Pesona Takengon,

Seolah tak pernah ada habisnya. Sebuah perjalanan selalu memberikan kisah dan kasih tersendiri. Ini bukan pertama kalinya saya ke Takengon, sebuah kota kecil yang terletak di kabupaten Aceh Tengah. Pun, saya percaya ini (insya Allah) bukanlah yang terakhir kalinya. Tanah dataran tinggi gayo, seolah selalu memanggil siapapun untuk kembali. Mungkin, hal itu pulalah yang selalu membawa saya kembali lagi ke sini.

Awal kepulangan saya dari Sabang, saya sempat berjanji dalam hati untuk duduk tenang dulu di rumah sembari menyelesaikan beberapa kerjaan yang tertunda cukup lama. Tapi, tatkala telepon gengam saya tiba-tiba berbunyi dan sebuah nomor yang tertera begitu asing. Saya angkat. Ternyata, lagi-lagi sebuah tawaran kerja sama yang telah lama saya impikan. FAMTRIP PESONA INDONESIA dalam rangka mempromosikan #pesonatakengon. Betapa bangganya saya, jalan-jalan sekaligus mempromosikan provinsi Aceh itu sendiri.

Mungkin, bagi sahabat blogger yang berada di ibukota Indonesia, hal ini sudah hampir menjadi rutinitas tiap bulan. Bahkan sampai ada beberapa dari mereka yang bisa memilih kemana destinasinya. Tapi bagi saya? Ini adalah impian semenjak awal ngeblog dulu. Bukan hanya soal menyandang Pesona Indonesia, tapi sekaligus belajar banyak hal atau lebih tepatnya dapat sharing knowledge dari teman-teman blogger ibukota.

sudut Kota Takengon


Bur Gayo Hill
Antara berat hati dan bahagia, saya akhirnya memutuskan berangkat. Hebatnya, bila biasanya saya ke Takengon via darat menggunakan mobil keluarga, yang jarak tempuhnya berkisar antara 6 sampai 8 jam perjalanan. Kini, saya harus naik pesawat. Alamaaak… Orang Kayah Anakmu kini mak! Jadi, Banda Aceh- Medan, Medan-Bener Meriah. Lalu, naik mobil dari kabupaten Bener Meriah ke Takengon. Sumpah! Berasa banget jadi kece sesaat. Tetiba umurpun muda lagi.

Selama 4 malam 5 hari, saya dan lima penggerak social media lainnya, (Bang Andi Lubis-Photografer, Bang Ucok Sitorus-Instagramers, Salman Faris-Blogger Bogor, Omndut-Blogger Palembang, dan terakhir Aula-Blogger Aceh)mengeksplore beberapa tempat wisata di Takengon, Aceh Tengah. Ada yang membuat excited, ada yang membuat bête, karena tak ada atraksi apapun, ada yang membuat nostalgia dengan memori masa muda dahulu.


selfie di pantan terong, takengon

udangnya, alamaaaak


Beberapa Spot Destinasi yang menjadi favorite saya selama di Takengon adalah Pantan Terong, sebuah bukit tertinggi dikawasan Takengon sehingga pemandangannya menjadi begitu luar biasa. Lalu, tentu saja Loyang Mendale. Sebenarnya ada tiga Loyang yang kami kunjungi. Bukan, bukan Loyang untuk membuat kue bolu. Akan tetapi, Loyang dalam bahasa gayo itu berarti Gua/ceruk.
Loyang Putri Pukes, yang sebenarnya ini adalah salah satu asset yang begitu berharga malah kini dipugar terlalu berlebihan. Loyang koro, nasibnya tak jauh beda dengan Loyang pukes. Tapi kalau Loyang Mendale? Hmm.. ini museum alam yang luar biasa. Terutama bagi kamu penggila sejarah dan teori-teori evolusi. Percayalah, ada banyak hal yang akan bisa kamu pelajari di sini.

Kayanya Budaya Takengon

Takengon, bukan hanya bicara tentang keindahan danau Lut Tawarnya. Tapi juga akan berbicara soal manisnya nenas madu, soal gurihnya kopi arabika gayo, serta hebatnya adat dan budayanya. Saya beruntung, dapat menyaksikan salah satu tarian “mini” dari tanah Gayo ini. Tari Guel, namanya.


sunset di Danau Lut Tawar, Takengon

Taufik dan Alma sedang menarikan Tarian Guel
Tari klasik yang menceritakan tentang seorang pemuda dalam legenda masyarakat gayo yang bernama Sengeda anak Raja Linge ke XIII. Ia bermimpi bertemu saudara kandungnya Bener Meria yang konon telah meninggal dunia karena pengkhianatan. Dalam mimpi itu Bener Meria memberi petunjuk kepada Sengeda (adiknya), tentang kiat mendapatkan Gajah putih sekaligus cara meenggiring Gajah tersebut untuk dibawa dan dipersembahakan kepada Sultan Aceh Darussalam. Tujuan dari itu semuanya adalah untuk memikat hati sang putri Sultan yang begitu menyukai Gajah Putih.

Gerakan lembut dari penari perempuan berpadu dengan gerakan maskulin dari penari pria berlatar belakang danau Lut Tawar yang tenang. Ini, sesuatu yang begitu sulit dijabarkan dengan bahasa yang tinggi. Magnificent! Sesekali angin dari punggung bukit bertiup, cahaya semburat senja muncul dari balik awan dan bukit. Begitu syahdu.


Dan, inilah yang membuat saya selalu akan merindukan kesyahduan Takengon. Selain dari kopinya yang enak, tentunya.


Ini Video sederhananya (maklum lagi belajar ngedit dan ambil footage )