Keliling Kota Tua Jakarta
"Waduh Mas, saya sudah ngedayung sepeda sejak zaman Pak Harto, Mas. Anak dan istri ya di kampung. Kalau ada lebih rezeki ya saya pulang kampung untuk menjenguk mereka"
Logat Kebumen-nya, terasa masih begitu kental walaupun ia sudah puluhan tahun di Jakarta. Wajahnya hitam legam. Dengan topi bucket hat di kepala, dia terlihat sedikit muda dari umur yang saya bayangkan. Namanya, Mubarokah. Sebuah nama yang begitu khas Indonesia dan Jawa. Pelafalan “O” yang memang menjadi khas bagi sebagaian besar penduduk Jawa (sepertinya).

Awal perjumpaan kami, adalah ketika saya keluar dari Museum Bank Indonesia dengan muka sedikit semberawut. Bukan karena ngantuk, tapi karena pikiran yang terus berkecamuk memikirkan nasib Aceh dengan tampilan kliping yang tak sedap di baca. Tak banyak yang pakai ojek sepeda di siang yang terik ini. Apalagi ditambah bau asap knalpot kenderaan dan perut yang berteriak minta diisi nasi Padang.

Baca juga : Ini cerita tragedi di Museum Bank Indonesia


"Biasanya pagi-pagi itu rame Mas yang naik ojek sepeda. Mereka rata-rata orang kantor. Kan mau cari jalan pintas dan biar cepat nyampe ke kantornya” Ungkap pria yang sedari tadi khusyuk mengayuh sepeda ontelnya sambil sesekali menjawab pertanyaan yang saya lontarkan. 


Keliling Kota Tua Jakarta
Pak Mubarokah, dengan saya dibelakangnya
Dari pelataran museum Bank Indonesia, sepeda melaju pelan memasuki areal museum Fatahillah. Persis seperti seorang bapak mengantarkan anaknya masuk Sekolah Dasar. Saya duduk tak bergerak, mematung di belakang sepeda pak Mubarokah. Sedangkan ia, terus asyik mengelilingi halaman museum tersebut. Sambil sesekali menceritakan keadaan keluarganya di kampung halaman

“Mau ke sisi sungai mas?” Sudah dua kali ia mengelilingi pelataran gedung yang dipengaruhi oleh bentuk balai kota Di Amsterdam yang berdiri seabad sebelumnya. Saya mengiyakan ajakannya. Sepeda ontelnya kembali meluncur pelan. Keluar dari sisi utara kawasan kota tua. Cafe Batavia, gedung Jasindo, Kantor Pos, berderet-deret membentuk pagar tembok yang apik.

Keliling Kota Tua Jakart
jarang sekali rasanya ketemu langit biru kek gini di Jakarta hehe
Keliling Kota Tua Jakart
keren ya lapangannya? Tahukah kamu, kalau dahulu di lapangan ini sering sekali dilaksanakan hukuman mati?
Sejujurnya, saya mulai jatuh cinta dengan kawasan ini. Andai saja tak banyak penjual kaki lima, mungkin, kawasan ini akan terlihat lebih elegan. Bentuk bangunan ala eropa dari abad ke 18 masih terasa cukup kental. Walaupun beberapa bangunan kini sudah dipugar dan telah menyerupai bentuk asli.

Pak Mubarokah mulai menyusuri kawasan luar kota tua. Tanpa banyak cakap, ia terus mengayuh. “pak berhenti sebentar” Saya menepuk punggungnya cukup kuat. Terperanjat ia dari atas sadel sepedanya.

“Kenapa mas?”

“Itu, Pak, ada nama bangunan yang mirip nama kampung saya”

Dari seberang jalan yang ramai. Sebuah ruko tua dan sudah tak berpenghuni terlintas di depan mata. Lantai duanya tertutup triplek, sedangkan halaman depan ruko ditumbuhi pohon yang mentutupi atapnya. NV Lho’nga Coy. Kok bisa ada nama Lhoknga di sini?
Keliling Kota Tua Jakart
tidak ada sama sekali ceirtanya di internet. sekilas katanya, ini dahulu perusahaan dagang milik orang aceh

“Seingat saya, dulu, di sebelah ruko itu ada orang jualan karpet mas. Dan salah satu karyawannya orang Aceh”. Pak Mubarokah hanya bisa menjelaskan hal tersebut ketika saya tanyakan dari mana asal muasal nama tersebut. Deadlock. Tak ada jawaban pasti!

*****

“Yud, saya di depan museum Wayang yaâ”sebuah pesan dari Whatsapp masuk. Ah akhirnya dia sampai juga. Mbak Olivia Bendon. Si kakak angkat yang hobi menjelajah bangunan kuno dan kuburan tua.

Rasa-rasanya, menjelajahi kota tua Jakarta, tanpanya akan berbeda. Saya, yang memang sedari awal kedatangan ke Jakarta tidak menyusun ittenary. Jadi, saya sangat berharap darinya. Syukurnya, Mbak olive dengan ringan tangan mengajak saya menyurusi stasiun beos. Alias stasiun Jakarta Kota. Stasiun asli dari jaman Kolonial Belanda. Kini terlihat lebih rapi dan tertata.


Keliling Kota Tua Jakart

Bangunan boleh tua, tapi giliran saya dan mbak Olive masuk ke area dalamnya? Starbuck, KFC, dan banyak restoran franchise serta swalayan ternama sudah berdiri didalamnya. Perlahan demi perlahan setiap sudut ruangan kami jelajahi. Puas menikmati setiap ruangan di station kota tua Jakarta, langkah kaki kami kini menuju ke sebuah gereja tua.

Setiap sudut mulai kami jelajahi, sesekali, ia bercerita tentang sejarah singkat stasiun Kereta Api yang cukup tua di Indonesia ini. Versi lain, Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken, yang artinya Batavia dan Sekitarnya, yang berasal dari fungsi stasiun sebagai pusat transportasi kereta api yang menghubungkan Kota Batavia dengan kota lain seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Parijs van Java (Bandung), Karavam (Karawang), dan lain-lain (sumber Wikipedia.com)

Kaca Patri kuning keemasan terpajang rapi di sudut atas langit-langit stasiun. Memberikan efek warna yang kontras dengan kegiatan manusia dibawahnya. Seketika, pikiran saya melayang ke kampung halaman. Aceh, dahulu pernah jaya dengan perkereta-apiannya. Nama Lhoknga Coy masih terbayang dibenak. Adakah hubungannya diantara semua ini. Entahlah...

Keliling Kota Tua Jakart


Satu hal yang pasti, hari itu, ketika saya mengunjungi begitu banyak bangunan tua di Kota Tua Jakarta ini, ada begitu banyak untaian cerita akan Aceh dan Jakarta yang terserak. Saya membayangkan, andaikata di Aceh masih memiliki bangunan-bangunan bersejarah seperti Jakarta ini, mungkin, akan banyak generasi muda Aceh yang akan mengerti betapa Aceh dahulu juga pernah gagah dalam segela hal. Tak beda jauh dengan Jakarta.

Mentari sore mulai turun perlahan, kegiatan anak manusia Jakarta semakin riuh. Sepeda motor mulai bertarung dijalanan bersamaan dengan laju kenderaan roda empat lainnya. Pak Mubarokah, sepintas terlihat sembari melempari senyum dan mengangkat tangannya. Ia ingin pulang keperaduannya. Mengenang cinta kasih akan kekasihnya nun jauh di Kebumen sana. Saya? Masih terpaku di sudut stasiun kota Tua Jakarta sampai akhirnya lamat-lamat suara adzan magrib berkumandang.

Keliling Kota Tua Jakart
semakin sore, stasiun ini, semakin riuh


*cerita ini pernah dimuat di Portal Harian Aceh Indonesia