Sepertinya mengejar cerita sejarah akan “kehebatan” Aceh pada masa lalu sudah mulai merusak pikiran waras saya sebagai seorang ayah yang baik dan benar. Sebelumnya, pada minggu-minggu yang lalu saya diajak untuk melihat makam kuno di desa lampulo lengkap dengan semua harta karunnya. Kini saya kembali diajak untuk mengunjungi sebuah desa yang cukup jauh dari kota Banda Aceh dengan tujuan yang sama. Menggali harta karun Aceh yang telah lama hilang.

Perjalanan kali ini menuju ke kawasan pelabuhan Krueng Raya. Sebuah pelabuhan yang lebih dikenal sebagai pelabuhan sejarah dari pada pelabuhan bongkar muat barang. Pelabuhan ini sudah lama berdiri. Mengingat, secara sejarah, pelabuhan Krueng Raya telah diceritakan pada kisah kehebatan Laksamana Keumala Hayati yang fenomenal itu. Di lain sisi, pelabuhan ini juga telah lama berkembang sejak era kerajaan Hindu-budha Aceh, yaitu jaman Kerajaan Indra Patra.
Jarak tempuhnya lumayan, kurang lebih 40 KM dari pusat kota Banda Aceh. Lelah, sudah pasti, gempor bokong apalagi. Tapi hasrat dalam diri begitu menggoda. Seolah saya kembali menjadi muda lagi. Yiihaaa..

Motor butut saya terus melaju dengan kecepatan sedang. Jalanan yang sepi, biasan cahaya mentari pagi terus menemani, sesekali terdengar deburan ombak di sisi kiri jalan. Sesekali, Ziyad memekik karena motor yang ditumpanginya harus mendahului sebuah mobil tangki Pertamina ukuran besar. Satu jam sudah, saya berpikir bahwa lokasi hunting kali ini ada di daerah yang mudah dijangkau dengan motor. Ternyata? Saya salah!

Pelabuhan Krueng Raya di lihat dari atas bukit Lamreh, Aceh Besar
Dari pelabuhan Krueng Raya, saya masih harus memacu motor ke arah bukit “Soeharto” alias perbukitan Lamreh. Jalanannya masih beraspal bagus. Akan tetapi sudah mulai menanjak tak tahu diri. Motor butut ini di isi 4 orang, dua orang dewasa dan dua orang batita. Ditambah perlengkapan batita yang cukup menambah beban.

“dek, kalau sudah naik ke arah bukit, nanti sebelah kiri ketemu dengan sekolah, sampingnya ada lorong berbatu. Adek nanti masuk ke lorong itu ya”  Kak Era menjelaskan melalui telepon genggam. Maklum saja, saya sebenarnya tertinggal jauh di belakang mereka. Sedangkan mereka sudah lebih dulu tiba. Mereka? Ya, ada beberapa teman yang sudah lebih dulu sampai di bukit yang katanya penuh dengan batu nisan kuno. (katanya lebih kuno dari pada makam di Desa Lampulo). Ada bang Arie yamani, kak Ayie dan Suaminya bang David, Kak Era dan Yuni.

Saya sedikit ragu, apakah kali ini saya telah salah tujuan. Masa iya, bawa anak-anak menjelejah hutan dan naik turun bukit? Apakah motor ini mampu melaju dalam jalanan setapak di sepanjang bukit? Ah sudah, bismillah saja.

Benar dugaan saya, ternyata jalannya benar-benar jalan setapak. Jalanan yang biasanya dilalui oleh para pekebun ataupun peniliti yang akhir-akhir ini sering berlalu-lalang untuk meneliti kumpulan makam kuno di daerah perbukitan Lamreh ini.

harus jalan kaki, karena motor sudah tidak memungkinkan lagi di pacu :D
jalan setapak yang harus saya dan keluarga lalui.
Jalan masih naik turun. Bebatuan cadas berserakan dimana-mana. Belum lagi tanaman liar yang sesekali tersibak ke muka saya. Tak terasa, kami sudah masuk jauh kedalam area hutan perbukitan Lamreh. Sampai akhirnya saya ketemu juga dengan rombongan teman yang lebih dulu sampai. Saya masih bingung, di area yang seluas ini, mau di cari kemana itu makam? Bentangan bukitnya benar-benar luas. Salah jalan sedikit nyasar. Salah besok sedikit nyasar. Sepertinya ini lebih layak disebut berpetualang dari pada mengunjugi makam!

“kami juga baru pertama kali kemari Yud! Jadi kakak juga nggak tahu dengan pasti dimana letak kumpulan diwai makamnya hehehe” alamak?! Ini orang ngomongnya kok tidak ada beban ya? #nepokjidat

“jadi? Kita sekarang hunting dong kak?” saya sedikit meringis. Ada anak di pangkuan dan di punggung yang duduk dengan santainya. Satu beratnya 12 KG yang satu lagi 16 KG. (Jadi ayah itu memang butuh perjuangan. Terutama harus sering angkat beban)

Apa yang hendak dikata? Semuanya sudah serba terlanjur. Terlanjur sudah jalan jauh dan motor sudah terlanjur masuk kedalam hutan bukit Lamreh. Terlanjur sudah menggendong anak sekaligus dua. Terlanjur sudah capek dan mulai kepanasan. Baiklah, sekalian saja terlanjur bingung mencari makam kuno yang lebih dikenal dengan Plak Pling Lamuri!

Setiap lorong kami jelajahi. Tapi lagi dan lagi semuanya buntu dan tidak menunjukkan bukti keberadaan makam kuno Lamuri. Sampai akhirnya, kami terus menyusuri jalanan menurun. Terus menurun. Dan turunan semakin curam. Mentari sudah mulai naik ke tengah kepala. Panasnya mulai merambah ke ubun-ubun. Seketika, suara deburan ombak terdengar sangat dekat. Wah! Ternyata kita sampai di pinggir laut!

Ah siang yang panas, menjadi waktu yang tepat untuk melepaskan lelah sembari bersandar di pepohan yang rindang di pinggir pantai. Sayang, warna tosca yang berbaur biru tidak keliatan hari itu. Laut serasa muram. Deburan ombak mengalun pelan. Angin bertiup perlahan, cukup untuk mengeringkan keringat yang sudah mulai membaui badan. Kabut Asap kiriman dari Riau dan Sumatra Utara telah menyentuh Aceh. sehingga langit terkesan mendung dan sendu.
di ujung sana adalah tanjung kelindu atau lebih di kenal dengan Ujung Dunia, sayang, cuaca buruk

ini pulau Amat Ramayang, yang menjadi legenda seperti malin kundang di aceh

leyeh-leyeh dengan pemandangan kayak gini bikin males gerak hehe


Sudah, yang penting saya dan anak-anak bisa bermain sesaat di pinggir pantai. Menemukan pantai ditengah rimbun tanaman liar hutan dan tanah yang berbukit-bukit itu memberikan sensasi tersendiri. Dari kejauhan terlihat ujung kelindu yang sedang naik daun karena kedatangan artis beken Nadine Chandrawinata. Di sisi kiri, ada pulau Amat Ramayang, yang katanya dikutuk jadi batu mirip dengan cerita Malin Kundang di Sumatra Barat sana.
pengen banget bisa ke ujung dunia itu..:((

Tanpa bekal yang cukup, akhirnya kami memutuskan untuk kembali pulang. Tapi, saya masih penasaran. Sebagus apakah makam Plak Pling Lamuri ini, sampai-sampai begitu banyak peniliti beradu argumentasi mengenai umur dan peradaban yang pernah ada di bukit lamreh ini. Saya memutuskan untuk memanjati sisi bukit yang berbatasan dengan pantai tersebut. Perlahan demi perlahan. Tanpa terasa saya sudah di puncak bukit. Terlihat pemandangan yang indah. Persis sama seperti yang saya lihat di pinggir pantai tadi, tapi kali ini saya melihatnya dari ketinggian. Ah, foto! Eh? Saya baru sadar ternyata saya tak bawa kamera maupun handphone. Semuanya tertinggal di bawah bersama istri dan anak-anak. Hiks..

Usaha menaiki bukit tidak sia-sia, paling tidak, setelah memutari punggung bukit beberapa kali, akhirnya saya menemukan satu buah. Iya satu buah! Nisan yang telah patah. Desainnya unik. Ukirannya terlihat berbeda dengan ukiran pada makam-makam kuno atau makam raja di seputaran kota Banda Aceh. Ini terlihat lebih kecil bersegi empat, mirip obelix tapi kecil. Berhubung saya lupa membawa kamera, akhirnya patahan makam itu hanya bisa saya nikmati sendiri. Saya memutuskan untuk menuruni bukit perlahan dan pulang.

Praaaks..!!  terdengar hantaman keras dari bawah motor saya. Sepertinya saya menabrak sesuatu ketika hendak memundurkan motor. Terlihat sebuah batu besar yang menghalangi ban depan motor saya.

Eh?! Inikan dia?? Salah satu Batu Nisan Plak Pling Lamuri yang sedari tadi saya cari! Bentuknya mirip dengan yang saya lihat di atas bukit tadi. Hanya saja, ini sudah hancur. Dimakan usia, dan tergeletak begitu saja. Semut-semut nakal menjadikan ruas-ruas batu sebagai markas persembuyiannya. Tidak lagi terlihat ukiran-ukiran khas dari india. Hanya batu kosong bersegi, penuh dengan bolongan di sekujur tubuhnya. Di sampingnya juga terdapat beberapa pecahan gerabah. Mulai dari keramik cina sampai gerabah dari tanah liat.
Ini batu nisan kuno para bangsawan kuno di Bukit Lamreh

ini adalah gerabah atau pecahannya dari era ratusan tahun yang lalu


Alamak! Kalau tahu di parkiran motor saja ada makam kuno dan pecahan gerabah, buat apa saya repot-repot naik kepuncak bukit Lamreh. Lengan saya masih perih karena tergores dahan-dahan yang berduri. Kaki ini masih pegal karena naiknya cukup terjal. Saya masih mengomel dan merepet sejadi-jadinya.

“nothing to lose lah bang. Kan akhirnya abang bisa ketemu yang aslinya di atas sana. Lagian, anak-anak juga senang karena mereka bisa berpetualang bersama ayahnya didalam hutan kayak gini” jawaban lembut dari istri saya akhirnya memenangkan hati yang sedikit panas. Ah iya juga ya? Bukankah ini saatnya mengejar makan siang? Lapar…


jalan pulang yang kami lalui, beda jalur pergi dengan jalur pulang itu memang luar biasa  
leyeh leyeh sembari menengok bukit lamreh di kejauhan
####### 


Berikut adalah beberapa foto asli nisan Kuno yang telah ditemukan oleh para peneliti dan kini terancam punah.


foto by misykah.com

foto by misykah.com

Foto By https://id.wikipedia.org

Di Lam Reh terdapat makam Sultan Sulaiman bin Abdullah (wafat 1211), penguasa pertama di Indonesia yang diketahui menyandang gelar "sultan". Penemuan arkeologis pada tahun 2007 mengungkapkan adanya nisan Islam tertua di Asia Tenggara yaitu pada tahun 398 H/1007 M. Pada inskripsinya terbaca: Hazal qobri [...] tarikh yaumul Juma`ah atsani wa isryina mia Shofar tis`a wa tsalatsun wa tsamah […] minal Hijri. Namun menurut pembacaan oleh peneliti sejarah Samudra Pasai, Teungku Taqiyuddin Muhammad, nisan tersebut berangka tahun 839 H/1437 M (Sumber dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Lamuri )