Saya masih ingat, hari itu. Hari menjelang magrib. Matahari mulai turun ke peraduan. Angin yang bertiup dari lembah bukit yang memayungi Danau Lut Tawar mulai turun. Dingin. Jaket mulai saya tarik rapat. Namun rasa gerah dan keringat tetap mengucur.

Saya, Om Ndut, Salman, Bang Ucok, dan beberapa teman lainnya berjalan kaki. Menaiki puncak bukit. Untuk melihat kota Takengon kala hari menjelang senja. Jalanan menuju bukit, terjal tak menentu. Jalan setapak terlihat meninggalkan sisa perjuangan. Ada yang sudah tercor semen. Namun semak belukar telah lama mengambil alih!

“Alamak! Anjing! Bang Ucoooook! Tolongin!” dasar Anjing!

Semakin saya ketakutan, anjing liar itu semakin menyalak. Tak tahu diri! Seolah saya mengganggu prosesi kawin jantan dan betina itu. Tepat di puncak bukit. Semua teman tim, tertawa. Sesekali tersekat, karena nafas yang tipis dan udara yang dingin. Serta kaki yang lelah.
Kini, tangga ini disebut, tangga seribu
Begitulah Bur Telege, tahun 2017 lalu. Kala pertama kali saya menginjakkan kaki di sana. Dalam hati, ini tempat memang keren. Tapi tak ada perawatan sama sekali. Sama seperti hanya naik ke puncak bukit, lalu memandang kota tua. Sesekali, sampah plastik di mana-mana. Tak terlihat siapapun senja itu. Matahari turun sempurna. Semua hanya mengeluh dalam hati. Kasian, tempat ini terlalu indah dibiarkan begitu saja.

Ini cerita Takengon tahun 2017
Kota kopi ini, butuh peremajaan. Butuh taman tempat melepaskan penat. Sudahlah danau yang indah dan tak ada atraksi wisata. Janganlah bukit ini tergeletak begitu saja. Yang ujung-ujungnya menjadi tempat mesum. Dan akhirnya, dia akan bernasib sama dengan tempat wisata lainnya di Aceh, tutup!

Kini,

Cerita mulai berubah. Bur Telege tak lagi terlihat seperti tempat anjing liar kawin. Pun, semak belukar yang dijadikan kamar bulan madu mereka sudah tak ada lagi. Jalanan yang menanjak dulu, kini diperbaiki. Dibuat lebih mudah dijangkau. Beberapa wahana bermain (yang mainstream) tersedia.  Mulai dari photobooth sampai flying fox. Fasilitasnya sendiri cukup memadai. Tempat parkir yang luas. Taman bunga yang membuat kita semakin santai sembari menyeruput kopi Arabika Gayo. Sampai kamar mandi juga tersedia.

Bur Telege hari ini!

Penginapan? Tenang, kemarin ketika saya datang, ada beberapa bangunan yang terbuat dari rangka baja tengah dibangun. Nantinya, akan bisa menginap di sini sembari malam menikmati gemerlap lampu kota Takengon. Dan, ditemani nyanyian merdu angin malam yang turun dari lembah!

Tak pernah menyangka, jika tempat yang dulunya tak berbentuk ini, berubah total. Pun, dikelola oleh masyarakat setempat. Tentu dengan dibantu oleh sektor pemerintah kabupaten Aceh Tengah sendiri. Memang, harus diakui, masih ada yang kurang di sana sini. Namun, bukankah mengapresiasi akan usaha baik masyarakat kampung Hakim Bale Bujang. Yups, ini murni inisiasi pemuda desa tersebut.
beginilah jalan yang telah direhab dan disusun ulang

Bukit Telaga, begitulah arti kata Bur Telege. Bukit ini juga, saya mendapati sebuah tugu peringatan. Orang-orang menyebutnya, Tugu 45 Bur Gayo. Jangan tanya tahun berapa dibangun. Tulisan yang ada di pusara tugu tersebut sudah memudar. Beberapa orang lainnya, menyebut ini Tugu Ali Hasyimi. Beliau adalah Gubernur provinsi Aceh tahun 1957–1964.

Ah, intinya, saya menaruh rasa bangga dan salute yang mendalam terhadap pemuda kampung ini. tempat yang dua tahun lalu saya datangi terlihat tak berbentuk, kini menjadi lebih baik. Paling tidak, saya dapat katakan kepada teman-teman blogger yang dulu ikut dalam rombongan Pesona Takengon, jika kini, Takengon telah lebih Baik!


Berikut ini, ada beberapa foto Wajah Baru Bur Telege, Takengon


Tugu Ali Hasyimy

bayangkan, malam seperti apa di atas sini?

dara ini, dari banda Aceh katanya