Benteng Indra Patra sebuah benteng peninggalan era kejayaan Krueng Raya lampau 

Mobil Toyota milik bang Faisal melaju dengan mulus di atas jalanan beraspal mulus. “Mas Gio, hari ini kita akan bawa mas gio ketempat favoritenya mbak Olive”. Bisa dikatakan, tahun ini, adalah tahun keberuntungan saya. Bagaimana tidak, tahun ini adalah tahun awal saya memulai kembali menulis blog. Tapi, walaupun berumur jagung, blog sederhana ini kembali membawa keceriaan dalam setiap perjalanannya. Dua orang blogger keren dari ibukota yang menyambangi kota kelahiran saya, Banda Aceh, memilih saya sebagai teman perjalanannya.

Bang Taufan Gio (pemilik www.disgiovery.com) dan kak Olyvia Bendon (pemilik www.obendon.com) serta tak ketinggalan bang Faisal. Sang owner dari www.acehadventure.com.  Entah mengapa, hari itu ia bersedia menjadi supir untuk menemani kemanapun kami berjalan. Tak sedikitpun ada nada keberatan keluar darinya. Ia senang, menemani saya dan keluarga kecil saya serta bang Gio dan mbak Olive. Ah sudahlah, yang terpenting saat ini adalah saya mensyukuri keadaan.

Krueng Raya, sebuah distrik atau mukim yang terletak nun jauh dari sebuah cerita kesuksesan anak negeri Aceh. Dulu ia pernah berjaya kala Portugis berusaha mati-matian ingin menguasai selat Melaka. Mukim ini juga pernah jaya dalam kancah sejarah kala Lamuri, sebuah kerajaan tua yang hilang kembali ditemukan. Di Mukim terujung Aceh besar sebelah timur ini juga pernah berjaya dengan pelabuhan penyeberangan Banda Aceh – Sabang. Jauh, sebelum ulee lheue kembali mengambil peran lamanya. Lalu, apa jadinya Krueng Raya hari ini? Percayalah, tak lebih dari sebuah distrik mati nan sepi.
****
Yups, ini Pantai Ujong Batee Puteh yang sedang naik daun itu. kalau bang Gio bilang, ini seperti di Irlandia hehe
Petualangan menjelajah mukim sepi ini selalu membuat saya terpana. Mukim ini, selalu menawarkan hal-hal yang luar biasa. Mulai dari tebing pantai yang putih lalu menjorok ke lautan sampai kisah syahdu para janda. Iya, Para Janda Aceh! Jauh sebelum pasukan inong balee dari milisi Gerakan Aceh Merdeka membooming di media para era 1990an. Kami, orang Aceh, telah mengenal kisah sendu dari perjuangan Para Janda Aceh.

Syahdan, di tengah kesedihan yang mendalam karena kehilangan suami tercintanya, Laksamana Keumalahati memohon kepada Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1589-1604 M) agar ijinkan membangun benteng pertahanan khusus nun jauh di sudut tebing gunung yang berhadapan langsung dengan selat Melaka. Sebuah selat mahal yang layak diperebutkan demi kelangsungan hidup rakyat Aceh.
reruntuhan benteng Inong Balee pimpinan Laksamana Keumalahayati
Raja dan para ulama berikrar setuju. Sang laksamana wanita pertama di dunia ini, memulai misinya. Menjadikan Krueng Raya sebagai Kota Para Janda yang para suaminya menjadi korban perang melawan Penjajah Portugis. Lalu, sejarah sudah mencatat bagaimana kemasyhuran sepak terjangnya. Ia, berhasil mengumpulkan 2000 yang kesemuanya adalah wanita janda perang. Tembok kokoh berdiri.  Di pesisir pantai krueng raya berjejer kapal perang yang gagah pada masanya berderet rapi. Bersiap untuk menggerayangi setiap jengkal kapal penjajah yang nakal memasuki perairan Aceh.

Pernah terjadi pertempuran besar di mana pasukan Portugis dipimpin Cornelis de Houtman menggempur pertahanan pasukan Kerajaan Aceh di Benteng Inoeng Balee. Namun serangan itu berhasil dipatahkan, dan bahkan Cornelis de Houtman harus kehilangan nyawanya ditangan sang laksamana.

Masa itu, Krueng Raya kembali mengambil peran penting dalam tata pesona sejarah Aceh. Lantas, hari ini?

Di tengah sepinya jalanan aspal hitam yang menghubungkan Banda Aceh-Krueng Raya, rasa takjub akan kehebatan sang laksamana masih tersimpan baik dalam relung-relung hati wanita Aceh hari ini. Pun tak kalah dengan mbak Olive yang kini lebih memilih Aceh sebagai kampungnya hanya karena cerita Keumalahayati.

Bilqis sedang bermain bersama sapi. di reruntuhan Kota Para Janda Aceh
Hari menjelang siang, awan mendung sedikit nakal bergantungan manja di ujung barat bukit Soeharto. Tujuan awal hari ini adalah menaiki bukit Ujung Teungku Batee Puteh. Takut kesiangan, dan takut hujan, kami mulai menikmati setiap hempaan angin yang mulai bertiup kencang. Ombak laut yang tenang berubah menjadi garang. Tapi, tetap saja pesona keindahannya tak tertutupi. Pasir hitam legam itu seolah menjadi kontras kala berpadu dengan tebing putih yang gagah. Dan, ini telah disaksikan oleh para Janda Aceh kala itu. Kami disini hari ini.

Perjalanan berlanjut. Siang semakin panas walaupun mentari sebagian tertutup awan mendung yang masih bergelayut di ujung bukit. Jalanan mulus kembali berubah berbatu-batu. Konturnya masih berbukit. Bang Faisal dengan sigap mengambil haluan ke kiri. Kami dibawanya ke benteng Para Janda Aceh yang luar biasa itu! Saya tertegun. Cerita demi cerita hari ini menjadi nyata. Saya, walaupun anak Aceh tapi baru hari ini menginjakkan kaki ke benteng yang dulunya begitu ditakuti oleh Portugis.

Hamparan pepohonan yang hijau berdiri mengikat batu belikat yang membentuk dinding tua. Tapi, itulah dia, sisa dari benteng hebat sang Laksamana Keumalahayati-arti dari namanya adalah cahaya hatiku-yang pernah menjadi cahaya bagi seluruh kaum wanita Aceh sampai hari ini. Cut nyak dhien, pun terkesima dibuat olehnya. Langkah Cut Nyak Dhien menjadi seorang pemimpin perang tak luput dari inspirasi sang Laksamana.

Dinding itu masih cukup kokoh, walaupun benteng tak berbentuk lagi. Di sisi lain dari benteng tersebut, ada sebuah makam tua dengan nisan yang mirip dengan nisan lamuri. Istri saya mencoba membaca tulisan arab yang terpatri di nisan tersebut. 1206 M “Selebihnya adek nggak tahu bang” jawabnya kala saya meminta menerjemahkan yang lainnya.
salah satu makam kuno yang saya temukan di Kota Para Janda Perang Aceh

Dentuman ombak, yang mengalun merdu, beriak teratur para teluk Mukim Krueng Raya. Gradasi warna kembali sempurna. Mentari sedikit bersinar membuat siang semakin terik. Tapi, itu semua dengan berat hati harus kami tinggalkan. Kak olive dan Bang Gio masih semangat untuk berburu sunset senja nanti. Bang faisal pun menyambuti tawaran seraya memanas-manasi “Keren itu, cantik mentari senja nanti”


Mobil putih yang sudah tak karuan warnanya ini karena berkalang lumpur kembali ke jalanan aspal. Memacu sedikit kencang lalu berbelok kiri. Tepat di depan pelabuhan Keumalahayati. Ternyata, Kak Olive menuntaskan seluruh rangkaian cerita dari Kota Para Janda Perang Aceh hari ini. Iya, kami memutuskan untuk mengunjungi makam sang pencetus emansipasi wanita pertama kalinya dalam dunia kemiliteran dunia. Dialah, Laksamana Keumalahati


YR

makam Sang Laksamana Keumalahayati pemimpin laskar Inong Balee
peninggalan benteng Indra Patra mukim Krueng Raya Aceh Besar
Ziyad di benteng Inong Balee 

ada Bang Gio, dan bang Faisal sedang sibuk mengambil gambar di atas Bukit Pantai Ujong Batee Puteh

Yups, Akhirnya kami sekeluarga berhasil tracking ke atas Bukit yang indah di ujung Krueng Raya
Panorama Laut dari benteng Inong Balee