“Mana ini peserta? kok belum pada ngumpul? sudah telat 15 menit dari yang ada di rundown!” suaranya sedikit meninggi. Pria berambut kekinian itu terlihat gusar dan tak senang. Di depan aula yang berada dalam kawasan Asrama Haji kota Banda Aceh, dia terus mengulang hal yang sama. Sesekali, ia berbicara dengan rekan sejawatnya. Sesekali pula, ia menegaskan sembari bertanya dengan nada gusar kepada panitia acara yang duduk manis di meja registrasi.
Tebakan saya, mereka pasti berasal dari daerah yang sama dan sepertinya belum pernah ke Aceh atau belum mengetahui kalau matahari sedikit berbeda dengan Jakarta. Seolah, se-iya sekata, merekapun mulai gusar. Peserta dari acara nasional nan hebat belum berkumpul sesuai dengan jadwal yang disusun oleh panitia.
Lima menit sebelumnya, adzan Ashar baru saja berkumandang. Mengisi relung-relung ruang kosong dari setiap sudut kota banda Aceh. Dan, entah mengapa, mungkin mereka lupa kalau lima menit kemudian, sebagian dari peserta yang sebagian beragama muslim, pasti sedang shalat Ashar. Terutama mereka yang berasal dari Aceh.
Nada-nada gusar mengenai telatnya para peserta Lawatan Sejarah Nasional 2018 yang diadakan di Aceh membuat saya tak nyaman.
“Bu, di Aceh, shalat ashar itu jam 4 sore, shalat magrib jam 7 malam, isya jam 8, shubuh jam 5.15, serta shalat dhuhur di jam satu siang. Mungkin sebagian peserta sedang shalat, bu” Saya menimpali obrolan si pria dan ibu-ibu pada meja registrasi.
di Aceh, matahari seperti ini baru ada di jam 10 pagi |
Hati sudah mulai panas, tapi saya pikir, wajar saja kalau mereka tidak paham perihal ini, walaupun sebagian besar pasti muslim. Toh, bisa jadi mereka baru pertama kali ke Aceh dan malas cari tahu tentang local wisdom Aceh yang cukup menjaga waktu-waktu shalat.
“oh berarti jam gue salah ya? Minta lihat jam yang sesuai dengan waktu di Aceh dong!” sergah pria sepatu merah, dan memegang DJI Osmo MObille itu sembari menyodorkan jamnya kepada saya.
“Aceh masih WIB, sama seperti Jakarta, yang berbeda hanya waktu shalatnya saja” tutup saya sambil memasukkan isi goody bag ke dalam ransel serta bersiap-siap menuju kamar penginapan seperti yang diarahkan oleh ibu-ibu di meja registrasi tadi.
Saya hanya bergumam dalam hati, semoga ini bukan pertanda buruk. Melepaskan acara sekaliber nasional di Aceh kepada mereka yang tak paham mengenai hal-hal sepele seperti waktu shalat di Aceh. Ah, mungkin saya terlalu berpikir picik. Aceh sudah damai, menyingkirkan semua prasangka adalah kewajiban semua pihak, bukan?
Dari kejauhan, pria yang saya ketahui bernama Asep dari Komunitas Historia Indonesia itu masih sibuk menanti peserta yang satu persatu mulai memasuki ruangan. Walaupun sebagian lainnya belum sampai dari provinsi asal mereka. Ah entahlah, mungkin dia lupa, kalau naik si raja singa, pasti akan sering delay. Wallahu’alam.
***
Jam lima pagi di hari Sabtu, sebagian peserta yang berasal dari Aceh dan daerahnya yang terkena tsunami, hampir lari terbirit-birit dari kamar penginapan Asrama Haji kota Banda Aceh! Pasalnya sederhana, panitia yang bertugas membangunkan peserta menggunakan sirine yang ada pada TOA! Dengan sedikit terbingung-bingung, Khairul bercerita, kalau dia sempat bingung dan sedikit panik. Asrama haji ini, merupakan salah satu bangunan yang terkena efek tsunami 2004 dengan cukup parah.
Pertanyaannya sekarang, apakah mereka melupakan sejarah Gempa dan Tsunami Aceh? Ataukah sebenarnya mereka-lagi-lagi-tak paham mengenai betapa trauma dan takutnya orang-orang di Aceh dengan bunyi sirine di waktu-waktu tertentu? Atau mungkin, mereka juga tak paham mengenai perihal waktu terbit matahari di Aceh yang berbeda hampir satu jam dengan kota Jakarta, tempat sebagian besar panitia Lasenas 2018 ini berasal.
suasana di Benteng Iskandar Muda yang terletak tak jauh dari Benteng Indra Patra
Benteng Indra Patra tersenyum tatkala melihat langkah gontai sebagian peserta. Matahari begitu terik. Terlalu panas untuk tidak kena air minum. Ingin lari ke bus yang mengangkat 250 orang peserta, serasa sia-sia. Air mineral botol yang di bagi, tak cukup. Banda Aceh dan Aceh besar begitu panas, jatah air setiap peserta seolah hanya di jatah 600 ml per orang. Lagi-lagi saya berpikir sama. Ah, mungkin mereka tak paham kalau Aceh punya cuaca yang saingan dengan Riau atau Pontianak.
Adzan dhuhur sudah berkumandang beberapa jam yang lalu. Pak Yondri, guru pendamping dari Sumatra barat mulai gelisah di dalam Bus yang membawa kami dari Benteng Indra Patra ke Gunongan (jarak kedua tempat ini sekitar 1 jam bila naik bus). Saya mencoba menenangkan beliau, kalau beliau bisa mengambil jamak atau qasar saja. Mengingat beliau terhitung musafir atau travelers. Sehingga ada keringanan untuk menggabungkan dua shalat menjadi satu waktu.
Beliau kembali duduk di sudut bus. Hingga akhirnya bus berhenti di Gunongan yang merupakan tanda bukti cinta Sultan Iskandar Muda kepada istrinya yang berasal dari Negeri Pahang ini, pak Yondri berjalan tergopoh-gopoh mencari tempat shalat dalam kawasan cagar alam tersebut.
Tak lama, Wanti, Ella, Risna, Yelli, Ayu, dan beberapa teman-teman lainnya mulai menyuarakan hal yang sama. Mengapa begitu sulit shalat di tanah serambi mekkah ini? Saya hanya tersenyum. Sembari terus mencari solusi dan jawaban. Menurut pengakuan Wanti, mereka sudah bertanya dan mengkomplain mengenai waktu shalat yang tak leluasa kepada panitia. Lalu jawaban mereka?
“ teeeet... teeeeet..teeeeeeeet....” suara nyaring keluar dari TOA yang dibawa oleh pemandu acara yang keduanya bernama Asep.
“Adik-adik peserta Lasenas! waktu kalian hanya 10 menit lagi! Kita harus berangkat ke tujuan selanjutnya. Siap-siap, jangan terlalu lama!” peserta yang baru saja mendengarkan penjelasan dari nara sumber mengenai Gunongan dan Kandang Taman Ghairah, terpaksa turun dan berlarian untuk mengambil wudhu. Yang baru selesai shalat, hanya bisa meringis kalau akhirnya mereka tak akan dapat cerita berharga mengenai gunongan langsung di tempatnya. Ah, masih ada wikipedia kan?
***
Waktu terus bergulir. Cerita demi cerita sumbang terus terdengar. Sebagian kecil teratasi, sebagian lainnya malah semakin parah. Satu persatu peserta mengeluhkan keadaan. Para pembimbing mulai mencari tahu ada apa sebenarnya yang terjadi dibalik buruknya manajemen acara dan susunan rundown yang sedikit aneh serta sangat tak fleksibelnya panitia pusat.
“Pak Yudi, Saya Mohon Maaf Ya, Saya Pikir Aceh Itu Serambi Mekkah, setiap perhelatan acara akan menyediakan waktu shalat. Tapi ini kok malah kebalikannya ya?! Inikan acara nasional dan di Aceh pula lagi. Mengapa pak Yudi tidak sampaikan kepada panitia daerah? Mana bisa begini. Buruk sekali manajemen acara di Aceh ini!”. Seorang pendamping siswa yang berasal dari tanah Sunda mencoba mengeluarkan kegalauannya selama 5 hari 4 malam belakang.
Sakit, perih, nyeri sampai ke ulu hati. Orang lain yang makan nangka, Aceh yang kena getahnya. Akhirnya, hal yang saya khawatirkan terjadi. Aceh kembali menjadi si buruk rupa dari Indonesia. Negeri yang kaya dengan sejarahnya ini.
Pendamping dari Kalimantan, tak mau ketinggalan. Dari Papua dan Bali senasib sepenanggungan. Mereka masih berusaha menenangkan murid didiknya yang menangis karena pada acara penutupan tak jadi tampil. Latihan panjang seolah tak ada kesan manis di sanubari. Semua hikayat sedih ini seperti paduan suara yang bercampur dengan stagnasi suara mesin kapal Ekspres Bahari yang melaju menuju kota Banda Aceh.
ketika Aldo menghiasi tangan temannya untuk bersiap-siap tampil, tapi semuanya hanya jadi cerita! |
Ingin rasanya saya mengatakan kepada mereka, kalau ada rasa sedih yang berkalut-kalut di hati ini. Saat semalam tadi, saya mendengar dengan kuping sendiri kalau seorang panitia pusat dengan lantang sembari mengebrak-gebrak meja mengatakan “Wong Aceh iki Memang Gendeng! Nggak paham apa-apa! Dibilangin malah nggak ngerti!”.
Salah saja kami-orang Aceh-dimata penduduk negeri Indonesia ini. Jika ada yang tak beres dari negeri ini, pasti orang Aceh biang keroknya. Pasti Aceh yang menjadi pemberontaknya. Jika ada hukum rimba nan primitif maka Aceh adalah tempatnya.
Jika orang dari luar Aceh kesulitan untuk melaksanakan ibadah Shalat, maka orang Aceh-lah biang keroknya. Jika acara tak lancar sesuai rencana, maka orang Aceh-lah penyebabnya! Semua ini, pasti salah orang Aceh. Karena orang Aceh bukanlah orang yang berteriak, “Saya Indonesia, Saya Pancasila!”
Orang Aceh, memang bukan orang yang pintar dalam bertutur kata, tapi kami tak pernah mengkhianati republik ini! Kami hanya paham memberikan dengan tulus tatkala diminta membelikan pesawat agar Indonesia berdiri dan Pancasila ditegakkan.
Kami, orang Aceh, yang katanya tak cinta republik ini, hanya paham bila dengan mendirikan radio Rimba Raya, lalu memberikan biaya dan fasilitas agar Menteri Muda H Agus Salim melawat ke beberapa negara dunia hanya untuk mengabarkan bahwa Indonesia masih ada.
tadinya berpikir kalau gambar ini bisa bikin senang, ternyata malah bikin baper |
Aceh, yang katanya negeri orang gila ini, pernah menjadi ibukota republik Indonesia selama 1 minggu dengan seluruh biaya perpindahan itu ditanggung oleh nenek-nenek dan kakek-kakek saya dulu. Orang Aceh mereka, orang Aceh yang kalian katakan mereka adalah orang-orang Gendeng!
Ada banyak rentetan rasa kecewa, sedih, dan malu. Kami orang Aceh harus menanggung diri menjadi si buruk rupa hanya karena sesuatu hal yang kami tak lakukan. Menuntut hak atas diri, tak digubris lalu dikatakan gila. Menuntut keadilan dan persamaan perlakuan, kami orang Aceh dikatakan tak paham aturan.
Maybe we are stupid but we are not that stupid!
Bila engkau berbicara sejarah apalagi sampai membawa nama lembaga yang berbau sejarah, maka engkau pasti paham ada local wisdom yang harus di jaga. Ada norma-norma yang harus diikuti. Jadi, Bijaklah kawan!
Tulisan ini semoga menjadi catatan terbuka untuk seorang bapak yang berasal dari kementerian Pendidikan dan Budaya bagian Direktorat Jendral Sejarah; hati-hati berbicara Gendeng, dan dua orang pria bernama Asep dari Komunitas Historia Indonesia. Ingatlah satu hal; di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung? Semoga menjadi pelajaran kita bersama!
ini Indonesia, lantas perjuangan seperti apa yang harus dilakukan agar dianggap waras? |
Comments
Gregetan sayah. Bukan mau memprovokasi, sih, maksudnya klarifikasi aja. Kami share ya, Bang Yudi.
ReplyDeletesilahkan Aini, selama beberapa hari mengikuti kegiatan jangan tanya gimana saya dan kawan2 mengusuk2 dada hehe
DeleteSeharusnya mereka paham dong ya culture di Aceh. Apalagi mereka pendatang sesaat. Inilah yg akhirnya berkembang isu-isu keluar kalau Aceh inilah-itulah. Sebenarnya siapa pun itu pendatang baru, harus paham dulu tentang culture di suatu daerah, ngasal ngomong bisa bahaya.. Hahaha
ReplyDeleteSemoga si Bapak gak mengulang hal yg sama lagi di daerah lain
iya, dari awal kita semua sudah merasakan hal yang tidak beres, mulai tidak ada koordinasi antara panitia pusat dan daerah, air minum yang susah, dan lainnya..
Deletenasi sudah jadi bubur,saatnya memberikan yang terbaik
Saya bangga lho jadi orang Aceh!
ReplyDeletehmmmmmmm
Deletesedih bacanya, semoga tulisan ini jadi pembelajaran banyak orang dan yang bersangkutan, Bang..
ReplyDeleteamien Mbak.. berharap hal ini tidak terulang di daerah lainnya. Amien
DeleteKok sedih ya bacanya.
ReplyDeleteSemoga hal-hal semacam ini tidak terjadi laginke depannnya.
Amien..
DeleteAku bacanya kok miris banget ya Bang. Bukan orang aceh yg seperti itu, tapi mereka lah yg tidak tahu. Semoga ini yg pertama dan terakhir ya Bang.
ReplyDeletetak semua orang mau memahami orang2 di daerah.. dan tidak semua orang pejalan itu akan wisely kan kak?
Deletesaya menulis ini agar menjadi pelajaran bersama
Honestly i feel sad,anger and baper.
ReplyDeleteUntuk pak asep dkk yg disebutkan di atas, catat..ini aceh, jgn samakan dgn daerah lain,belanda aja takut di aceh,sampe harus bawa pribumi dgn korps marsose, untung aja peserta lasenas gak dibawa ke kuburan blanda kerkoff. Pantesan foto saya yg bertajuk "pribumi di antara serdadu belanda"yg saya jepret di kerkof tidak dipilih dalam ajang kontest foto terbaik lasenas2018. Kalau peserta ngeluh seperti itu dan gak mau faham keadaan daerah lokal dan gak mau enjoy aja,mendingan gak usah lah ke aceh, yg mau mau aja...
Bg yudi, sabar bang, we know what we are,they dont..!!! ; )
sebenarnya bukan masalah aceh atau bukan bang, Tapi permasalahannya mengapa begitu keras kepala sampai tak mau saling memahami keadaan. itu penekanannya
DeleteTetap paling Joss itu aneukdot Dari bang ayi.. buah delima di buat rujak... Huhaaa..
ReplyDeletegubraks.. hahahaha
DeleteDadaku kok bergemuruh baca ini ya bang. Ah, semoga sampai kepada ybs dan juga tak terulang. Mulutmu harimaumu itu benar adanya. Sabar, Bang Yud.
ReplyDeleteAmien.. bener banget Mbak, semoga tidak terulang ke daerah lainnya.
DeleteAceh engga kaya gitu bang :(
ReplyDeleteSaya aja yang non muslim tinggal di sana betah, suka dan merasa dihargai.
Jangan diambil hati apa kata mereka, mereka gak kenal Aceh seperti orang Aceh kenal kotanya sendiri.
Semoga gak banyak yang terluka dengan kejadian kemarin.
duuuuh kak liana...aku pengen mewek tapi sambil minum kopi, boleh yaaaaaa
Deletejangan mewek bang Yudi, itu berat.
Deletesaya juga ga mau mewek soalnya, cuma kesel dalam hari aja.
bae-bae itu ngopi sambil mewek, ntr keselek :'
Yuks ke Aceh lagi kak ling ling
Deleteayo Bang Yud!
Deletejangan kaget nanti kalo di WA dadakan lagi ya :D
Menarik tulisan nya, judulnya juga menggelitik saya buat baca, tapi ini pasti event besar, pasti byk yang ikut ambil bagian atas perhelatan ini. Saya rasa kalau acara ini jadi membawa image yg buruk kita cross cek lagi. Karena tujuan dari acara ini kan agar adik adik yg ikut serta makin memahami sejarah dan makin menghargai sejarah indonesia serta menimbulkan cinta yang kuat untuk negerinya.
ReplyDeleteKalau mungkin yang ada yg kurang, acara yang padat, kurang ini itu mungkin biasa ya sebab semua event bisa saja kejeadian begitu.
Tapi mungkin tamu tamu yang datang bisa diberi pemahaman yang baik, dengan cara yang baik. Syaa rasa ini hanya soal cara menanggapi atau cara penyampaian yang kurang bijak.
Sudah menjadi tugas untuk memberikan informasi kepada tamu yang tidak paham masalah masalah yang mentakut lain dan segainya. "pemulia jamee adat geu tanyo".
Semua hal ada manfaat, tergantung kita melihat dari sisi yang mana. Smoga kita bisa mengambil iktibar dari masalah ini.
Syukran.
permasalahannya bukan pada tamu kak, tapi pada panitia pusat yang tidak mau berkompromi sama panitia local, tidak mau memahami keadaan orang2 di daerah. itu masalahnya bukan pada tamu.
DeleteAduh bg Yud, baca tulisan ini membuat luka lama terbuka kembali. Aku diam bukan karena setuju dengan apa yg mereka lakukan ke kita, lebih menjaga image kepada para peserta daerah lain supaya nggak dianggap pemberontak. Salah satu cara yg bisa kita lakukan ialah dengan menulis seperti yg abang lakukan ini. Insyaallah Yel akan juga menulis hal yg dirasakan saat ikut acara Lasenas yg katanya Nasional itu.
ReplyDeleteTulisan yang di steemit pindahin ke blogmu Yel! biar makin rame hehe
DeleteTujuan diadakannya acara ini padahal sangat bagus namun panitia pusat tidak belajar rendah hati untuk memahami kearifan lokal di Aceh. Baru kali ini ikut acara cuma setingkat nasional di Aceh tapi waktu untuk salat tidak disediakan.
ReplyDeletePadahal beberapa waktu lalu ikut acara internasional, Rotary Peace, yang pesertanya berasal dari 19 negara dan hampir seluruhnya non-muslim tapi karena digelar di Aceh panitia menyediakan waktu khusus untuk salat bagi beberapa peserta muslim. Panitia mensiasati waktu break (tea/coffee time) dengan waktu salat. Jadi win-win solution.
Sejujurnya yang paling sedih itu, ketika panitia membangunkan peserta dengan sirene. Sebagai korban tsunami, Ayu benar-benar kecewa. Apalagi panitia katanya berasal dari komunitas berbackground sejarah.
Dan Ayu ada disana saat itu berbunyi kah?
DeleteAda bang. Sempat menyarankan hingga protes beberapa kali namun panitia bergeming.
DeleteIkut sedih Yud bacanya...
ReplyDeletesebagai orang Indonesia timur dan sekarang tinggal di Papua, saya juga paham bagaimana kita yang jauh dari "pusat" ini seringkali dipandang sebelah mata. kebiasaan tidak dihargai, budaya tidak dianggap dan bahkan sering diberi label terbelakang, tertinggal, keras kepala, dll. itu karena mereka menggunakan standar mereka, tanpa mau susah payah memahami standar orang lain yang beda.
semakin banyak tempat yang saya datangi, semakin saya paham kalau standar itu memang tidak boleh disamakan. begitu pula dengan cara kita memandang orang. tiap orang punya akar yang beda yang kalau kita paksakan masuk ke sudut pandang kita justru akan membuat gesekan.
sabar ya Yud..
tetap semangat mengabarkan yang baik-baik dari Aceh!
itulah inti dari kritik ini Daeng. Yudi sudah terlalu sering melihat panitia dari "pusat" merasa serba bisa dan serba paham. Seolah yang di daerah ini nggak paham event apa2.. dan akhirnya yang terjadi hanya keributan egosentris. dia lupa, kalau banyak anak2 daerah kini yang sekolah luar negeri :D
DeleteInsya Allah tetap sabar daeng, walaupun butuh waktu untuk bisa membalas semua komentar di sini hehe
Kritik itu perlu untuk kemajuan bangsa.
ReplyDeleteTerima kasih bang yudi.
Sama sama!
DeleteSaya ikut share ya bang yudi
ReplyDeleteSilahkan Bunda Guru :)
DeleteSaat membaca status di FB saya penasaran, ini kegiatan apa sih. Saat membaca cerita ini, saya baru respon, "Ooo, mereka toh..." hehehe...
ReplyDeleteYa, beberapakali saya bertemu dengan teman yang senang jalan² tetapi tak cukup waktu untuk berguru dari masyarakat di mana mereka numpang tenar dengan selfie dan status² di media sosial.
Satu hal yang saya tahu, orang aceh sangat penyabar.
Jabat erat!
Om, ntar cerita yaaa sebenarnya mereka itu gimana?? :D
Deleteishhh gemes....aku share ah mana tau ada teman yg bisa menyampaikan sampe sana...ternyata bener ya belajar sopan santun bukan perkara hanya baca buku tapi praktek langsung. Berusaha memahami budaya lokal setiap berkunjung ke daerah dari sekedar trip jeprat jepret doank..untung aku type pendiem membaca situasi dulu..based on my true story waktu landing di Aceh kemarin adikku malu sendiri pake celana pendek dibawah dengkul meskipun sah-sah saja tapi dia sadar diri bang,padahal aq yang komplen dari jakarta ga didengerin eh mau trun di pesawat dia pasang tuh celana sambungannya hahaha
ReplyDeleteAmien.. silahkan kak Ana, semoga sampai ke telinga yang bersangkutan walaupun saya yakin dia tetap kekeuh nggak ngerasa bersalah hehe
DeleteDi mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jadi belajar lagi, pengalaman sehebat apapun yang kita punya. Sudah seharusnya mempelajari budaya sekitar. Termasuk cara bersikap & tutur kata.
ReplyDeleteBenar sekali! sepintar apapun kita, bila tak pandai beradaptasi maka kita adalah makhluk yang gagal kak.. :)
DeleteMembacanya saya seperti memutar kembali adegan di buritan kapal cepat saat mulai memasuki perairan pulau Sabang.
ReplyDeleteSaya kira atas nama local wisdom anda (maaf saya masih belum tahu panggilan demikian dalam bahasa Aceh apa ya?)lebih berhak mengutarakan ini.
Bagi Saya Aceh adalah tanah impian untuk didatangi, hingga secangkir kopi Aceh telah mampu membuat kami merasa nyaman.
Semoga bisa kembali ke Aceh, dan menyelinap ke masa lalu
Amien.. berarti abang juga bagian dari salah satu undangan ya? :)
DeleteIni sepertinya panitianya belum survey sebelum acara hari H berlangsung kali ya, jadi apa2 seperti gak mudeng, kalau sudah disesuaikan dengan kegiatan di Aceh (seperti waktu shalat) mesti sudah bisa menyusun run down acara tanpa mengganggu ini itu paling enggak jadi tertib pelaksanaannya. Sebagai orang yg berasal dari luar Aceh saya sedih jika panitia ngomong kasar ke orang Aceh, waktu saya ke Aceh walo cuma sekali senang banget karena auranya berbeda, bikin adem di hati
ReplyDeletemenurut beberapa informasi sudah kak, tp memang suombongnya nggak ketulungan kak :(
DeleteJujur ketika saya akan ke Banda Aceh tahun kemarin, saya perlu riset 1 Bulan sebelumnya. Dari kondisi sosial ekonominya, adat istiadat, lokasi makan, mesjid, tempat wisata juga. Kebetulan saya bawa rombongan penas sebanyak 7 orang. Lha 7 orang ini pangkatnya diatas saya semua.
ReplyDeletePikir saya, saya harus bisa berbaur dan menyatu dengan Aceh, menyatukan setiap tingkah laku kami agar tidak sedikitpun menyakiti hati sang tuan rumah. Sudah cukup penderitaan rakyat Aceh yang terkena bencana tsunami, tak perlu lah kami tambah dengan perbuatan kami yang bisa menyinggung perasaan mereka.
Dan Alhamdulillah, 6 Hari disana luar biasa. Kami disambut bak raja di Kota Serambi Mekah. Dan Akhirnya, ada janji yang terpatri di Hati kami...kelak kami akan membawa keluarga kami kembali mengunjungi Banda Aceh. Insya Allah...
Alhamdulillah.. semoga bisa kembali lagi suatu hari nanti ya Bang Anton. Dan terima kasih banyak sudah mau mencari tahu tentang Aceh lebih jauh
DeleteMiris, kak. Bener-bener miris bacanya.
ReplyDeleteSemoga mereka bisa lebih baik kedepannya
DeleteSaya geli sendiri membaca kelakuan si baoak dari ditjen sejarah kemendikbud. Seharusnya sebagai orang indonesia yg berpendidikan tahu, WIB itu terbentang dari Banyuwangi sampai Aceh.Meski jamnya sama, tapi mataharinya tetap berbeda. Logika semacam ini seharusnya gampang dipahami, apalagi bagi org berpendidikan yg punya jabatan seperti si bapak. Kok malah menyalahkan orang aceh.
ReplyDeleteBahasa judulnya cukup membuat orang penasaran untuk membaca isinya. Tulisannya sangat menarik Bang, memang terkadang perbedaan waktu bagi sebagian orang tetap akan menjadi permasalahan. Salam kenal dari kota di wilayah Waktu Indonesia Barat.
ReplyDeleteHai... Terima Kasih sudah membaca blog ini. Yuks ikut berkontribusi dengan meninggalkan komentar di sini 😉