Tahun sudah berselang, nyeri dan sendu dalam relung hati masih terasa dengan sempurna. Saban kali mengingat betapa singkatnya perjumpaan saya dengan gadis cantik bernama Meulingge di Pulau Breuh, Aceh Besar.

Ingin rasanya mendulang rasa rindu yang telah menumpuk tak tahu diri. Mengisi kisah lama yang belum sempurna. Memang, masa lalu, harus berlalu. Seperti senandung dangdut Inul yang mengungkapkan semuanya harus berlalu. Lengkap dengan mimik wajah yang sok disusah-susahkan. Mirip seperti ratu jahat dalam kisah snow white. Alih-alih ngiba, ngeri, iya. Belum lagi dengan tampang syahwat sembari menari seperti mau mengebor ubung-ubung rumah.

Meraung-raung bermelodi “masa lalu, biarlah masa lalu..Jangan kau ungkit, jangan kau ingatkan aku” dengan beat gendang yang menggebu-gebu lalu ia berjoget bak cacing mau di sate. Sungguh itu mengerikan.

Sungguh, begitu mengerikan rindu itu. Seperti perpaduan beat kencang, tapi lirik sedih ditambah goyang ngebornya inul yang mengerikan.

Sulit,itulah adanya. Pria normal mana yang tak pusing kepalanya ketika rasa membuncah naik ke ubun-ubun ketika bertemu dengan gadis ayu nan kuning langsat. Sedikit hitam karena terjilat oleh matahari yang tak tahu diri.

Meulingge, menjadi sebuah interprestasi saya dalam mengejewantahkan keindahan dalam balutan khas Aceh. Setiap mata yang memandangnya pasti tersandung hatinya.


Terletak nun jauh di sudut barat negeri ini. Bersebelahan dengan pulau Weh yang berikota Sabang, disanalah terletak pulau mungil yang bernama Pulau Breuh ( pulau beras) ini berada. Di sana pula, konon keindahan Aceh dimulai. Berlikuk-likuk menutupi arus dari samudra hindia menghempas pantai kota Banda Aceh. 

Ia pernah megah tatkala dikenal sebagai surga yang hilang. Kini, pulau yang terimbas dari efek cinta anak baru gede mengejar hasrat instagram telah membawanya kembali dalam ranah pertaruhan destinasi wisata.

Parodi Cinta dari Pulau Breuh, Aceh Besar
saya rindu, duduk di ujung dermaga Meulingge
Meulingge bagi saya, tak bedanya seorang gadis cantik yang terbalut rapi. Semuanya menjadi satu hingga menciptakan rasa bahagia yang tak terperi. Penduduk yang ramah, senyum yang ikhlas, angin yang menyembul dari teluk pantai yang sayu. Semuanya, semuanya menjadi sebuah untaian lagu dangdut era tante Evie Tamala.

Masih terbayang jelas. Ketika jejak pertama ini sampai pada bibir pantai di siang yang terik. Tapi, anginmu membuat diri dan hati ini sejuk sampai ke buhul-buhul kalbu. (sumpah ini ter Evie Tamala-kan) seketika itu juga keindahan aslimu tersibak.
Baca Juga, Pesona Desa Di ujung Barat Aceh 
Inilah Meulingge. Desa terakhir di sudut barat negeri ini. Dengan panorama alam dan budaya Aceh yang masih begitu terjaga. Adat mereka memuliakan tamu begitu menyentuh hati. Sesekali, anak gadis tersenyum malu-malu. Tersapu mukanya dari balik kerudung birunya. Sembari mengungkapkan “abang ini ganteng ya” aaah.. ingin pingsan rasanya.

Meulingge, jauh dari hiruk pikuk dunia hiburan pariwisata. Meulingge, jauh dari kata resort. Meulingge adalah sebuah desa yang begitu alami. Tempat di mana satu dari tiga mercusuar Williem berada. Tahukah kawan, Mercusuar itu, hanya ada tiga di dunia. Satu di karibia, satu di Belanda, dan satunya lagi, ada di pangkuan meulingge.



Di sini, teluk laut membentuk lengkungan yang cantik. Diapit oleh punggung gunung nan hijau. Di pulau, panorama bawah laut yang masih begitu alamiah. Terbebas dari dosa tangan bandot anak manusia. Bukan hanya desa yang hebat, perjalanan menuju ke meulingge pun akan menggoda dirimu untuk selfie. Saran saya, hati-hati nanti jatuh hati. 

Saban kali, motor tua yang saya tumpangi ini meliuk-liuk di jalan berbukit, setiap itu pula saya memutuskan berhenti. Bila di Minang, Alam takambang menjadi guru, maka di sini, Alam takambang bikin kamu nafsu! Nafsu jepret foto sampai habis baterai kamera. 

Pantai lambaro, Pulau Breuh, Aceh Besar

Pantai Lambaro dari atas.
Mulai dari gerbang alami lampuyang bak pintu besar di film-film Game Of Thrones, sampai ke desa Rinon. Yang konon di mana titik nol indonesia seharusnya berada. Mulai dari arus lampuyang yang kuat dan berputar, sampai teluk meulingge yang teduh. Semuanya tersusun begitu rapi. begitu sedap, begitu merangsang untuk tidur di pangkuannya. 

Bagi saya, Meulingge bak sebuah parodi cinta. yang terbentang untuk menyadarkan orang aceh, kalau pulau ini layak untuk dicintai lebih jauh. Lalu, soal rindu? ah biarlah begini. Mungkin tahun depan, saya bisa kembali menjamahnya.