“Abang abang, nanti jika main tubing di sungai ini, harap tetap menjaga keselamatan ya bang? Jaraknya tidak begitu panjang, akan tetapi rasakan saja sendiri sensasinya” tubuhnya tegap dengan tinggi badan yang sedang. Ia terlihat begitu mantap dalam menyampaikan aturan main River Tubing.

Sahidin namanya, pemuda desa Agusen ini masih cukup muda dan mulai memberanikan diri berinteraksi dengan orang luar yang datang ke desanya. Selama tiga bulan terakhir, Idin-panggilan akrab sahidin-mendapatkan pelatihan dari Javlek mengenai tata cara melayani tamu, menjadi guide dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan Parawisata.

Ia adalah satu dari beberapa pemuda di desa Agusen, yang akhirnya memilih menjadi petani kopi dan belajar parawisata sebagai sumber penghasilan ekonomi mereka. 

Agusen, jauh sebelum ini, telah terkenal menjadi salah satu desa yang memiliki alam dan hasil alam terbaik di kabupaten Gayo Lues. Sayangnya, saat masih terjadinya konflik antara RI-GAM, masyarakat desa Agusen memilih menjadi jadikan tanaman ganja sebagai komoditi utama mereka. 

Petani di desa Agusen yang kini mulai kembali menggarap sawah mereka
Alasan yang mereka sampaikan juga cukup sederhana; mudah, dan mahal. Benar, ganja di Agusen kala itu tumbuh subur dan memiliki kualitas super. Harganya kala itu pun cukup mahal dibandingkan dengan harga tomat dan cabai yang mereka hasilkan. 

“Dulu saya juga ikut ayah menanam ganja sekaligus mempackingnya. Kami memilih ganja karena kebutuhan ekonomi. Akses ke kota sulit pada masa itu. Sehingga ongkos untuk menjual tomat ke kota blangkejeren jadi tinggi” Idin menuturkan sembari terus menatap keadaan desa yang kini perlahan mulai ramai dan riuh. 

Permintaan ganja yang tinggi kala itu, akhirnya turut menyumbang deforestasi hutan yang signifikan di kawasan desa Agusen. Secara letak geografis, desa Agusen terletak persis bersisian dengan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Sehingga bisa dipastikan, keadaan hutan kala itu begitu menyedihkan. Bahkan, menurut pak Ramadan, Penghulu (lurah) desa Agusen, penebangan kayu kala itu pun cukup marak. 

Tepat pada bulan April tahun 2016, desa Agusen ditetapkan sebagai desa wisata di kabupaten Gayo Lues. Kawasan yang dahulunya ber-image negatif perlahan berubah menjadi baik. Desa yang dahulu begitu sulit diakses, kini menjadi mudah dengan jalanan aspal yang cukup mulus. 

penyuguhan tari Saman seperti ini akan sangat mudah disaksikan setiap kali musim panen atau menjelang libur sekolah

sore, di Agusen
Sekolah, mushalla, dan sanitasi air menjadi salah satu infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah. Bahkan, menurut pak Ramadan, tahun 2017 jumlah anggaran yang digelontorkan untuk membangun Agusen mencapai 15 milyar rupiah. Agusen, yang dahulu tertinggal kini mulai berbenah dengan sungguh luar biasa. 

Idin termasuk salah satu pemuda yang berbahagia menyambut pembangunan di desanya. Ia yang dahulu petani ganja kini mengalihkan pekerjaannya sebagai petani kopi. Menurutnya, menjadi petani ganja lebih beresiko. Bahkan, idin, juga salah satu korban dari kacaunya penanaman ganja. Ia akhirnya harus berhenti kuliah ditengah jalan karena sang ayah harus berurusan dengan meja hijau. 

“saya pernah kuliah di Medan bang, ambil jurusan Sarjana Kesehatan Masyarakat. Baru sampai semester empat akhirnya harus pulang kampung karena ayah kena musibah. Sayang mamak tidak ada yang bantu” bulir-bulir air mata bening tanpa sengaja keluar dari sudut bola matanya. Beban pekerjaannya semakin berat kala ia mengingat kisah pilu itu. 

Idin, di kebun kemiri, tak ada lagi Ganja baginya
Wajar jika akhirnya Idin lebih memilih menanam kopi dan serai wangi. Selain harganya cukup baik di pasaran, resiko yang didapatnya pun tidak seberat bila ia harus menanam ganja seperti dulu bersama sang ayah. 

Hutan yang dahulu sempat mengalami kegundulan, kini perlahan juga mulai ditanami kembali. Menurut penuturan pak Ramadan, kini masyarakat desa seolah mulai mengerti. Jika sungai yang menjadi andalan wisata di desa mereka sangat bergantung dengan hutan. Bahkan mereka juga akhirnya menyusun kesepakatan untuk bersama-sama tidak lagi menebang hutan dan membuatnya gundul. 

Hutan yang lebat maka akan memberikan sumber air yang tepat. Maksudnya adalah, kala musim kemarau, air sungai tidak akan susut sampai kering karena akar pepohonan yang berada di hutan akan memastikan sumber air tetap mengalir. Begitupun sebaliknya, kala musim penghujan, air sungai tidak akan berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan karena debit air hujan akan tertahan oleh lebatnya pepohonan di hutan. 

river tubing di sungai yang benar-benar dingin dan "liar" itu, Asyik!
Sebenarnya, atrakasi river tubing di desa Agusen tak terlepas dari peran yayasan Java Learning Centre (Javlec) sebagai mitra Usaid Lestari. Mereka sebenarnya ke Agusen bertujuan untuk melaksanakan program Pengelolaan Hutan Kolaboratif berbasis potensi lokal di sana serta 4 desa lainnya yang ada di kabupaten Gayo lues. Javlec juga melakukan observasi penggalian potensi wisata di Agusen, dan River Tubing adalah salah satunya. 

Hari menjelang senja, mentari yang turun ke pelataran gunung, menciptakan bayang-bayang punggung bukit di desa Agusen. Air sungai mengalir cukup deras. Idin dan johan terlihat cukup sibuk merapikan alat-alat river tubing, seperti life jacket, helmet, dan ban. Sesekali pandangannya menyapu kawasan hutan yang terbentang tepat di seberang sungai. 

Sumber air yang menjadi modal desa Agusen
Ia, seperti melihat masa depan yang lebih cerah desanya dibandingkan dahulu. Air kini sudah membaik, hutan kembali rimbun, suhu kembali dingin, dan tanaman kopi mulai tumbuh subur di beberapa lereng bukit lengkap dengan tumbuhan keras pelindungnya. 

Agusen, tak lagi menjadi ladang ganja. Tapi nanti, Agusen akan dikenal sebagai desa wisata yang berbasis hutan. Seperti ucapan Idin, “ kalau hutan ini kami jaga dengan baik, air sungai juga ikut terjaga. Maka masa depan kami, pemuda desa Agusen ini juga akan ikut terjaga. Dan kami, tidak ingin lagi menjadi perusak hutan serta penanam ganja” tutup Idin di sore itu.

model salah tujuan!!