Tidore untuk Indonesia
Saya masih kesal melihat paras wajahnya yang tersenyum sedari tadi. Mukanya yang polos menatap saya tanpa rasa berdosa. Dari lorong pintu warung kopi, ia berjalan santai lalu, Buuuk.. dia duduk tepat di hadapan saya. Layar laptop saya turunkan. Menatapnya mukanya dalam-dalam.

“Kenapa Bang? Jangan begitulah lihat saya. Baru juga saya pulang dari Ambon. Itu kan perginya karena urusan dinas bang” Makmur langsung mencecar dengan jawaban sederhananya akan tatapan saya tadi.


Dia paham, kalau saya selalu haus akan cerita menarik dari ujung timur Indonesia. Maluku, Ternate, Tidore, dan Halmahera. Bagi saya, mendengar nama-nama tersebut bak membuka kembali memori lama masa bangku sekolah dasar mengenai kisah kepahlawanan masyarakat timur dalam menghadapi penjajah.

Iseng, saya meminta Makmur menunjukkan peta antara aceh dan Maluku. Saya juga terus menerus menodongnya untuk menceritakan keadaan di kawasan tersebut. “Bang, abang kenapa? Kok sepertinya penasaran sekali?” Ia mulai mencium tabiat selidik saya. Bagi saya, berbicara kawasan timur Indonesia, seperti menyusun puzzle sejarah Aceh yang hilang.

Mungkinkah? Kerajaan Aceh di Barat, sedangkan Kerajaan Maluku di Timur. Berbicara Maluku,berarti kita harus membicarakan 4 Kerajaan Besar di Bagian Utara. Pun, pada abad ke 16 sebagian Maluku masuk dalam kawasan Kerajaan Islam Tidore.  Tak pelak lagi, akan ada banyak puzzle sejarah yang bisa tersusun. Melihat semangat saya mulai mengebu-gebu. Makmur hanya tersenyum. Ia sepertinya telah terbiasa dengan keadaan di mana saya akan bercerita tanpa henti sampai runutnya selesai.

“Mur, kamu masih ingat cerita tentang raja Aceh yang di buang ke Maluku? Bila saya tak salah, tahun 1907?” Makmur hanya menggeleng tak pasti. Tak usah heran, memang tak banyak anak Aceh yang ingin begitu mencintai sejarah kampungnya.

Kala itu, Belanda mulai kehabisan akal untuk memadamkan perlawanan rakyat Aceh. Alih-alih memadam, perlawanan justru meningkat. Kesatria-kesatria terhebat datang dari penjuru negeri. Sekitar tahun 1870-an beberapa petarung dari kerajaan Samu-Samu pun berdatangan ke Aceh membantu Kesultanan Aceh Darussalam, mengusir Belanda dari tanah Aceh, setelah penjajah itu mendarat di Aceh.  Di sini, hubungan Aceh dengan Negara di ujung timur Tidore mulai memperlihatkan hubungannya.

kawasan Kerajaan Tidore pada abad ke 16 (sumber : wikipedia.com)

Bahkan, kala Raja Aceh di buang ke Maluku, penjamuan dari para raja di kawasan tersebut begitu luar biasa. Sultan Muhammad Daud Syah (1878-1939) bersama istrinya Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid,anaknya Tuanku Raja Ibrahim,Tuanku Raja Ibrahim, Tuanku Husin, Tuanku Johan Lampaseh,Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abas dibuang ke Ambon, Maluku pada 24 Desember 1907 dan pada tahun 1918 diungsikan ke Batavia (Jakarta) karena terlalu dekat dengan orang Bugis di Maluku. Belanda takut, Sultan akan terus memberikan semangat kepada raja-raja di kawasan Maluku Utara untuk terus melawan Belanda.

Makmur mulai mengeryitkan jidatnya. Mukanya yang tirus terlihat sedikit konyol kala ia melakukan itu. Saya paham kalau link antara Aceh dan Tidore terkesan begitu dipaksakan. Tapi, bukankah Tidore terkenal sebagai pulau dengan rempah-rempah terbaik di seluruh dunia. Dan, Aceh, sebagai penguasa selat Melaka kala itu. Tentu bisa dikaitkan hubungannya? Ah entahlah. 

Mungkin benar kata Makmur, “Abang terlalu memaksakan. Anggaplah benar bahwa Sultan Aceh sempat men-syahadatkan beberapa raja di kawasan kepulauan Ambon. Termasuk raja Samu-Samu dan keluarga.  Sehingga membuat Belanda memindahkan  lagi sultan ke Batavia. Tapi apakah sultan sempat mengobarkan perlawanan bersama rakyat Tidore? Mungkin bisa saja terjadi. Tapi kan harus merujuk sumber yg valid dahulu. Sedangkan Sultan mengislamkan raja Samu-Samu dan keluarga bersumber dari keluarga Samu-samu yang keturunannya juga masih terjaga saat ini. Begitu kan bang?"

Saya hanya diam seribu bahasa. Tapi hati kecil ini berteriak. Ingin sekali membantahnya. Tapi apakah feeling cukup dijadikan alasan kalau Aceh pernah begitu dekat dengan Tidore? Sulit rasanya bagi saya untuk menjelaskan ketertarikan saya akan sejarah mengenai sebuah negeri kecil tapi begitu kaya akan khasanah itu.

Tidore, Foto by : Barry Kusuma (www.alambudaya.com)
Jika Aceh diperebutkan oleh bangsa Eropa karena letaknya yang strategis di selat Melaka, maka Tidore, diperebutkan karena cengkehnya yang mendunia! Lihatlah betapa Tuhan begitu menyanyanginya. Tak cukup sampai di situ, tanpa Tidore, maka teori pembuktian bahwa bumi itu bulat mungkin tak akan berhasil. Sepele mungkin, tapi ilmu yang berkembang karena teori bumi itu bulat sudah begitu banyak. ( Pelayaran Ferdinand Magellans,yang membuktikan kalau bumi itu bulat. baca di sini ) Lihatlah, betapa negeri kecil ini, begitu memberikan sebuah sumbangsih yang luar biasa hebatnya.

Bukan hanya Aceh yang berhutang budi kepada Tidore, akan tetapi Indonesia pun demikian. Dunia juga tak ketinggalan berhutang jasa kepada negeri yang terletak di kepulauan Maluku bagian utara ini. Kepulauan yang terdiri dari 12 pulau ini, mungkin memang sederhana. Kecil, seolah tak berarti. Tapi, salah satu pahlawan nasional yang terkenal gagah berani dalam mengusir Spanyol dan Portugis, berasal dari Kesultanan Tidore, Sultan Nuku.
silahkan perbesar, dan lihatlah tulisan Tidore pada peta pelayaran Pelayaran Ferdinand Magellans
sumber : wikimedia.org

Peran Tidore belum berhenti sampai di situ. Kala pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sultan Tidore masa itu, yakni Sultan Djainal Abidin bersedia memasukan seluruh wilayah kekuasaannya ke dalam wilayah Indonesia Timur. Yang meliputi seluruh Pulau Tidore, Halmahera, Pulau Seram, dan Papua masuk dalam NKRI.

Tidore juga menjadi ibu kota pertama Provinsi Irian Barat dan sangat berperan membantu Pemerintah Indonesia dalam upaya membebaskan Irian Barat dari Belanda. Bahkan, pada 1956 Presiden Soekarno berkunjung ke Tidore untuk mengikuti peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI.

Cukup? Belum. Akan ada begitu banyak hal yang bisa dibahas mengenai jasa-jasa Tidore akan negeri ini. Mulai dari Aceh, Indonesia, sampai dunia. Kecil-kecil, cabai rawit. Mungkin inilah ungkapan yang pas akan kehebatan sebuah kerajaan di timur Indonesia. Sayang, jarak membentang, dan putusnya tali sejarah, membuatnya terkesan hilang dari hiruk pikuk peradaban. Sehingga banyak anak negeri yang tak paham, betapa besarnya peran Tidore untuk Indonesia.

Senja Di Tidore ( sumber foto Langkahjauh.com)
Perlahan tapi pasti, pemerintah kota Tidore Kepulauan mulai bangkit. Menggaungkan Visit Tidore Island, berharap agar banyak pemuda di Nusantara ini, kembali bangga akan sejarah kaya negeri Tidore. Dan, tentu saja, dengan program tersebut nantinya akan banyak orang yang kenal dengan Tidore lalu datang ke daerah Kepulauan yang indah ini.

Saya masih menatap lamat-lamat wajah Makmur, yang masih misuh-misuh. Percakapan kami sore itu seperti biasa kembali gantung. Hanya sebuah kesimpulan sederhana yang bersanding dengan sebuah mimpi.

“Kapan kita akan ke Tidore bang? Untuk membuktikan langsung semua teori abang mengenai jasa Tidore untuk Indonesia itu? Lalu sama-sama kita berujar To ado re (aku telah sampai)….”

*Tidore, Foto by Barry Kusuma (alambudaya.com)