Wisata di Aceh Jaya
Di masa lampau, gajah Aceh menjadi simbol keagungan. Rakyat menghormatinya dalam beberapa upacara. Dan Nilam Aceh, pernah merajai parfum dunia. 
Syahdan, tersebutlah tentang seorang Sultan di negeri Aceh Darussalam. Nun jauh, di ujung barat pulau Sumatra. Tepat di pintu selat Melaka. Jalur bisnis laut terbesar di Asia Tenggara. Hampir tak ada yang tak melewatinya. Sang Sultan juga membangun istana nan megah. Lengkap dengan lapangan untuk para gajahnya.
Iya, Gajah. Jumlahnya, menurut beberapa kisah, mencapai 1000 ekor lebih. Saking banyaknya, pusat kerajaan Aceh Darussalam kala itu, tidak membangun benteng. Melainkan hanya memberikan lahan yang luas lalu, menempatkan pasukan gajahnya di tempat tersebut. Tak hanya digunakan untuk berperang, gajah pada masa itu, juga untuk menyambut para tamu kerajaan. Atau, di sisi lain, gajah berperan sebagai lambang kejayaan sebuah negeri. Yaitu, Negeri Aceh.
Tahun berselang, hutan mulai hilang. Kerajaan Aceh hanya tinggal kisah dalam buku sejarah. Bahkan terkadang, mencari jejaknya saja, cukup sulit.

Wisata di Aceh Jaya

“Selamat Datang di Sampoiniet, bang yudi. Akhirnya abang sampai juga di sini ya?” pria muda itu sumringah tatkala melihat saya berada dalam barisan tamu yang hadir di CRU, Conservation Response Unit yang berada di Kabupaten Aceh Jaya. Pria itu, Zahlul namanya. Anak muda setempat ini, masih setia menemani hampir ke mana pun saya melangkah. Bersama dengan kameranya, ia terus bercerita mengenai keadaan di kampungnya.
Apa yang diutarakan oleh Zahlul hari itu, tak bohong. Tempat ini, layak sekali menjadi salah satu destinasi wisata unggulan untuk kabupaten yang baru berdiri pada tahun 2002. Di sini, kamu dapat bermain bersama (sisa-sisa) Gajah asli Sumatera. Yang dulunya, adalah lambang kejayaan kerajaan Aceh Darussalam. Yang dulunya menjadi binatang kesayangan sultan Iskandar Muda yang masyhur itu.
Saya sendiri, sempat menikmati bermain bersama Aziz, si gajah jantan yang berada dalam kawasan CRU tersebut. Sesekali ia merebahkan diri di sungai yang dangkal. Sungai yang masih berair jernih ini, begitu sejuk. Tak sampai di situ, pasirnya juga bak pasir laut. Hamparan pasir putih itu memberikan warna yang kontras dengan tepian hutan hujan di sekitarnya.

Wisata di Aceh Jaya

Alamak!
Mengapa tak sedari awal saya mendatangi tempat ini? walaupun sinyal seluler tak terlalu baik. Namun tak menyurutkan saya untuk mendekat dengan sang Po Meurah yang sebutan Gajah di masyarakat aceh pada awal kerajaan dulu. Dan, mengapa saya tidak mengajak anak-anak ikut serta. Mereka, hampir saban malam meminta saya bercerita tentang betapa megahnya sang gajah. Ah, malu hati rasanya.
“Andaikata abang bisa nginap, besok pagi kita bisa tracking ke hutan naik gajah. Sambil terus menyusuri sungai ini, bang” celetuk Zahlul. Dan, saya pun membayangkan betapa seru dan asyiknya jika mendapatkan kesempatan yang luar biasa tersebut. Namun saya, pada tamu undangan mulai bergerak, merapat kembali ke mobil. Untuk mengunjungi tempat selanjutnya.
Wisata di Aceh Jaya

Hari itu, adalah hari pertama saya berhasil memijakkan kaki ke kawasan CRU Sampoiniet.  Sudah lama, Zahlul mengajak saya untuk mengunjungi tempat ini. dan, entah mengapa, selalu saja saya menemukan alasan yang tepat untuk menolaknya. Anggap saja sok sibuk. Padahal, sibuk menambal sempak. Betapa menyesalnya.

Tak puas rasanya mengitari tempat yang didirikan atas inisiasi Fauna and Flora International (FFI) bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh pada 2008. Dengan tujuan, mengurangi konflik antara gajah liar dengan manusia di Aceh Jaya. Konflik satwa dengan manusia ini, memang sudah begitu sering terjadi di Aceh. terutama di Aceh jaya.
Mulai dari berkurangnya tutupan hutan aceh, yang terus di rambah. Gajah Sumatera pun, terus diburu. Apalagi jika bukan untuk gadingnya. Yang harganya begitu mahal di pasar gelap dunia. Empat ekor yang tersisa di CRU ini, terlihat masih begitu gagah, walaupun tak semegah dahulu.
Wisata di Aceh Jaya
Bibit Nilam Aceh

Sebelumnya, saya sempat diajak menemui para petani Nilam di desa Ranto Sabon. Tak jauh dari Desa Ie Jeureneh tempat di mana CRU ini berada. Lain gajah, lain lagi Nilam. Ia pernah menapaki masa kejayaan pada tahun 1920an. Pada masa itu pihak VOC Belanda mulai membangun unit-unit usaha untuk melakukan penyulingan tanaman nilam untuk diambil minyaknya. Minyaknya sangat laku dan harganya cukup mahal di pasaran dunia.
Waktu berlalu, Belanda meninggalkan Aceh. Indonesia berdiri. Tahun 1998, Nilam Aceh kembali menggapai puncak kekayaan orang-orang yang berada di Aceh bagian barat. Tak terkecuali Aceh Jaya.  Minyak Nilam menjadi komoditi utama mereka. Harga sekilo Minyak nilam (Patchouli oil), mencapai 1,2 juta rupiah bahkan pernah menyentuh 1,4 juta. Harga motor kala itu, hanya 6 kilogram minyak nilam.
Sebenarnya, minyak Nilam menjadi bintang bagi bisnis ekspor Minyak Atsiri Indonesia. Indonesia sendiri, memasok sekitar 85 sampai 90 % pangsa pasar nilam global, 2.000 ton per tahun. Produksi minyak nilam sendiri didominasi di pulau Jawa dan Sumatera, dan Aceh salah satu daerah di Sumatera sebagai daerah penghasil nilam. Sayangnya, sebagian besar yang diekspor masih dalam bentuk minyak yang belum diolah jadi produk hilir.
Wisata di Aceh Jaya

Kini, Aceh, menghadapi sebuah dilema terbaru. Di satu sisi, minyak nilam Aceh menjadi primadona dalam kancah dunia dan begitu dibanggakan. Akan tetapi, harga yang tak baik menjadi masalah bagi petani. Nilam yang dijual oleh petani nilam dihargai sangat rendah. Hal ini, sebenarnya menjadi masalah klasik dalam dunia agrobisnis di Aceh.
Nilam Aceh, selalu dijual dalam bentuk tanaman kering yang sering dihargai dengan harga rendah. Hal ini semakin diperparah dengan keengganan masyarakat untuk menanam nilam, di mana mereka juga belum terlalu paham mengenai keunggulan serta prospek nilai ekonomi nilam.
Atas dasar hal itu, solusi yang sempat ditawarkan untuk meningkatkan kembali nilai jual Nilam Aceh ini, adalah dengan dibentuknya Desa Wisata Nilam, di sini, di desa Rantoe Sabon, desa yang masih termasuk dalam mukim Mukim Pante Purba, kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya.
Memang masih di angan-angan. Mungkin, masih jauh panggang dari api. Akan tetapi, saya merasa optimis. Jika serius, mengapa tidak? Kejayaan Aceh akan kembali ke tampuknya dahulu. Gajah kembali bermain di hutan dengan bebasnya. Dan, minyak Nilam kembali menjadi penumpang ekonomi masyarakat aceh secara umum.

Wisata di Aceh Jaya
pasirnya putih!

Semua itu, harus bermula dari sebuah kabupaten Aceh Jaya. Sebuah daerah yang memiliki begitu banyak potensi. Mulai dari Wisata Gajah, Edukasi Nilam, sampai keindahan pantai Pasie Saka. Yang mungkin, akan saya ceritakan dilain waktu. Ketika pantai itu, benar-benar telah dibuka untuk umum. Sebuah kawasan pantai yang menghadap ke samudra Hindia. Dengan pasir putih yang begitu halus. Bak gula pasir.
Wisata di Aceh Jaya
Bermain bersama dan berfoto bersamna
Wisata di Aceh Jaya
ehem., ini bonus aja. setelah lelah seharian jalan-jalan di kawasan Sampoiniet, tidak asyik rasanya bila tidak mencoba Mie Aceh plus Lobster ini, kan?