“Menurut orang tua bilang, beberapa hari mendekati tanggal tenggelamnya kapal gurita, atau sebelum tenggelamnya kapal tersebut, lautan sabang akan berombak besar dan angin akan luar biasa kencang. Sepertinya, laut memang meminta korban. 
Pelabuhan Balohan Sabang; Ketika Citra Sabang Dipertaruhkan!
pelabuhan Bebas Sabang
Saya tercekat. Diam seribu bahasa. Sesekali, hanya mengangguk seolah semuanya sudah saya pahami. Bang Isan, si pemilik penginapan di sepuratan daerah kincir ini berbicara santai seolah ia, hanya bercerita sebuah dongeng sebelum tidur.

Saya duduk tempat menghadap ke pantai. Yang kala pagi menyingsing, akan terlihat Pulau Seulako tepat dihadapan. Tapi, ini malam. Malam yang sangat sibuk. Hilir mudik para wisatawan begitu cepat. Beberapa mobil sewaan berhenti di penginapan yang saya inapi malam itu. Hanya untuk bertanya, apakah masih tersedia kamar kosong untuk mereka melepas lelah di malam yang dingin. 

Angin timur sepertinya akan mencapai puncaknya. Ombak laut di perairan Pulau weh berombak sejadi-jadinya. Dentuman ombak laut yang biasanya melembut ketika tiba ditepian, malam itu tidak bersahabat. Beberapa speedboat di depan penginapan harus diikat dengan erat. Sesekali, terdengar suara keras dari tengah lautan. Bang isan, bang Asri, dan seorang bapak tua, yang duduk bersisian dengan saya malam itu hanya tersenyum simpul. Dan, hujan pun turun.

Pelabuhan Balohan Sabang; Ketika Citra Sabang Dipertaruhkan!
view dari kamar penginapan, keren sih tempatnya, tapi kamar mandinya nggak ada di dalam kamar hehe

Saya masih ingat kisah KMP Gurita, yang tenggelam tak jauh dari hari dimana saya memperingati hari kelahiran. Kapal naas itu tenggelam tepat di hari jumat, tanggal 19 januari 1996, pukul 20.30. kala itu langit pun sama, tak bersahabat. Ditambah kapal yang overload, dan mesin tua, menjadi sebuah perpaduan sempurna untuk menjemput maut di tengah laut yang terkenal dengan arusnya kuat. Laut Andaman.

Bisa jadi, apa yang dituturkan bang Isan dan kedua temannya mungkin hanya isapan jempol belaka. Saya juga mendengar kisah mengenai terdamparnya kapal yang memuat 44 orang alim ulama di abad ke 17 kala hendak menyambangi tanah suci.  Dengan Ummi Sarah Rubiah adalah salah satunya. Yang pada akhirnya, nama dari Pulau Rubiah yang bersebelahan dari pulau seulako, diambil dari namanya.

Pelabuhan Balohan Sabang; Ketika Citra Sabang Dipertaruhkan!
spot baru yang nggak banyak para wisatawan tahu :D
Entah apa naas saya, cerita kapal tenggelam itu masih berlanjut. Padahal, angin semakin membuat tubuh kurus saya semakin dingin. Bergelas-gelas teh panas sudah saya habiskan. Cerita demi cerita terus mengalir dari mereka bertiga. Seolah tak ada capeknya. Badan boleh tua, tapi semangat tetap anak muda. #halah

Kala jaman Colonial Belanda berhasil mengusai kota sabang, perang dunia I berkecamuk di lautan samudera Hindia. Maka, peran Pulau Weh kala itu menjadi sangat strategis. Saking strategisnya, jepang kala perang dunia ke II sampai bela-bela membangun benteng pertahanan dalam tanah hampir di seluruh pulau! Soal kapal perang yang karam tak usah lagi diceritakan. Mulai dari kapal Sophie yang kini menjadi salah satu daya tarik wisata bawah laut sabang, sampai beberapa kapal lainnya yang harus karam dihantam torpedo.

*****
Selasa 9 februari 2016, tepat sehari setelah perayaan imlek. Saya, sendirian terdampar laksana seorang pengungsi yang hendak di usir dari tanah kelahiran. Pelabuhan Balohan sabang sesak tak terkira. Ribuan orang berduyun-duyun mengantri tiket. Mulai dari calo sampai gadis eropa yang berpakaian minim. Berbaur menjadi satu. Tak ada batasan yang jelas kali ini. Kalaupun hendak berbicara syariah islam yang menjadi salah satu dasar hukum daerah provinsi Aceh, sepertinya tidak berlaku di pelabuhan.

Pelabuhan Balohan Sabang; Ketika Citra Sabang Dipertaruhkan!
serasa dimanaaa gitu sampai sesak begini
Pelabuhan Balohan Sabang; Ketika Citra Sabang Dipertaruhkan!
mencoba cari pemandangan lain ketika sudah terlalu lelah mengantri :D

Tak ada antrian tiket khusus wanita. Ah, alih-alih antrian khusus wanita, toh loket tiket yang di buka hanya satu kok. Kondisi semakin memanas kala informasi mengenai keberangkatan kapal, jumlah tiket yang diperjualbelikan, tak ada.

“what happen with this situation bro?” seorang bule Eropa, bertubuh kecil dan beraksen latin menggerutu di depan antrian. Dua teman gadisnya hanya mengangkat bahu. Mereka juga bingung. Sama seperti saya.

Ketika hari semakin siang, keadaan semakin panas. Aroma kamar mandi mulai mengeranyangi setiap lobang hidung anak manusia. Satu persatu mereka menutup hidung. Ada yang berusaha tak acuh. Sampah sisa makanan mulai berlalat. Tak ada cerita indah hari itu mengenai Sabang. Semuanya hanya ada keluhan dan keluhan. Bingung, saat seperti ini, di mana para petugas ya? Ah sudahlah, saya memutuskan untuk memulai obrolan dengan dua gadis bule asal Austria. Siapa tahu nanti bisa menjadi teman couch surfing #eh..

Saya selalu percaya, cara Tuhan bekerja itu sungguh sangat mempesona. Dan, hari itu, Allah memberikan sebuah hiburan dalam hidup kesemberawutan pelabuhan Balohan siang itu. Tiket habis terjual! Dan, kapal Cepat (speedboat) tidak berlayar karena angin timur kembali bertiup. Antara tersenyum dan miris, saya hanya bisa mengelus dada. Dua loket saya jabanin tak satupun ada tiket tersisa. Hingga akhirnya, seorang tamu dari Medan, sumatera memberikan tiket kapal roro yang tadi lebih di beli olehnya.

Nasi siang baru sedap tersantap pukul 2 siang. Sepotong ikan goreng, sejumput kuah asam pedas, tanpa sayur berharga 13.000 rupiah saja. Antara tercekat tapi terpesona. Si penjual berbicara menggunakan bahasa inggris dengan saya. Dalam hati, sepertinya cerita ini belum berakhir sebelum saya menginjakkan kaki kembali di kota Banda Aceh.
Pelabuhan Balohan Sabang; Ketika Citra Sabang Dipertaruhkan!
satu persatu ibu-ibu itu tumbang dan tertidur dalam lelahnya mereka
Tapi, bukankan sebuah perjalanan adalah sebuah pencarian hikmah dari hidup itu sendiri? Diantara lantai berdebu, saya menselonjorkan kaki yang sudah pegal sedari pagi berdiri tanpa henti, di koridor panjang yang menjulur ke ujung dermaga. Beberapa rombongan ibu-ibu duduk bersama saya. Bercerita banyak hal tentang sabang hari itu. Mungkin, lebih tepatnya tentang balohan dua hari belakangan ini. Di mana cerita pelabuhan Sabang tidaklah seindah seperti cerita dari literatur sejarah yang beredar. Mungkin, karena sekarang, balohan hanya sebatas pelabuhan penyeberangan saja. Bukan sebagai pelabuhan bebas yang sering dihinggapi oleh kapal-kapal bertaraf internasional. Sabang, seperti tidak menjadi pulau Shabag dalam cerita arab. Walaupun ada gunung berapi, tapi dia tetap menjadi pulau keemasan atau the golden island.

bang Arl bergaya sembari menghilangkan suntuk :D