Saya memekik gembira!

Berlompatan di depan laptop. Sampai dimarahi oleh istri. Tengah malam, kenapa begitu ribut. Padahal, anak-anak sudah terlelap. Tinggal saya dan istri yang masih terjaga.

Pasalnya, pesawat yang akan menerbangkan saya ke Surabaya, adalah Garuda! Dan, berjenis Airbuss A330. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Hastag naik garuda tahun 2019 selesai sudah. Ntah, tahun depan.


Ini, adalah undangan  kedua saya sebagai salah satu Blogger di acara Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Yang pertama, di Anyer Provinsi Banten. Di Hotel yang pada malam terakhir, Kasur saya bergoyang kencang. Saya sempat berpikir jika itu gempa. Ternyata, kasur saya ada yang menggoyangkan dengan hebat. Padahal, saya hanya sendiri di kamar tersebut. Hmm..

Yang kedua, undangan datang lengkap dengan tiket Garuda. Kali ini, tujuannya adalah Surabaya. Hotelnya, Shangri-La. Kamarnya kali ini aman. Dan yang terpenting dari itu semua adalah, saya naik garuda yang seri Airbus330. Dan, kembali lagi ke Surabaya untuk kedua kalinya.



Ada banyak hal yang ingin saya lihat di kota Tri Rismaharini ini. Mungkin, nanti bisa menjadi referensi untuk kota saya, kota Banda Aceh. Harus di akui, ketika melihat rundown acara dari Persamuhan Pendidik Pancasila, hampir tak ada jadwal jalan-jalannya. Hanya ada ke Pandaan, Pasuruan. Itu pun hanya untuk menghadiri acara pembukaan.

Saya, di satu sisi, tak terlalu menyukai acara yang berada di dalam ruangan. Apalagi bila terus menerus. Bingung saja rasanya. Di sisi lain, saya juga tak kuat bila seharian di panas terik. Suka masuk angin dan takut hitam. Halah..

Namun, saya percaya, setiap perjalanan pasti akan membawa hikmah tersendiri. Pun demikian di perjalanan kali ini. Ya, minimal ke Surabaya. Minimal naik garuda. Syukur-syukur, jika pulang, mampu membawa sekotak sempa(k) baru. Tiba di pandaan, acara berlangsung seperti biasa. normatif sekali. Sampai akhirnya…

“kita jalan-jalan yuks? Yang dekat-dekat aja?” ujar kak Rere. Yang juga seorang blogger dari Medan. Yang turut menjadi salah satu peliput acara.

“iya, Yuks. Ke masjid Cheng Ho aja” teman yang lain menimpali. Semuanya, kami bersepeluh langsung bergegas. Ke masjid Cheng Ho yang berada tak jauh dari tempat acara.

Masjid Cheng Ho Surabaya Di Waktu Dhuhur


Masjid yang bernama asli, Masjid Muhammad Cheng Ho di resmikan pada tanggal 13 oktober 2002. Masjid ini sepintas, begitu menyerupai kelenteng, rumah ibadah Tri Dharma. Begitu kental rasa etnis Thionghua. Bahkan sampai ke nuansa warna. Pun, gerbang masuk ke Kawasan masjid pun tak luput dari gaya arsitektur china abad pertengahan.



Memori saya berkelebat, teringat akan perjalanan ke Kota Tua Jakarta, beberapa tahun silam. Di sudut Pecinan Jakarta itu, berdiri sebuah rumah ibadah dengan nuansa yang sama. Namun, bukan masjid melainkan Gereja Katolik. Gereja Santa maria De Fatima. Keduanya, memiliki benang merah. Yaitu, sama-sama bernuansa Thionghua. Pun, terbuka untuk umum.

Saya memang tak sempat sampai masuk ke dalam gereja tersebut. Walaupun rasa di hati begitu penasaran, bagaimana nuangsa abad ke 19 dalam gereja tersebut. Apakah hanya di luar bangunannya saja yang bernuansa Cina, ataukah sampai ke ruang peribadatannya juga



Siang di Pandaan, begitu menyengat. Saya menyempatkan diri untuk masuk ke dalam masjid. Tanpa harus menunggu siapapun. Toh, waktu telah memasuki ba’da Dhuhur. Saya sudah bersarung. Lengkap dengan baju gamis. Keluaran terbaru dari salah satu merk baju local dari Aceh. Ija Kroeng. Kurang Islami apa lagi? Halah..

Mimbarnya, megah sekali!

Ini pertama kalinya sama melihat sebuah mimbar untuk Khutbah Jumat dan ceramah yang terbuat dari batu Granit. Semimbar! Granit semua. Tiang pengapit di sisi imam masjid berbalut granit. Nuansa Thionghua masih tersisa sedikit di dalam masjid. Karpet merah berbulu tebal menutupi permukaan lantai. Tak banyak ukiran kaligraphi didalamnya. Hanya ada tepat di atas mimbar, dan satu lagi di bagian sisi pintu masuk.



Masjidnya cukup nyaman. Bahkan sejuk jika membandingkan dengan cuaca siang di Pandaan yang begitu panas. Hari itu, mencapai 35 derajat celcius.

Puas mengelilingi bagian dalam masjid, saya kembali keluar. Menikmati sisi-sisi unik dari masjid ini. Rasa-rasanya, hampir tak mungkin, ketika sebuah masjid berhiaskan lampu lampion. Namun, saya menyadari satu hal. Agama Islam, berkembang mengikuti jaman. Rumah Ibadahnya, tetap berpegang teguh pada kaidah-kaidah agamanya.



Seperti hal kubah pada masjid. Kubah atau Dome itu berasal dari Bangsa Romawi. Tahun 100 Masehi. Mereka menerapkannya pada bangunan-bangunan megah dan kuil Agung. Pun, Menara Masjid. Menurut beberapa ahili sejarah arsitektur, Menara sudah dikenal semenjak masa Mesopotamia. Dan Sekitar 80 tahun setelah kematian Nabi Muhammad, baru muncul menara pertama.

Begitulah…

Saya tersenyum, terlepas dari klaim yang mengatakan Cheng Ho beragama islam ataupun non Islam. Ada kesenangan tersendiri ketika bisa kembali menyaksikan perpaduan dua budaya tua menjadi satu kesatuan. Bukanhkah hal itu mencerminkan sebuah sikap yang baik. Mencari kebaikan bersama, menjauhkan perbedaan.

“Pancasila itu tidak ada di negeri ini! Jikalau masih terjadi perpecahan. Pancasila itu tidak mengakar di budaya Indonesia, jika kita masih melakukan sesuatu yang diluar agama. Saya akan tantang kalian semua. Untuk mau menuntut koruptor sebagai sebuah pelecehan agama! Karena seorang koruptor menentang hukum rezeki dari Tuhan!”

Tutup Sujiwo Tejo di hari penutupan Persamuhan Pancasila. Sebuah acara yang dilaksanakan oleh  BPIP Pancasila di Hotel Shangrila Surabaya. Shangrila, yang berarti sebuah surge Fiktif, yang berada di Himalaya. Pun masih dalam Bahasa Thionghua..
 
mirip orang mana coba? Aceh? Thionghua? atau Portugis? Atau?