Patung Naga yang menjadi maskot Kota Tapak Tuan Aceh Selatan
Mobil Kijang Kapsul keluaran tahun 2004 ini terus melaju tanpa henti. Seperti kesetanan. 120 km/jam dibabat sang supir tanpa ampun. Mesin meraung-meraung memecah jalanan aspal yang berkontur berbukit-bukit.

“Hati-hati Kek” celoteh seorang bocah balita yang ikut menjadi penumpang hari itu. Bocah kecil ini bertubuh sedikit gemuk dengan rambut lurus tipisnya ini duduk manis di samping sang sopir. Kakeknya, tersenyum sembari terus memacu mobil kesayangannya. Sesekali, dikecupnya sang kakek olehnya sebagai tanda sayang. Kali ini kecepatan mobil sedikit berkurang.

Sebenarnya, pria yang menjadi supir itu sudah tidak muda lagi. Umurnya menjelang 60 tahun. Sebentar lagi ia pensiun dari statusnya pegawai negeri daerah Aceh. Tubuhnya yang sedikit pendek itu masih kekar. Matanya masih awas dalam melahap setiap belokan dan tanjakan yang disajikan oleh jalan Banda Aceh – Aceh Selatan. Dan, pria tua yang asyik mengebut itu adalah ayahku!

Ini, adalah kali pertama bagiku dan istri, menjelajah sisi barat dan selatan Aceh. masing-masing kami, paling jauh hanya sampai Blangpidie. Sebuah daerah yang dulunya masih dalam kawasan pemerintahan Aceh Selatan. Namun, sejak tahun 2002, ia menjadi sebuah kabupaten baru. Kabupaten Aceh Barat Daya dengan Blangpidie sebagai ibukotanya.

jalanan berkelok dan naik turun inilah yang tetap dibabat dengan 120 KM/Jam
20 November 2015, adalah hari yang menandakan kalau akhirnya, sisi barat Aceh hampir habis kami jelajahi. Tujuan awalnya, hanya memenuhi undangan pernikahan adik sepupu saya. Ia, mendapatkan jodohnya di tanah Singkil. Tepatnya di kecamatan Rimo. Sudah adat Aceh, bila seorang pengantin pria itu harus dihantarkan sampai ketempat tujuan oleh pihak keluarganya. Dan, kami, adalah bagiannya. Perjalanan 15 jam via darat-pun kami jajali.

Jam tanganku, menunjukkan pukul 5 sore. Tak terasa perjalanan memasuki hampir setengah perjalanan. Bocah balita mulai rewel. 8 jam perjalanan darat dengan medan berbukit, bergunung, dan berkelok membuat pantatku mati rasa. Kebas. Misuh-misuh rasanya duduk sebagai penumpang dengan supir adalah ayah sendiri. Bukan, bukannya saya tak bisa mengemudi kenderaan roda empat ini, tapi ayahku yang tak mau ganti!

Blangpidie telah lewat, kini saatnya kami memasuki kecamatan Labuhan Haji. Di beri nama labuhan haji, dulunya, daerah ini menjadi titik mula para calon jamaah haji asal Aceh mulai berlabuh mengarungi samudera hindia menuju ke tanah suci nun jauh di Arab Saudi sana.

“Yah, udah Aceh Selatan, istirahatlah sebentar..” pantatku yang mulai mati rasa, dan pinggangku yang rasanya sudah tak bertulang lagi, memaksaku meminta pak supir untuk relaks sejenak. Lagi pula, langit cerah sore itu setelah malam sebelumnya daratan Aceh di guyur hujan lebat.

Tak lama berselang mobil kijang hitam ini melaju perlahan. Lalu, lambat laun iya berhenti tempat disisi kanan jalan. Kaca mobil kuturunkan. Aku berharap, ada udara segar yang masuk dari jendela mobil ini. Udara sore yang beraroma laut, bercampur dengan angin segar yang turun dari lereng-lereng bukit yang berjejer di sisi kiri jalan. Iya, kondisi Aceh selatan ini diuntungkan dengan tekstur alam yang menarik. Di sebelah barat, ada samudra hindia yang menghijau berbaur biru tua terbentang luas. Di sisi timur, bukit barisan yang rindang dengan pepohonan, meliuk meliuk seperti ular raksasa yang tertidur lalu menjadi batu.

“Selamat datang di Aceh Selatan” pekikku dalam hati. Ada rasa yang mengharu biru berbuncah tak terbendung dalam hati. Kota ini, baru kali ini Aku sambangi. Tapi sedari kecil, legenda Tuan Tapa dengan Ular Naga Raksasa selalu menemani tidur malamku. Tak jarang, sesekali Aku bermimpi bertemu dengan putri yang cantik jelita, anak dari sang raja dari negeri India yang hanyut ke tengah laut.

Add caption

****
Syahdan, tempat dimana kami berhenti ini tinggallah seorang yang taat agama dan bertubuh raksasa. Bukan hanya alim tapi juga sakti mandraguna. Masyarakat setempat menyebutnya Tuan Tapa. Sehari-hari beliau hanya bertapa di salah satu gua yang terdapat dideretan perbukitan Aceh selatan. Sampai pada akhirnya, datanglah sepasang Naga yang terusir dari negeri tirai bamboo. Secara tak sengaja, sepasang ekor naga ini menemukan bayi perempuan ditengah laut tak jauh dari tempat Tuan Tapa bertapa.

Singkat cerita, bertahun kemudian, ketika sang putri kecil menjadi seorang putri belia yang cantik rupa. Berambut ikal hitam legam menjuntai menutupi punggungnya. Bermuka oval dengan paras khas gadis Hindustan. Sang raja, yang mendengar bahwa putri Bungsu-nya masih selamat di pulau Sumatra, ia pun bertandang. Sesampainya di Aceh selatan, betapa terkejutnya ia kalau ternyata Putrinya bukan lagi bernama putri bungsu, melainkan Putri Naga. Masyarakat setempat menamai putri dari india tersebut dengan nama Putri Naga karena ia, dibesarkan oleh sepasang Naga.

Ketika sang baginda raja meminta kembali putrinya, disinilah klimaks legenda ini di mulai. Sang Naga tak sudi memberikannya, lalu raja meminta bantuan dari tuan tapa. Pertempuran antara dua makhluk raksasa ini pun tak terhindarkan. Dari pertempuran itu, terciptalah berbagai nama-nama desa atau kampong sesuai dengan kejadian. Kampong batu hitam, ketika naga terluka parah dan bercucuran darah, ia hendak lari ke sisi gunung sebelah utara kota Tapak Tuan, Tapi Tuan Tapa terus mengejarnya dan berhasil membunuhnya. Setiap darah yang menetes dari sang naga ternyata mengenai beberagai batuan di tempat tersebut lalu batu tersebut berubah menjadi warna hitam. Sehitam darah naga yang membeku. Jadilah desa Batu Itam.

****
Air Terjun ini bernama air terjun air dingin. rancu memang, tapi itulah naamnya 
“Itu namanya Air Terjun Air Dingin Bang” ibuku yang berdarah asli Aceh selatan ini menceritakan banyak hal tentang tanah kelahirannya. Bahkan ternyata, ada sebuah bekas tapak raksasa di atas batu karang besar, yang terletak di pinggir laut dibalik bukit yang melintang pada sisi barat kota Tapak Tuan, makanya diberi nama Kota Tapak Tuan.

Aku mencoba memahami, berbagai kearifan local di kabupaten selatan Aceh ini. Masyarakatnya yang sebagian turunan dari Sumatera Barat, sampai percampuran berbagai suku menciptakan sebuah keharmonisan tersendiri. Seperti air terjun yang ditunjuk oleh ibu-ku tadi, ada keunikan di sini. Mungkin, ada legendanya juga. Entahlah, tapi yang jelas, air terjun ini berpasir laut. Iya! Pasir laut yang putih ada di dasar aliran air sungai yang mengalir dari ujung Air Terjun itu jatuh. Unik. Karena biasanya, tanah liat atau tanah lumpur yang berada pada dasar sungai atau dasar air terjun. Tapi ini pasir laut.

Makasih ya Dek untuk gayanya. nggak rugi abang nunggu kamu loncat ke hati abang :D
Dari sisi tebing air terjun, beberapa bocah yang ku taksir umurnya masih bersekolah dasar, dengan lincah memanjati sisi tebing yang curam. Lalu, Byuurrr… bocah yang perempuan lompat lebih dahulu ke dasar air terjun. Bocah yang laki-laki dan bercelana kuning itu juga tak mau kalah. Ia loncat sejadi-jadinya. Kembali menciptakan percikan air yang luar biasa. Aku hanya duduk diatas sebuah batu sungai besar yang terletak tak jauh dari mereka. Sambil sesekali Aku mencoba mengabadikan sebuah moment yang kini langka terlihat di Banda Aceh.

Mentari sore mulai jatuh perlahan. Ayahku, sang sopir tua, mulai misuh-misuh sendiri. Rupanya, ia sudah tak sabar untuk melanjutkan kali perjalanan. Masih ada delapan jam lagi yang harus dilalui untuk sampai ketempat tujuan.
Sore di seputaran Sawang, Aceh  Selatan

Bilang sama saya, kalau ada senja seperti ini siapa yang tak sudi duduk lama?
Angin sore yang asoi, dengan langit biru sempurna. Membuat kaki dan pantatku yang nyaman di atas batu sungai enggan bergerak. Tapi jalan tetap harus ditempuh. Walaupun matahari senja mulai merona, tapi kami tetap harus jalan lagi.

Mobil kijang tua itu kembali dipacu dengan sejadi-jadinya. 120 km/jam kembali ditunjukkan oleh speedometer. Kupandangi lamat-lamat ke ujung barat. Menikmati senja dalam pacuan kecepatan tinggi. Sampai ketemu di lain waktu...