Ka po beumayang hai geulayang, jeut kalon beutrang peukateun donya (Terbanglah yang tinggi wahai layang, agar bisa engkau lihat dengan jelas permainan dunia)
Pak Abdul Manaf
terlihat misuh-misuh sembari terus menengadah ke langit. Sore itu, langit cerah.
Angin yang bertiup ke arah barat tak terlalu kencang. Cukup untuk menerbangkan layang-layang
berwarna-warni ke angkasa raya. Dia terus saja menengadah, melihat layangnya
yang berwarna hitam kuning berusaha merebut posisi puncak. Sesekali, ia seperti
merapal mantra. Sesekali, ia mengosok-gosok tangannya yang terlihat
pecah-pecah.
“nyoe karena kayeum that meuen geulayang” ia menjelaskan perihal tangannya yang terlihat sedikit mengerikan.
Ternyata,
bekas luka dan sayatan itu didapatinya karena ia terlalu sering main layang. Benang
yang digunakan untuk menerbangkan layang adalah benang pancing dengan ukuran yang cukup tebal atau besar. Ukuran layang yang membentang lebih dari satu
meter itu, bisa dipastikan akan menimbulkan gaya tarik yang luar biasa ketika
para pemain seperti pak Abdul Manaf mencoba untuk mengontrolnya.
setiap tim yang bertanding, masing-masing mereka memiliki tukang gulung benang
|
Dalam tradisi Aceh, permainan layang dikenal sebagai
Geulayang Tunang/Tunong, yang berarti Lomba Menaikkan Layang. Layang yang digunakan
oleh masyarakat Aceh disebut sebagai Layang Kleung atau Layang Elang.
Kenapa disebut
sebagai Layang Elang? Karena pada ketinggian tertentu, layang yang ukurannya besar
ini akan mirip sekali dengan burung elang.
Layang yang
diterbangkan sore itu, berjenis layang Kleung Aceh Rayeuk. Rangkanya yang
terbuat dari bambu pilihan, yang terlihat jelas dari kekokohan sang layang. Kertas minyak
yang berwarna-warni memberikan kesan elegan dan futuristic.
Pak Abdul Manaf
tidak sendiri. Ia, bersama 4 rekan lainnya sedang sibuk menurunkan layangnya. Permainan
telah usai sore itu, tim mereka tidak menang. Saya memang datang sedikit
terlambat. Permainan ini berlangsung cukup singkat. Berbeda dengan event yang
sudah berskala nasional yang dilakukan saban tahun oleh pemerintah Aceh. Permainan
layang tunang sore itu hanya berlangsung tak lebih dari 1 jam saja. Hanya untung menghibur pemuda kampung setempat saja.
“nyoe keu hayeu-hayeu mantong dek”
Ini hanya untuk
bersenang-senang saja. Begitu katanya, sembari mengepulkan asap dari rokok yang
bermerek angka berurut dan tak di mulai dari angka satu tersebut. Satu grup,
untuk pendaftaran harus membayar tiga puluh ribu rupiah. Sore itu, saya melihat
begitu ramai tim yang ikut serta. Mulai dari yang tua dan tak lagi bergigi
seperi pak Manaf sampai anak-anak muda yang mungkin baru saja tamat SMP. Semuanya
tumpah ruah, dan sibuk meninggikan layang ketika sang pemandu meneriakan aba-aba
yang menandakan kalau waktu akan segera selesai. Semua mencoba meraih kemenangan, dengan memposisikan layang setinggi dan selurus mungkin.
Siapa yang
paling tinggi, dan tepat di atas kepala, maka dialah yang berhak menang.
Ada dua orang wasit atau lebih dengan satu wasit kepala dalam setiap permainan Layang Kleung |
kerangka layang tetap dibawa pulang untuk kembali diperbaiki |
“kami akan selalu menaikkan layang di sini, karena tak
lama lagi, area sawah ini akan jadi perumahan semua”. Senja turun perlahan. Langit menjingga sejadi-jadinya. Angin yang
bertiup dari timur ke arah barat, berhenti seketika. Saya seperti merasakan
sensasi slow motion ketika mendengar kalimat terakhir darinya. Dari pak Abdul
Manaf.
Hal yang sama
pernah saya alami. Dan, saya memahami seperti apa rasanya ketika sebuah
permainan rakyat yang menjadi hiburan warga desa harus terengut hilang karena
pesatnya pembangunan. Kampung saya, kehilangan permainan sejak 20 tahun silam. Tak
ada lagi tanah sawah kosong tempat bocah ingusan menaikkan layang saban sore. Semuanya,
berganti dengan komplek perumahan. Mulai dari yang cluster mewah sampai
perumahan biasa. Tembok dan tembok yang menjadi pembatas menghalangi Layang, terbang bebas.
Tradisi yang yang
bermula dari jaman kesultanan Aceh ini, bukanlah hanya sebuah permainan rakyat
biasa. Didalamnya, mengandung nilai-nilai sosial budaya Aceh. Terciptanya sifat
kerjasama dalam kebersamaan. Saling gotong royong ketika mereka berusaha
menahan posisi layang tetap di puncak.
Kalian akan
bingung, ketika benang yang tajam tadi ditahan melalui selangkangan. Lalu,
seorang teman lainnya akan menarik melalui celah yang tersedia dari kedua belah
paha tersebut. Dan, seorang lainnya meluruskan benang pancing tersebut agar tak
kusut sehingga mudah digulung oleh teman lainnya.
saya lupa tanya, bagaimana rasanya benang yang tajam dan tegang itu melewati area yang kadang-kadang tegang juga :D |
Kini,…
Lambat laun namun
pasti, permainan ini semakin langka dan sulit ditemukan di seputaran kota besar
di Aceh. Seiring dengan hilangnya lahan kosong atau areal persawahan yang
selalu menjadi sasaran pemukiman baru yang katanya lebih menjanjikan. Dilemma memang,
ketika mengetahui bahwa, pak Abdul manaf dan beberapa rekannya akan kehilangan permainan
masa kecil mereka. Tidak akan ada lagi kerja sama dalam tim ketika layang harus
ditarik sejadi-jadinya agar mencapai posisi paling “cot”-tinggi lurus di atas
kepala.
Saya merasa
beruntung sore itu, ketika pemuda lainnya sibuk mengukur jalan bersama kekasih
hatinya, saya malah sibuk menonton sebuah pertandingan layang kuno yang mulai
tergerus jaman ini. Satu dua layang diturunkan. Ada yang jatuh dengan baik, ada
yang harus diputuskan benangnya. Gema adzan magrib yang terdengar sayup-sayup
dari setiap sudut areal tempat pertandingan layang. Membubarkan seluruh
aktifitas di tanah lapang itu.
Satu persatu, pemuda kampung dan beberapa
bocah mulai mengayuh sepedanya untuk pulang ke rumah masing-masing. Dan layang elang? Semuanya sudah turun
sempurna. Disimpan baik-baik, agar esok bisa diterbangkan lagi.
Lalu, sampaikanlah kepada dunia, kalau di Aceh,
kami masih bisa layangan walaupun harus bertarung dengan pesatnya pembangunan!
bagi mereka, pula kala menjelang magrib itu adalah hal biasa. |
mereka ketika beradu untuk mencapai posisi paling tinggi |
senja, layang-layang, dan angin timur? mungkin saja masa kecil saya terselamatkan |
fyi :
- tradisi permainan layang ini masih bisa di lihat di seputaran desa lamreung aceh besar, atau hanya 7 menit dari warung kopi solong ulee kareng banda Aceh.
- acara berlangsung mulai dari pukul 17.00 wib sampai dengan selesai
- disarankan datang lebih awal sehingga kalian bisa melihat dari awal mengukur benang sampai layang diperlombakan.
- Untuk event-event tertentu, tradisi ini masih sering di perlombakan hampir di seluruh Aceh. Terutama ketika musim panen tiba.
Comments
Jadi inget zaman masih SD dulu, tiap pulang sekolah bikin gelasan benang buat layangan dan tangan ke baret2 kena benang layang + badan gosong keling kebanyakan kejemur
ReplyDeletebang, bukannya sekarang elu makin keling karena sering banget menjemur diri pake kancut di bali?? :D
DeleteMain layang-layang emang mnegasyikkan. Apalagi kalo ada yg bantuin gitu. Aku anak perempuan aja dulu suka banget mainan layangan ^_^
ReplyDeleteWaah kaka hebat pernah mainin layang2. Salute. Paling tidak, masa kecil kaka bahagia kan?
Deletejadi pengen layangan sama nadia. ke lampuuk seru x ya hehehe
ReplyDeleteNaaah.. Kangen pulang kampung kan?? Seru kak. Apalagi mainnya di lampuuk
DeleteWaktu kuliah saya sempat tinggal di Lamreung..tapi sayang tidak ada kesempatan melihat pertandngan layang-layang ini. Fotonya cakep-cakep...
ReplyDeleteMereka mwmang baru menghidupkan lago setahun belakangan ini kak. Karena menurut mereka. Ini adalah cara terbaik utk menggalang rasa kebersamaan. Terima kasih kak..
Deletewalah hai adun,,, lumpah cukop brat kangen masa ek layang :D entah kapan akan main layang-layang lagi :(
ReplyDeleteLoh?? Klo arief di sigli berarti tinggal ke lamlo aja. Di sana kan ada?
DeleteJadi teringat pas kecil buat layang kleung dengan abua, sekarang anak-anak SD model beli layang udah jadi harga 1000.
ReplyDeletemakasi bg, jadi termotivasi untuk foto permainan layang kleung, eh taunya dekat rumah :)
yaa namanya juga anak sekarang Fan.. semuanya serba instan. bikin teraju aja mungkin nggak bisa :D
DeletePermainan yang sampai seREMAJA ini aku nggak bisa mainin ya cuma layang-layang. Kok ya kayaknya musuhan banget layangan sama aku huhuhu
ReplyDeleteare you serius bang????
Deleteya sudah, nanti kalau ke banda aceh, ingatkan saya untuk menemani abang nonton layang2. lalu kita naikkan satu :D
Setelah SMP dan pindah ke kota, aku dah gak pernah main layang2 lagi. Kayaknya dulu selalu pulang sore sampe dimarahin bapak gara2 telat sholat karena main layangan. Di Aceh malah orang dewasa yang main layangan ya hahaha :)
ReplyDeleteaha! tos! kita sama!
Deleteya di aceh, orang2 dewasanya sepertinya kurang bahagia masa kecil bang :D (including me hehehe)
Menarik. Baru tahu saya kalau di Aceh permainan layang-layang ternyata adalah permainan turun menurun yang justru dimainkan oleh orang tua.
ReplyDeleteSaya jadi penasaran, asal mula masuknya permainan layang-layang ke Aceh lewat mana ya? Dan siapa yang membawanya?
Wah.. pertanyaan itu menarik untuk ditelusuri lebih lanjut Daeng.
DeleteMungkin kedepanya bisa di bikin festival gitu ya mas. Di surabaya ada acara festival layang2. Kalau nggak salah sudah rutinan. Tapi yg daerah2 lain belum ada...terutama di gresik, tempat tinggal saya.
ReplyDeleteklo festival sekarang sudah ada.. walaupun tidak rutin setiap tahun. tapi sudah ada mas :)
Deletedan semoga, bisa menjadi event tahunan yang rutin
Bagus sekali blog ttg geulayang tunang. Semoga tradisi ini terus berlangsung, baik utk kalangan usia muda dan tua. Terima kasih banyak๐๐ป
ReplyDeleteHai... Terima Kasih sudah membaca blog ini. Yuks ikut berkontribusi dengan meninggalkan komentar di sini ๐