Mercusuar Cikoneng
foto by Evan Ipunk Saputra
Saya masih tidak percaya, apa yang saya lihat dengan mata kepala ini. Semuanya, bercampur baur. Menarikan sesuatu yang khas dari provinsinya masing-masing. Lantunan musiknya, berkolaborasi. Antara bedug, gitar, bahkan lengkingan khas suara anak-anak dari pesisir timur Indonesia. Mereka menari. Mereka membaca syair, hikayat, bahkan sampai puisi. Semua, dengan bahasa daerahnya.

Saling silang budaya, itulah yang terjadi. Padahal, sempat terlintas dalam benak saya, apa mungkin budaya yang ada di Indonesia ini bisa saling silang? Menjadi sebuah satu kesatuan? Menafikkan perbedaan antar suku, bahasa, daerah, ras dan agama? Ternyata, bisa! 

***
Mercusuar Cikoneng
Semua Saling Silang Budaya

Sabtu, 26 Oktober, pesawat Garuda dari Aceh mendarat sempurna di bandara Soekarno Hatta. Dari terminal tiga, saya menuju ke titik temu yang telah ditentukan. Di sana, sudah menunggu satu rombongan dari Palu. Beberapa menit kemudian, kami sudah terlibat pembicaraan penanganan bencana Gempa dan Tsunami. Ah, saya baru ingat. Jika Aceh dan Palu memiliki kesamaan. Sama-sama terkena gempa dan tsunami. 

Kami, semua diundang untuk acara BPIP, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.  Di Anyer, sudah menunggu teman-teman lainnya. Dari berbagai provinsi lainnya di Indonesia. Semuanya akan mengikuti kegiatan Persamuhan Pembakti Kampung, Jejaring, dan Komunitas,  yang akan berlangsung selama 26-30 Oktober 2019. Saya hanya bisa pasrah, setelah mengetahui, ternyata saya adalah satu-satunya dari ujung barat Indonesia, Aceh. Tak ada yang lain. Dan, hanya tahu, sesampai di sana, hanya kak Reh Ate Malem yang juga seorang blogger. Selebihnya? blas.

Mercusuar Cikoneng
Perpaduan antara Bedug dengan tarian Kalimantan

Mercusuar Cikoneng
foto by Evan Ipunk Saputra

Pagi masih, kami, peserta dari seluruh Indonesia berkumpul di pelataran kolam renang hotel, tepat di bibir pantai Anyer, Serang Banten. Ini, menjadi sejarah sendiri bagi saya, si anak Aceh. yang bertahun-tahun, tak pernah lagi merasakan suasana upacara peringatan Sumpah Pemuda. Di tambah lagi, ini, seluruh Indonesia. Tumpah ruah menjadi sebuah diorama kesatuan sendiri. 

Ketika giliran penampilan seni dari daerah masing-masing, yang terjadi adalah, mereka semua, para seniman dari beberapa provinsi Indonesia, membuat sebuah kolaborasi pertunjukan secara spontanitas. Sampai di sini, saya terperangah. Bagaimana mungkin, dentuman bedug Banten, mampu menyatu dengan tarian bali, tarian Kalimantan, lengkingan suara Ambon, Makassar, dan liak-liuk gemulai dari gadis-gadis Jawa Timur. Inikah saling Silang budaya itu? Yang mengesampingkan segala hal yang membuat kita terbelah?

***
Mercusuar Cikoneng
Awal mula saya bertemu dengan pak Yudha
“Keren sekali bangunannya ya, persisinya begitu rapi. Besi baja begitu padat dan kokoh.” Ungkap seorang bapak berkulit coklat itu kepada saya. Pembicaraan kami terus mengalir. Tanpa jeda, dan berhenti ketika acara puncak di kawasan mercusuar Cikoneng berakhir.  

“Jadi, dari tadi kamu bercerita tentang mercusuar di pulau Beras Aceh terus, kamu anak aceh ya? Tanyanya. Saya mengiyakan, sembari mencari tempat duduk, kami pun terus membahas perihal budaya, pariwisata dan Indonesia itu sendiri.

Sore itu, ia mengatakan, betapa penasaran akan tanah kelahiran saya, Aceh. terutama perihal budaya dan Pariwisatanya. Sudah sejauh mana, sudah bagaimana perkembangan Aceh hari ini. semakin sore, pembicaraan kita semakin mendalam. 

“Yudi, bagaimana kalau kamu nanti sampaikan kepada pihak berwenang di aceh, untuk melakukan Pendekatan Wisata  Aceh melalui penetrasi budaya di acara Sanur Village Festival, tahun depan?” tanya bapak yang bernama lengkap Yudha Bantono ini kepada saya, pria yang kelahiran Banyuwangi ini, telah 30 tahun menetap di bali. Menjadi salah satu praktisi wisata di sana, tepatnya di Sanur. Tawaran yang sangat menarik! Saya langsung mengiyakan dan menyetujui ide tersebut.

Mercusuar Cikoneng
Sore, ketika acara menjelang
Mercusuar Cikoneng

Mercusuar Cikoneng
foto by Evan Ipunk Saputra

Bali dan Aceh, memang terbentang jarak. Namun masih dalam satu bingkai Indonesia. Mengapa tidak? Sudah sewajarnya saling memberi apresiasi. Membantu dalam untuk saling mempromosikan daerah masing-masing. Bukan lagi saling bersaing. 

“Bayangkan, tarian Saman dari kampungmu itu, ditampilkan di 150.000 pengunjung. Dan rata-rata dari mereka adalah wisatawan mancanegara. Bayangkan juga, kamu bisa membagikan pengetahuan dan kebolehan wisata di daerahmu selama hampir lima hari. Saya kasih untuk kamu tawaran ini, karena kita sudah duduk di sini” beliau masih melanjutkan tawarannya. Dan saya, masih mendengarnya dengan penuh antusias.

Mercusuar Cikoneng

Di kawasan Mercusuar Cikoneng sore menjelang senja. Perhelatan Saling Silang budaya masih berlangsung. Tepat di titik Nol Kilometer Anyer, perpaduan budaya menjadi sebuah cerita yang sulit untuk saya gambarkan dalam tulisan ini. Namun, begitulah sebuah perjalanan. Selalu membawa cerita tersendiri. Lalu pulang, membawa sesuatu. Seperti layaknya saya dan pak Yudha. Antara Aceh dan Bali. Agar kelak, saling silang budaya terwujud.

Mercusuar Cikoneng
Nak, Beginilah seharusnya Indonesia!