islam itu ibarat tubuh dengan jiwa? Bukankah Islam mengajarkan kalau umatnya wajib menjaga bumi ini dengan sebaik-baiknya. Bukankah manusia adalah Khalifah (pemimpin) atas semua nikmat dari Tuhannya. Lalu yang terjadi di hutan Aceh? Yang terjadi di Leuser kini?
Dalam kitab suci umat Islam, Allah berfirman “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya” Al A`raf : 56. Lalu yang terjadi?
Saya terkadang berpikir, apakah orang Aceh ini sudah bosan menikmati masa damai dari konflik sehingga menciptakan konflik baru dengan alam? Ataukah sebenarnya sebagian orang Aceh ingin tinggal di hutan sehingga harus membunuh, mengusir, dan memburu semua satwa yang ada di hutan ke kota.

Secara hitungan ekonomis, hutan yang lestari jauh lebih berharga dibandingkan dia berubah menjadi lahan sawit ataupun hutan gundul. Sawit memang menawarkan quick cash, tapi sawit memberikan cost operation yang besar. Pemerintah daerah setempat hanya dapat pemasukan dari pajak usaha sawit. Lalu, dampak lingkungan yang terjadi akibat pembalakan hutan yang tanggung adalah Pemda setempat. Bukan pengusaha. Siapa yang rugi? Masyarakat siapa yang kena banjir bandang? Yang kebunnya diserang oleh kawanan gajah?


Salah gajah? Salah orangutan? Salah badak? Salah babi hutan? Sesungguhnya, yang manusia siapakah? Kita orang Aceh, ataukah para satwa tersebut? Bukankah yang seharusnya melakukan adaptasi terhadap alam adalah manusia. Bukan sebaliknya. Mana mungkin meminta gajah beradaptasi kepada manusia. Gajah tidak bisa baca tulisan ngawur ini, kawan.

Ada hal yang lebih miris lagi. Ternyata yang lebih peduli leuser sebagian besar adalah BUKAN orang-orang Aceh. Dan lebih parah lagi, non muslim. SARA? Tunggu dulu. Coba lihat siapa yang akhirnya datang jauh-jauh dari amerika dan mengangkat isu Kawasan Ekosistem Leuser menjadi perhatian media massa dunia. Leonardo di Caprio. Siapa yang hari ini menjadi lembaga donor untuk program pelestarian Leuser? Hampir rata-rata berasal dari Eropa dan Amerika.

Padahal, ketika Kawasan Ekosistem Leuser berubah fungsi. Yang pertama kali akan berperang memperebutkan sumber air adalah sesama orang Aceh. Ketika orangutan sumatera punah, yang akan kelaparan karena hutan mulai tak lagi berkembang adalah orang Aceh. Yang akan kesulitan menangkap ikan di laut karena akhirnya terlalu banyak lumpur di seputaran pantai Aceh, adalah nelayan Aceh sendiri. Ini belum lagi berbicara mengenai efek gas rumah kaca, bencana banjir bandang, kekeringan, dan hilangnya air.

Ah iya, saya lupa, sebagian kita masih berpikir kalau bencana itu urusan Allah. Tapi tahukah kamu, kalau ternyata di dalam Al Quran sendiri mengatakan bahwa, segala kerusakan di muka bumi itu akibat ulah tangan-tangan manusia. Lalu? Leuser rusak salah siapa? Siapa yang akan diminta pertanggung-jawabannya pertama kalinya kelak? Orang Aceh!

Pemerintah Aceh yang kini memerintah sudah menyatakan diri menjadikan Leuser sebagai Pelacur di antara komunitas pengusaha Sawit atau siapapun yang ingin menggagahinya.

Adanya konflik kepentingan antara daerah dan pusat membuat pemerintah Aceh menghapus KEL dari kawasan strategis nasional. Di Qanun RTRW Nomor 19 tahun 2013 itu KEL sudah tidak termasuk dalam lima kawasan strategis nasional. Ini artinya status KEL menjadi tidak penting lagi, siapa saja boleh masuk ke sana untuk berbuat apa saja.

Siapa saja, termasuk pengusaha sawit atau pengusaha lainnya. Bahkan para penebang liar.

Salah satu buktinya, Pemerintah Aceh Tamiang sudah memberikan Izin Lingkungan kepada PT. Tripa Semen Aceh untuk membangun pabrik semen dan penambangan seluas 2.549,2 hektare itu berada di Kampung Kaloy, Kecamatan Tamiang Hulu, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh. Izin tersebut dikeluarkan melalui Keputusan Bupati Bupati Nomor 541 tahun 2016. Areal penambangan itu masuk ke dalam KEL. (sumber : daenggassing.com)


Sebenarnya, hutan Leuser yang merupakan salah satu kawasan hutan hujan di dunia, bisa dimanfaatkan sebagai salah satu tujuan destinasi wisata. Sama seperti Tanjung Puting, atau Amazon di Amerika. Bukan harus mutlak-mutlak dijadikan pelacur kelas kakap seperti ini. Ingat! Seorang pelacur hanya laku ketika dia masih cantik jelita dan masih MUDA. Ketika sudah tua, muka sudah keriput, mata sudah sembab, apakah dia akan laku lagi? Lalu, apa bedanya dengan hutan Leuser?

Mengingat pentingnya keberadaan ekosistem dan keanekaragaman hayati, maka sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan serta payung hukum yang bisa menjamin keberlangsungannya di masa depan. Di Aceh, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) adalah mata rantai utama bagi lingkungan sekitarnya. Upaya untuk melindunginya harus ditempuh dengan tetap memasukkannya dalam perencanaan ruang, serta tidak menurunkan statusnya karena pertimbangan pragmatis. Tapi hari ini?

Aceh, semakin hari, semakin melupakan harga dirinya. Gajah yang pernah menjadi pembela Sultan Iskandar Muda, kini menjadi musuh yang harus dibunuh dengan keji. Hutan, yang pernah menjadi tempat persembunyian para pejuang Aceh, kini berubah menjadi ladang Sawit. Air terjun yang menjadi salah satu sumber air bagi masyarakat setempat kini dikeringkan dengan paksa.

Inikah Aceh hari ini? Yang menjual harga dirinya hanya demi rupiah yang tak seberapa itu? Nilai Aceh dan Leuser jauh lebih tinggi dari pada berhektar-hektar lahan Sawit. seekor Gajah jauh lebih mahal dari pada satu Mobil Rubicon. Ciutan burung-burung dalam hutan Leuser, jauh lebih indah dibandingkan mp3 keluaran teranyar. Air yang mengalir dari kaki-kaki gunung Leuser, jauh lebih segar dibandingkan dengan minyak sawit. Tanpa sawit manusia masih bisa hidup, tapi tanpa hutan?

Saya, tidak akan mengajak siapapun untuk peduli kepada Kawasan hutan hujan di Aceh. Karena masih banyak orang di luar Aceh yang begitu peduli akan kelestarian alam Aceh. Bukan, saya bukan ingin membandingkan orang Aceh dengan orang luar yang lebih peduli akan Hutan. Sebenarnya, orang Aceh, secara adat dan budaya adalah masyarakat yang begitu ketat dalam menjaga hutan. Ada Panglima Uteun (panglima hutan), ada pantangan atau pamali-pamali ketika hendak ke hutan. Tapi kini? Semuanya seperti terlupakan begitu saja…  
hutan Leuser Aceh tenggara
Hutan Leuser dari sisi Aceh Tenggara
foto by : Harianaceh.co.id