Suasana merah rata menghiasi ruangan yang cukup besar ini. Terletak dibilangan tengah kota Banda Aceh, suasana berlangsung begitu khitmad. Aroma dupa keluar menyeruak mengisi hampir seluruh aula. Beberapa etnis thionghua terlihat begitu khusyuk berdoa sembari memejamkan mata. Lalu, tersenyum dan berlalu melewati pintu gerbang.

Saya masih terdiam, berdiri  sendiri sembari melempar pandangan ke sekitar kelenteng yang cukup tua di kota Banda Aceh. Pemandangan yang sederhana tapi sangat luar biasa. Tak ada barongsai yang keliling kota sembari berpawai ria. Tak ada lampion merah yang bergelantungan di alun-alun kota atau di pusat kota. Semuanya terlihat terbiasa. Hampir tak ada yang istimewa.

Kota Banda Aceh, seperti yang telah diketahui oleh khalayak ramai, menjadi kota yang menjalankan syariat Islam sebagai landasan hukumnya. Sehingga tak jarang banyak yang berpikir kalau kota ini seperti anti toleransi. Tapi, pemandangan hari itu membuat saya begitu terpana. Terdiam, terpaku, tenggelam dalam indahnya suasana Imlek. 

“Bang Yud, bagi kami, imlek adalah sebuah ajang untuk bersilahturahmi dengan keluarga besar. Sama seperti idul fitri kalau dalam agama Islam.“ Saya masih ingat, ketika kak Mila Wen yang lebih sering dipanggil Mey ini, menjelaskan banyak hal tentang imlek. Sore yang sedikit kelabu, saya dan kak Mey melakukan kegiatan sore seperti biasa. Minum kopi.

“Di setiap moment imlek, kami evaluasi diri. Apa yang telah kami lakukan di masa lalu. Baikkah, burukkah. Dalam perayaan imlek juga, kami berbagi untuk sesama manusia dan alam. Ya, intinya berbuat baiklah bang” Kak Mey kembali menyambung ceritanya. Sesekali, ia menyereput Latte arabica Gayo kesukaannya. 


Setiap kali ia menjelaskan mengenai kehidupan keseharian etnis thionghoa dan imlek di kota Banda Aceh ini, setiap itu pula ia menekankan, Saya ini Orang Aceh loh bang. Setiap itu pula kami tertawa lepas. Seolah pertemanan ini sudah berlangsung begitu lama. Tak ada dinding pembatas yang selama ini dikhawatirkan oleh banyak pihak.

Etnis thionghoa di Aceh sudah menjadi bagian dari cerita perjalanan sejarah Aceh itu. Bahkan, tak sedikit dalam literature sejarah menceritakan mengenai hubungan Aceh dan Cina di masa kerajaan lalu. Mulai dari berdirinya kerajaan Samudra Pasai sampai legenda Laksamana Perempuan-Putroe Neng dari Cina yang menikah dengan salah satu ulama Aceh masa itu, Syaikh Hadam.

Bahkan sebagian kami, orang Aceh, mengatakan kalau salah satu kepanjangan dari kata Aceh adalah China, Arab, Eropa dan Hindia. Ini memang bukan hanya isapan jempol. Semua etnis ini kini hidup bersama dan berbaur dalam sebuah kota. Banda Aceh.

“Biarlah kami imlek tak seramai dikota lainnya di Indonesia. Bagi kami, imlek di Aceh menjadi begitu religius. Kami di sini, bisa berbagi dengan Alam dan sesama tetangga kami yang bukan etnis thionghoa” 

Imlek, Antara Aceh dan Thionghua



Cerita kak Mila memang tak bohong, Setiap kali Imlek, kaum etnis thionghoa di Banda Aceh sering melakukan kegiatan yang berbau konservasi. Mereka pernah melepaskan tukik penyu di pantai lampuuk, Aceh besar. Bahkan pernah juga melepaskan ratusan burung ke alam liar.  Keseimbangan alam dan berbuat baik menjadi bukan hanya sekedar slogan bagi etnis thionghoa di Aceh.

Di tengah gempuran keriuhan etnis minoritas dan mayoritas, Etnis thionghoa di Aceh hidup sebagaimana layaknya masyarakat Aceh pada umumnya. Bahkan ada yang unik dari kehidupan para suku berkulit putih dan mata sipit ini. Mereka, mendapatkan ampao dua kali dalam setahun. Dan ini, hanya ada di Aceh. Dalam setiap tahun baru masehi mereka melaksakan  “ritual” seperti imlek. Berbagi ampao, silahturahmi, dan ada yang beberapa dari mereka melakukan Sembahyang menyambut Dewa rezeki datang.

Ini memang tradisi bukan keharusan. Tapi bagi etnis thionghoa di Aceh, inilah cara mereka menikmati imlek dengan cara mereka yang sendiri. Tak seperti di kota lainnya. Yang saban imlek ada event besar, ada karnaval atau pameran budaya etnis thionghoa. Di sini, hanya ada kepulan asap yang memenuhi seisi vihara Dharma Bakti. Anak-anak jalanan yang mengantri mengular di pintu Vihara menanti ampao. Selebihnya, mereka menikmati dan memaknai imlek dalam hati mereka masing-masing.  Menikmati kue keranjang di rumah bersama orang tua dan saudara mereka. Lalu, makan bersama.


Imlek di Aceh, memang begitu sederhana. Tapi begitu mendalam dan membekas dalam diri saya yang terlahir sebagai anak Aceh asli. Seolah, nuansa kedua kerajaan di masa lalu antara kerajaan china dan Aceh kembali bersatu dalam satu naungan. Imlek...


&&&